Pernikahan yang Suram

Ini bukanlah pernikahan yang diinginkan oleh Andina. Sejak mengenal namanya pernikahan, ia sudah berencana untuk membuat pernikahannya sendiri semewah mungkin. Akad nikah bernuansa putih dan resepsi bernuansa emas. Ia akan mengundang semua orang yang dikenalnya. Siapa pun akan tahu pernikahannya yang maha mewah.

Namun, itu hanyalah rencana. Yang ada di depannya jauh dari semua yang diimpikan. Akad nikah akan dilangsungkan di ruang tamu rumah Pak Satrio. Tamu yang hadir tidak lebih dari lima belas orang. Itu pun sudah dihitung dengan penghulu. Tak dekorasi apa pun. Semua dibiarkan seperti apa adanya.

Akhyar sudah duduk di depan Pak Satrio. Akad nikah akan dimulai. Andina keluar dengan memakai kebaya yang mereka beli kemarin.

Acara pernikahan itu benar-benar suram. Tak ada senyum dan tawa. Semua begitu serius seolah sedikit saja sudut bibir terangkat ke atas akan mendatangkan musibah.

“Saya terima nikahnya, Andina Laras Prayogo binti Satrio Prayogo dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai.” Akhyar menyentakkan tangan Pak Satrio.

Semua orang kemudian menyerukan kata sah dipandu penghulu. Doa dipanjatkan. Sebagian besar orang di ruangan itu berpura-pura mengharapkan pernikahan itu akan bertahan hingga akhir hayat. Padahal, dua orang yang menjalaninya sudah sepakat bahwa pernikahan itu akan berakhir tidak lebih dari satu tahun.

Akhyar menoleh pada Andina. Mata wanita itu terpejam. Akhyar menduga kalau Andina juga sudah tak sabar acara ini cepat selesai.

Tak ada agenda lain setelah akad nikah. Semua tamu langsung pulang. Andina juga langsung mengganti bajunya. Di dalam kamar, ia bersama dengan Akhyar. Pria itu duduk di ranjang, bingung melakukan mau apa.

“Hanya itu barang-barangmu?” Andina keluar dari kamar mandi. Ia menunjuk sebuah koper hitam di samping pintu.

“Iya. Aku nggak bawa semuanya. Lagi pula, aku bisa pulang kapan saja, ‘kan?”

Andina mengangguk.

“Barang-barang kamu di mana?” Akhyar menatap sekeliling. Ia tidak melihat koper atau tas yang akan dibawa.”

“Aku belum memasukkannya ke koper.”

“Apa? Belum memasukkannya ke koper.”

Pintu kamar di ketuk seseorang. Andina membukanya. “Terima kasih, Pak,” ucapnya pada sopir Pak Satrio yang mengantarkan dua buah koper.

“Tunggu sebentar. Aku menyusun barang-barang dulu.”

Kening Akhyar mengerut. Andina benar-benar berbuat sesuka hatinya. Meski sudah mengetahui sifat Andina yang seperti ini, tetap saja Akhyar tak pernah terbiasa melihatnya.

Agar tidak terlalu bosan, Akhyar mengeluarkan ponsel. Sialnya, baterai ponselnya hanya tersisa beberapa persen. Tanpa mengatakan apa pun, ia meraih pengisi daya yang ada di meja. Ia lantas kembali duduk. Ditatapnya Andina yang mengeluarkan baju dari lemari dan menyusunnya di dalam koper.

“Balik dulu ke arah jendela,” kata Andina sebelum membuka lemari yang kedua.

“Memangnya kenapa?”

“Balik aja. Jangan kebanyakan nanya.”

Akhyar membuang napas dengan kasar. Ia lantas menoleh ke arah jendela. Begitu mendengar pintu lemari dibuka, ia kembali mengubah arah duduknya. Ia penasaran benda apa yang ingin dikeluarkan Andina dari dalam lemari.

Setelah melihat benda yang dikeluarkan Andina dari dalam lemari, Akhyar sontak menutup mata. Ia memukul pahanya sendiri. Ternyata, yang dikeluarkan Andina dari sana adalah ****** ***** dan bra.

Pintu kembali diketuk oleh seseorang. Akhyar berdiri, lalu membukakannya. Ternyata, Bu Nani yang datang.

“Ada apa, Bu?” tanya Akhyar.

“Ibu mau membantu Mbak Andina memasukkan barang-barang ke koper.”

Akhyar berkacak pinggang. “Ibu bukan pembantu lagi di sini.”

“Ibu juga tahu itu. Bu Rini sedang menemui tamu yang baru datang. Belum bisa membantu Mbak Andina.” Bu Nani mendorong Akhyar ke samping.

“Nggak usah, Bu,” kata Andina ketika Bu Nani mengeluarkan satu baju dari lemari.

“Wanita yang sedang hamil muda itu nggak boleh terlalu capek. Nanti, di apartemen, minta Akhyar aja kalau perlu sesuatu. Walaupun pernikahan ini adalah sandiwara, nggak masalah. Akhyar pasti akan membantu Mbak Andina.”

Andina tersenyum. “Terima kasih, Bu.”

***

Sebelum berangkat, Bu Rini menarik Andina ke kamarnya.

“Ada apa, Ma?” tanya Andina.

Bu Rini menutup pintu setelah memastikan tidak ada orang di sekitar kamar itu. Tak boleh ada yang mendengar percakapan mereka.

“Ada apa sih, Ma?”

Bu Rini buru-buru ke meja riasnya. Ia mengambil kantong plastik dari sana.

“Apa itu?” Andina kembali bertanya, melihat sikap ibunya.

“Sebenarnya, Mama nggak suka dengan ide kamu ini. Ya, Mama tahu kalau Akhyar itu seperti anak baik-baik. Tapi, tetap saja dia itu laki-laki.” Bu Rini menghela napas. “Kamu nggak bisa tinggal di sini saja?”

“Nggak bisa, Ma. Akhyar nggak mau tinggal di sini. Ya, gimana? Kalau aku maksa tinggal di sini dan Akhyar tinggal di apartemen, semua orang akan curiga.”

“Baiklah. Kamu simpan ini.” Bu Rini memberikan kantong plastik yang diambilnya dari laci tadi.

“Apa ini?” Andina membuka kantong plastik itu. Ada stun gun dan pepper spray di sana.

“Buat jaga-jaga kalau Akhyar macam-macam sama kamu. Jangan sampai Akhyar tahu soal ini.” Bu Rini menepuk lengan Andina.

Andina menggeleng. Ia yakin tak memerlukan alat-alat seperti itu. Ia bisa mengatasi Akhyar tanpa senjata. Namun, agar ibunya tenang, Andina menerima alat-alat itu.

“Terima kasih, Ma. Sepertinya, cuma aku yang menikah dapat hadiah stun gun dan pepper spray. Tapi, nggak apa-apa. Aku pasti akan menghajar Akhyar kalau dia sampai berani ngapa-ngapain.”

“Bagus. Kalau terjadi sesuatu, langsung telepon Mama.”

“Iya. Mama tenang aja.” Andina keluar dari kamar ibunya. Ia bergegas ke teras. Akhyar, Bu Nani, dan Pak Satrio sudah menunggu di sana.

Andina meletakkan kantong plastik yang dibawanya di atas dasbor. Ia kemudian menghampiri Pak Satrio.

“Aku pergi dulu ya, Pa!” Andina melambaikan tangan.

Pak Satrio mengernyit. Padahal, ia masih ingin memeluk Andina. Meski ini pernikahan sandiwara, tetap saja mereka akan berpisah. Andina malah pamit seperti biasa pergi kuliah.

“Nggak mau peluk Pak Satrio dan Bu Rini dulu?” Akhyar bertanya pada Andina yang sudah duduk di balik kemudi.

“Nggak perlu. Lebay amat. Pasang sabuk pengamanmu biar kita berangkat sekarang.”

Akhyar mengangguk.

Tak ada perpisahan haru, Andina menyalakan mobil, lalu melaju begitu saja. Saat sedang melewati polisi tidur, kantong plastik di atas dasbor hampir saja jatuh. Dengan cepat Akhyar mengambilnya.

“Apa ini?”

“Stun gun dan pepper spray.”

“Buat apa?”

“Mama khawatir.”

Kedua alis Akhyar naik. “Khawatir apa?”

“Masa kamu nggak ngerti?”

Akhyar memutar bola matanya. “Astaga, Bu Rini sia-sia khawatir. Aku nggak mungkin berbuat sesuatu,” ucapnya sembari tertawa dan melempar kantos plastik itu ke jok belakang.

“Kita lihat saja nanti. Kalau kamu memang sampai melakukan sesuatu. Pasti kamu akan menyesal.”

Akhyar menepuk dahinya. “Aku lupa. Di apartemen kamu ada kaca, nggak? Sepertinya, kamu masih perlu banyak ngaca.”

Andina menatap malas pada Akhyar. “Biar aku tunjukkan nanti sebesar apa kaca di apartemen.”

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!