Jangan Jatuh Cinta!

Setelah selesai memilih jas, kebaya, dan gaun pengantin, Akhyar dan Andina makan di restoran seberang butik. Tasya dan Clara sudah pulang lebih dulu. Mereka tidak betah bersama dengan Akhyar, berpikir mereka di kasta yang berbeda.

“Aku sudah menduga kalau mereka sangat sombong. Tapi, aku nggak menyangka akan separah ini. Mereka sama sekali nggak punya hati.” Akhyar memutar bola matanya.

“Wah, kamu benar-benar semakin kurang ajar. Bisa-bisanya kamu menjelek-jelekkan sahabatku seperti itu.”

Akhyar meletakkan tangannya di meja. “Aku bebas mengatakan apa pun dan aku nggak takut apa pun sekarang. Hari ini ibuku terakhir bekerja di rumahmu. Satu saranku untukmu. Sebaiknya, kamu lebih selektif dalam memilih sahabat. Mereka hanya akan memberi pengaruh buruk untukmu.”

“Jangan sok tahu.” Sorot mata Andina berubah tajam.

“Apa mereka tahu mengenai kondisi perusahaan Pak Satrio? Bagaimana kalau perusahaan Pak Satrio benar-benar bangkrut.”

“Hei, jaga mulutmu, Akhyar. Kamu mendoakan perusahaan keluargaku hancur?”

“Bukan begitu. Aku berharap perusahaan Pak Satrio segera membaik. Hanya saja, aku ragu mereka mau bersahabat dengan kamu jika tahu yang sebenarnya. Mau taruhan?”

Andina memalingkan wajahnya. Ia memanggil salah satu staf restoran untuk memesan makanan. Saat sedang melihat daftar makanan yang ada di buku menu, Andina memikirkan ucapan Akhyar. Apakah Tasya dan Clara akan tetap mau bersahabat dengannya?

“Aku pesan sop ayam sama jus alpukat, Mas. Dibungkus aja,” ujar Andina pada staf restoran.

“Baik, Mbak.”

“Kenapa dibungkus?” tanya Akhyar.

“Aku sedang nggak selera makan.”

“Kamu harus tetap makan. Jangan memikirkan dirimu sendiri. Ada seseorang lagi yang harus kamu pikirkan.”

“Siapa?”

Akhyar menatap perut Andina, lalu mengalihkan tatapannya.

Spontan Andina memegang perutnya. Ia mendengkus, menyesali dirinya yang sempat terpengaruh ucapan Akhyar. “Nggak jadi dibungkus, Mas. Makan di sini saja.”

“Baik, Mbak.”

“Saya juga memesan menu yang sama.” Akhyar mengembalikan buku menu.

Karena Akhyar dan Andina bukanlah orang yang akrab, Akhyar menyibukkan diri dengan ponsel. Diam-diam, ia mencari tahu tentang perusahaan Pak Satrio. Calon mertuanya itu mengelola Hotel Teratai Emas. Hotel itu sempat berkembang hingga punya lima cabang. Namun, beberapa tahun belakangan ini, kondisi keuangan hotel terus menurun hingga terpaksa menutup dua cabang. Dengan hanya bermodalkan informasi di internet, Akhyar tidak bisa menemukan apa masalah hotel itu sebenarnya. Tentu saja selain masalah Pak Satrio yang tertipu investasi bodong.

Makanan yang mereka pesan pun datang. Seolah sangat menghormati makanan, keduanya menyantap hidangan itu tanpa berbicara sepatah kata pun.

Sebenarnya, Akhyar ingin segera pergi. Akan tetapi, ia tidak tega meninggalkan Andina begitu saja. Bagaimana pun juga Andina sedang hamil. Jika sesuatu terjadi pada kehamilan Andina hanya karena kecerobohannya, pernikahan untuk balas budi ini akan sia-sia.

“Kapan pernikahannya akan diadakan?” Akhyar bertanya setelah menghabiskan makanannya.

“Besok.”

Akhyar sontak terbatuk. Matanya melebar. “Besok? Kenapa baru bilang sekarang?”

“Sepertinya, cuma yang nggak tahu kalau pernikahannya besok. Lagi pula, hanya akad nikah. Nggak ada resepsi.”

“Kalau hanya akad nikah, kenapa kamu membali gaun? Bukankah kebaya saja sudah cukup?”

Andina menatap sisa kuah sop di mangkuknya. Ia tak menjawab pertanyaan Ahyar. Walaupun ini adalah pernikahan pura-pura, tetap saja di mata semua orang nanti ia adalah wanita yang sudah pernah menikah. Setelah bercerai dengan Akhyar, statusnya adalah janda. Ia ingin gaun pernikahan itu sebagai hadiah untuk dirinya sendiri karena telah berani mengambil keputusan besar ini.

“Ada lagi yang mau kamu bicarakan? Aku mau pulang,” kata Akhyar.

“Ya, masih ada beberapa hal lagi.” Andina menyandarkan punggungnya ke kursi. “Kamu sudah resign dari pekerjaanmu yang sekarang, ‘kan?”

“Sudah. Aku sudah resign semalam.”

“Oke. Siapkan surat lamaran ke hotel Papa. Berikan padaku surat lamaran itu nanti, biar aku yang mengurusnya. Selain itu, besok kamu langsung bawa saja barang-barangmu ke rumah.”

Akhyar mengangkat tangan kanannya, menyela ucapan Andina. “Membawa barang-barangku ke rumah Pak Satrio? Untuk apa?”

“Ya, untukmu sendiri. Atau, kamu mau beli barang-barang baru?”

“Tunggu sebentar. Kita akan tinggal di rumah keluarga kamu setelah menikah?”

“Iya.”

“Nggak. Aku nggak setuju. Aku nggak mau tinggal di rumah keluarga kamu. Ini juga nggak ada di surat perjanjian kemarin. Kamu yang harus tinggal di rumahku.”

Andina menatap langit, lalu menjatuhkan tatapan ke wajah Akhyar lagi. Ia membuang napas dengan kasar. “Jangan membuatku kesal, Akhyar.”

“Kamu nggak bisa seenaknya gitu, dong. Aku sudah setuju dengan banyak hal yang kamu inginkan. Tapi, untuk yang satu ini, aku nggak bisa menurut begitu saja.” Akhyar sudah bersusah payah agar ibunya bisa keluar dari rumah itu. Sekarang, malah ia yang masuk ke sana? Tidak. Ia tidak akan mau satu atap dengan orang-orang yang memandang rendah dirinya. Cukup Andina saja orang menyebalkan yang akan ditemuinya setiap hari, tak perlu ditambah Pak Satrio dan Bu Rini lagi.

“Jadi, kamu maunya bagaimana?”

“Aku mau kamu yang tinggal di rumahku.”

Andina spontan menggeleng. “Aku sudah pernah lihat rumahmu. Aku nggak bisa tinggal di rumah seperti itu. Aku bisa stres,” ucapnya sembari memegang perutnya.

Mata Akhyar tertuju pada tangan Andina. Ia memalingkan wajah. Tidak mungkin ia memaksakan kehendaknya dengan kondisi Andina yang sekarang. Stres akan berpengaruh pada kehamilan wanita itu.

“Baiklah. Kita nggak akan tinggal di rumahku dan kita juga nggak akan tinggal di rumah orang tua kamu. Kita akan cari kontrakan.”

“Aku ada ide yang lebih baik. Kita akan tinggal di apartemenku. Dua tahun yang lalu, Papa membelikan aku apartemen sebagai hadiah ulang tahun. Kita bisa tinggal di sana.”

“Baiklah. Aku setuju. Ada lagi?”

“Sudah. Itu saja. Oh ya, untuk surat lamarannya, kamu isi posisi ‘manajer’ yang akan kamu lamar.”

Akhyar mengangguk. Ia kemudian berdiri. Dikeluarkannya dompet dari kantong.

“Aku yang akan membayarnya. Pergi saja,” kata Andina.

“Terserah kamu.” Akhyar tidak berdebat siapa yang membayar makanan mereka. Ia tidak peduli dengan hal seperti itu.

Saat Akhyar sampai di pintu, ia teringat sesuatu. Dihampirinya Andina kembali.

“Apa kamu bisa pulang sendiri?” Akhyar memastikan.

Andina tertawa. “Kamu mengkhawatirkanku? Jangan-jangan, kamu memang menyukaiku. Makanya, dengan mudah kamu setuju untuk menikah denganku.”

Seketika Akhyar memasang tampang malas. “Terserah kamu mau berpikir apa. Kamu bisa pulang sendiri atau nggak? Kalau sampai terjadi sesuatu pada kandunganmu, aku juga yang akan kena masalah.”

“Tenang saja. Aku bisa pulang sendiri. Hari ini aku nggak bawa mobil. Tadi pagi, aku mual-mual. Jadi, aku ke kampus naik taksi.”

“Kalau begitu, aku pergi dulu. Kamu hati-hati.”

“Akhyar!” panggil Andina.

Akhar menoleh.

“Ingat, jangan coba-coba untuk jatuh cinta padaku. Karena itu hanya akan sia-sia. Aku nggak akan pernah membalas cintamu itu.”

Kedua alis Akhyar hampir bertautan. “Dasar perempuan aneh. Ngaca dulu sana! Satu hal pun nggak ada pada dirimu yang membuatku bisa jatuh cinta,” ujarnya, lalu pergi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!