Berakhir sudah kisah cinta antara Akhyar dan Sania. Akhyar juga mengakhiri kontrak pekerjaannya dengan restoran. Ia berbicara dengan Pak Toto sembari terus mengelap wajahnya yang terasa lengket karena krim kue.
Keesokan harinya, di pagi hari, chat dari Andina masuk ke ponsel Akhyar. Wanita itu mengirimkan alamat sebuah butik. Ia diminta datang ke butik itu pukul tiga belas.
Akhyar sangat membenci orang-orang yang tidak tepat waktu. Saat masih kuliah, jika ada dosen yang terlambat satu menit saja, ia akan langsung menelepon dosen bersangkutan. Ia tidak segan protes jika ada dosen yang tidak datang tanpa pemberitahuan.
Tepat pukul tiga belas, Akhyar sudah berada di Alya’s Boutique. Ia masuk, berpikir Andina sudah ada di dalam. Namun, orang yang ingin ditemuinya tak terlihat. Hanya seorang wanita di balik meja kasir yang ada di butik itu.
“Pak Akhyar, ya?” Pegawai butik itu menghampiri Akhyar.
“Iya.”
“Silakan masuk, Pak.”
Akhyar berpikir Andina sudah ada di dalam. Ia pun mengikuti pegawai butik itu ke lantai dua. Namun, sesampainya di lantai dua, tidak seorang pun di sana.
“Kenapa tidak ada orang di sini?” tanya Akhyar.
“Memang seharusnya hari ini butik tutup, Pak. Soalnya, hari ini semua karyawan sedang liburan bersama ke Bandung. Itu sudah agenda tahunan butik ini.”
“Terus, Mbak sendiri?”
“Saya terpaksa jaga butik, Pak. Bu Andina adalah pelanggan VIP di butik ini. Kata Bu Andina, ini mendesak banget. Makanya, butik buka khusus Bu Andina.”
Akhyar menatap sekeliling. “Di mana Andina sekarang?”
“Bu Andina belum datang, Pak. Saya tahu Pak Akhyar karena Bu Andina sudah mengabari ke butik sebelumnya.”
Akhyar berdecak kesal. Dikeluarkannya ponsel untuk mengecek jam. Sudah lewat lima belas menit dari waktu yang dijanjikan. Ia lantas mencoba untuk menelepon Andina. Sialnya, wanita itu tidak mengangkat.
“Mau coba jasnya dulu, Pak? Biar saya tahu ukuran Pak Akhyar dulu,” kata si pegawai butik.
Akhyar menyerah menelepon Andina setelah mencoba lima kali. Ia mengangguk. Diputuskannya untuk mencoba salah satu jas. Jas pertama terlalu longgar. Jas yang kedua terlalu kecil. Jas ketiga sudah sedikit lebih cocok, tapi masih kurang pas di badan Akhyar. Setelah mencoba jas yang keempat, baru benar-benar pas.
“Baik, Pak. Ukurannya akan saya samakan dengan jas ini.”
“Kalau begitu, saya boleh pergi kan, Mbak?”
Pegawai butik itu tersenyum canggung. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Biasanya, pasangan pengantin yang ingin membeli jas dan gaun di butik itu selalu mencocokkan selera masing-masing.
“Tidak mau menunggu Bu Andina dulu, Pak? Siapa tahu Bu Andina butuh saran Pak Akhyar untuk gaun pengantinnya nanti.”
“Tidak perlu. Dia tidak akan membutuhkan saran apa pun dariku,” kata Akhyar, berjalan ke arah tangga.
Baru saja Akhyar menginjakkan kaki di anak tangga ketiga, Andina muncul.
“Kamu mau ke mana?” tanya Andina.
“Aku mau pulang. Istirahat.”
“Nggak boleh. Ayo naik.”
“Untuk apa? Aku sudah memilih jasnya. Kalau warna atau modelnya kurang sesuai menurutmu, silakan ganti. Ukurannya samakan saja dengan jas yang kupilih tadi.”
Saat Akhyar hendak melewati Andina, dua orang wanita berlari ke arah tangga. Akhyar mengenali dua wanita itu. Tasya dan Clara, sahabat Andina. Ketiga wanita itu selalu bersama-sama di kampus.
“Akhyar? Selamat, ya. Kamu akan menikah dengan Andina. Entah pelet apa yang kamu berikan sampai Andina mau menikahi kamu,” kata Clara tanpa peduli perasaan Akhyar. Ia menatap pria yang dibicarakannya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ia sama sekali tidak melihat sesuatu yang istimewa. Menurutnya, Ian jauh lebih tampan. Dan, yang paling jelas, Ian berasal dari keluarga yang mapan.
Akhyar tertawa.
Andina menaiki anak tangga. Ia berdiri di samping Akhyar dan meraih lengan calon suaminya itu.
“Jangan bicara seperti itu, Ra. Penilaian kamu juga pasti akan berubah jika mengenal Akhyar lebih dalam. Dia laki-laki yang baik. Karena itu aku memilihnya untuk menjadi suamiku.”
Kening Akhyar mengerut. Ia sama sekali tidak nyaman dengan sikap Andina. Terlebih, wanita itu kini memaksanya untuk bersandiwara di depan Tasya dan Clara secara spontan tanpa pemberitahuan atau diskusi sama sekali.
“Terserah kamu deh, Din. Kalau menurutku, sih. Ini keputusan yang salah. Kamu benar-benar bodoh meninggalkan Ian demi Akhyar.” Tasya melewati Akhyar dan Andina. Ia sengaja menyenggolkan sikutnya ke Akhyar.
Hampir saja Andina jatuh karena apa yang dilakukan Tasya itu. Untung Akhyar dengan sigap meraih pinggang Andina.
Setelah Tasya dan Clara naik ke lantai dua, Akhyar mendengkus kesal. “Apa-apaan ini?”
“Sudah aku bilang kita harus total dalam kebohongan ini.” Andina menyingkirkan tangan Akhyar dari pinggangnya, lalu menempelkan punggungnya ke dinding. “Mereka nggak tahu apa yang terjadi. Mereka hanya tahu kalau aku akan menikah denganmu karena aku memang mencintaimu. Aku tidak memberitahu kalau sedang hamil.”
“Kenapa nggak kamu sembunyikan saja pernikahan ini dari mereka?”
“Bagaimana mungkin? Kalau mereka melihat perutku membesar, pasti mereka juga akan bertanya. Sudah, sebaiknya kamu ikuti saja sandiwara ini. Kamu nggak akan sering bertemu dengan mereka, kok.” Andina beralih. Ia menjejakkan kakinya satu anak tangga. “Tunggu. Kenapa aku merasa kamu nggak sopan ya hari ini? Biasanya kamu selalu memanggilku Mbak Andina.”
Kedua alis Akhyar terangkat. “Bagaimana mungkin aku memanggilmu Mbak Andina, sementara kita akan segera menikah? Bukankah kamu sendiri yang meminta aku untuk melakukan sandiwara ini dengan total?”
Akhyar tersenyum sinis. Ia mendahului Andina naik ke lantai dua kembali. Di sana, Tasya dan Clara sedang asyik melihat-lihat gaun pengantin seolah mereka yang akan menikah.
Karena sudah selesai memilih jas, Akhyar duduk di sofa. Ia membuka sosial media agar tidak perlu melihat tingkah menyebalkan Tasya dan Clara. Ia juga tidak peduli ketika Andina meletakkan tas di meja yang ada di depannya.
“Pak Akhyar, bagaimana penampilan Bu Andina?”
Akhyar tersentak ketika pegawai toko menghampirinya setelah beberapa saat. Hampir saja ponselnya terlepas dari tangan.
Akhyar mengangkat wajahnya. Ia menatap Andina yang keluar dari ruang ganti. Matanya tak berkedip melihat wanita yang sedang memakai kebaya pengantin itu.
Tak bisa dipungkiri, Andina memang wanita yang cantik. Akhyar yang selama ini tak menyukai Andina karena sikap wanita itu juga mengakuinya. Wajah yang mungil, hidung yang mancung, mata yang selalu agresif, dan juga bibir yang ahli menebar senyum memikat.
“Pak?” Pegawai toko memanggil Akhyar kembali dengan senyum lebar. “Apa Bu Andina secantik itu sampai Pak Akhyar tidak berkedip.”
Akhyar menggeleng. “Nggak, Mbak. Kebayanya cantik. Semua wanita yang memakainya pasti terlihat cantik.”
“Apa salahnya sih mengakui Andina memang cantik,” ketus Tasya, yang didukung Clara dengan anggukan.
“Kalau kalian sudah tahu itu, kenapa masih bertanya padaku? Andina adalah wanita yang cantik. Baju apa pun yang dikenakannya pasti terlihat indah.” Akhyar berdiri. Ia takut tidak bisa menahan kekesalannya melihat sikap dua sahabat calon istrinya itu. “Aku ke kamar mandi dulu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments