Kejutan

Setelah skripsinya selesai, Akhyar bekerja di sebuah restoran. Sebisa mungkin, ia tidak ingin membuang waktu. Ia ingin segera punya penghasilan sendiri. Karena ijazahnya belum keluar dan waktu yang belum lama, ia hanya bisa mendapatkan pekerjaan sebagai pramusaji.

Hari ini, Akhyar ke kampus untuk mengambil ijazah. Sebelum mendapatkan kabar buruk tentang ia yang harus menikahi Andina, Akhyar berniat mulai mencari pekerjaan lain besok. Namun, jika sudah seperti ini, rencananya harus diurungkan. Ia akan bekerja di hotel milik keluarga Andina.

Akhyar memarkirkan motornya. Ditatapnya pintu restoran tempatnya bekerja beberapa bulan belakang ini. Ia tersenyum simpul.

“Oi, Yar! Kenapa bengong? Buruan masuk! Itu Pak Toto sudah marah-marah!”

Akhyar tersentak. Ia menoleh pada Dimas, rekan kerjanya yang baru datang.

Akhyar buru-buru meletakkan helm, lalu mengejar Dimas. “Kenapa lagi dengan Pak Toto?” tanyanya.

“Dia marah-marah soal meja yang kurang bersih.”

“Meja yang mana? Bukannya semalam semua sudah bersih?”

“Aku juga nggak tahu. Ayo kita masuk. Semua udah kumpul di dalam.”

Saat memasuki restoran, Akhyar menyempatkan diri untuk melirik ke arah pintu ruangan Pak Toto yang terbuka. Ia melihat beberapa orang rekan kerjanya berdiri di depan meja Pak Toto.

Sesampainya di ruang ganti, bukannya bergegas mengganti baju, Dimas malah duduk setelah meletakkan tasnya di loker.

“Kenapa? Kamu bilang tadi kita harus buru-buru masuk. Sekarang, malah kamu yang santai,” kata Akhyar sembari mengganti bajunya dengan seragam pramusaji.

“Kamu pasti lihat tadi yang lain sedang dimarahi di ruangan Pak Toto. Setelah aku pikir-pikir, kita muncul setelah Pak Toto selesai marah-marah aja. Aku capek mendengar suara cemprengnya.” Dimas berbicara sambil membalas chat di ponselnya.

Akhyar berdecak. “Kita harus ke sana sekarang. Kamu jangan tidak setia kawan. Kita harus sama-sama bertanggung jawab atas masalah yang terjadi. Buruan ganti baju!”

“Iya ... iya. Aku ganti baju sekarang.”

Dimas kemudian mengganti bajunya. Ia bahkan bersenandung dengan santai. Padahal, saat di tempat parkir tadi, Dimas terlihat panik.

Belum selesai Dimas mengancing seragamnya. Akhyar menarik tangan pria itu untuk segera ke ruangan Pak Toto.

“Nggak sabar banget, Yar. Kamu sudah kangen pada Pak Toto?”

Pintu ruangan Pak Toto telah ditutup. Akhyar mengetuk pintu itu. Cukup lama pintu dibuka. Tidak seperti biasa.

“Pak Toto.” Kali ini Akhyar mengetuk sembari memanggil nama sang pemilik ruangan.

Pintu terbuka. Suara terompet menyambut Akhyar.

“Selamat ulang tahun!” seru seorang wanita bergaun merah tepat di pintu yang terbuka sembari memegang kue yang di atasnya terdapat lilin menyala.

Senyuman Akhyar mengembang lebar. Ia melirik ke arah jam dinding. Belum pukul dua puluh empat. Ulang tahunnya masih beberapa jam lagi.

Akhyar memanjangkan lehernya untuk melihat ke belakang. Pak Toto dan semua rekannya yang ia pikir sedang dimarahi bertepuk tangan seraya menyanyikan lagu selamat ulang tahun.

“Ini terlalu cepat, Sania. Masih ada beberapa jam lagi,” ujar Akhyar.

“Udah, tiup dulu lilinnya, baru aku jelasin nanti.”

Akhyar meniup lilin hingga padam untuk menyudahi keramaian itu. Semua pengunjung menatap ke arahnya karena nyanyian ulang tahun yang dipandu Sania.

Satu per satu rekan-rekan kerjanya mengucapkan selamat ulang tahun, termasuk Pak Toto. Ternyata, Dimas sengaja mengulur waktu karena tadi Sania baru datang. Dimas baru tahu ketika membaca chat dari Pak Toto di kamar ganti.

“Terima kasih atas kejutannya.” Akhyar menatap Sania. “Tapi, kenapa secepat ini?”

“Nanti saja bertanya. Sekarang, nikmati dulu malam ini. Sania sudah mememan meja khusus.” Dimas menunjuk pada meja yang dihias dengan dengan taplak berwarna biru. Di atas meja terdapat satu buket mawar merah dan kotak dengan pita. “Pergi sana! Nikmati malam ini. Aku akan mengurus pekerjaanmu.”

Akhyar tersenyum. Ia mengikuti Sania ke meja itu.

“Aku menyiapkan kejutan ini tiga hari yang lalu.” Sania meletakkan kue yang dibawanya, lalu duduk. “Seharusnya, aku memberikan kejutan ini besok. Tapi, Papa ada pekerjaan ke Paris besok. Kamu tahu kalau aku sudah menunggu saat seperti ini, ‘kan? Aku akan berangkat bersama Papa dan Mama ke Paris. Jadi, aku memajukan kejutan ini. Tidak apa-apa, ‘kan?”

Akhyar menatap semua yang ada di meja itu. Kue ulang tahun, bunga, dan kotak kado.

“Terima kasih atas kejutannya.” Akhyar berusaha tersenyum selebar mungkin meski dalam kepalanya ia sedang berpikir bagaimana mengatakan masalah pernikahan dengan Andina.

“Ini kado untukmu. Coba buka. Kamu pasti suka.” Sania mendorong kado yang disiapkannya ke depan Akhyar.

Namun, Akhyar malah mendorong kado itu ke depan Sania.

“Ada apa? Kamu nggak suka kado dariku? Kamu belum membukanya, loh. Buka aja dulu.”

“Maaf, Sania. Bukan karena aku nggak suka. Tapi, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

“Soal apa? Jangan bilang kamu melarangku ikut Papa ke Paris.”

Akhyar menggeleng. “Bukan. Aku turut senang kalau sudah menginginkan pergi ke Paris sejak lama. Yang ingin aku bicarakan adalah hal lain.”

“Apa?”

“Tentang pernikahan.”

“Pernikahan.” Mata Sania sontak melebar. Ia belum pernah memikirkan masalah pernikahan karena masih kuliah. “Aku masih kuliah. Dan, sebentar lagi aku akan mulai menyusun skripsi. Lagi pula, kamu belum dapat pekerjaan, ‘kan? Atau, kamu mau bekerja di perusahaan Papa?”

Akhyar memejamkan matanya. “Aku akan menikah dengan Andina.”

Tangan Sania yang masih memegang kotak kado perlahan mengendur. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Kamu bercanda, ‘kan? Menikah dengan Andina? Anaknya Pak Satrio? Bukannya kamu nggak suka dengan perempuan itu? Kamu bilang keluarganya sering memperlakukan ibumu semena-mena, ‘kan?”

“Iya. Tapi, kami juga punya utang budi yang nggak bisa kami balas, kecuali dengan cara ini.”

Sania tertawa. “Utang budi? Itu alasan yang sangat konyol. Dan, atas dasar apa Andina akan mau menikah denganmu? Dia berpacaran dengan Ian. Semua orang di kampus tahu itu. Mereka adalah pasangan yang serasi. Dari kasta yang sama. Semua orang di kampus juga tahu, kamu bukan tipenya Andina. Perempuan itu punya standar yang sangat tinggi.”

Sudut bibir Akhyar terangkat. Ia tahu dirinya dan Andina berada di kasta yang berbeda. Semua orang di kampus juga pasti akan sangat terkejut jika mendengar kabar pernikahan mereka.

“Ada banyak hal dalam hidup kita yang nggak bisa diprediksi. Aku memang jauh di bawah standarnya Andina. Tapi, pada akhirnya kami ditakdirkan menikah.” Akhyar tak sanggup menatap mata Sania yang telah basah. “Sekali lagi, aku minta maaf. Kita berdua juga berasal dari kasta yang berbeda. Aku menghormati keputusanmu karena sudah mau memilihku di antara banyaknya pria yang mendekatimu. Kamu wanita yang baik, Sania. Kamu pasti bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku.”

Sania berdiri. Ia mengangkat kue ulang tahun dari meja, lalu melemparkannya ke wajah Akhyar.

Wajah Akhyar dipenuhi dengan krim kue. Begitu pula dengan seragamnya. Namun, ia tidak mengatakan apa pun. Ia pantas mendapatkan itu semua.

“Kamu pikir, berapa orang yang mengatakan aku wanita bodoh setelah memilih kamu menjadi pacarku? Banyak. Mereka bilang aku buta. Wanita secantik dan berasal dari keluarga kaya sepertiku mau menjadi pacarmu. Seharusnya, kamu bersyukur, Akhyar.” Nada suara Sania meninggi. “Kamu pikir aku akan diam saja? Nggak. Aku nggak terima diperlakukan seperti ini. Akan aku pastikan pernikahanmu hancur. Kamu nggak akan bahagia.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!