Andina meletakkan tasnya di meja rias. Ia lalu mengeluarkan secarik amplop cokelat dari tas itu. Diberikannya amplop itu pada Akhyar.
“Aku sudah menyusun semua syaratnya di dalam berkas ini.”
Dahi Akhyar mengerut. Ia mengambil amplop cokelat dari tangan Andina. Dikeluarkannya isi amplop itu.
“Apa ini?” tanya Akhyar ketika menemukan dua lembar kertas di dalam amplop.
“Surat perjanjian?”
“Iya. Kamu tahu sendiri kalau aku tidak menginginkan pernikahan ini . Aku terpaksa. Begitu juga dengan kamu. Aku tahu kamu tidak mau menikah denganku.”
“Apa terlihat terlalu jelas di wajahku?” Akhyar tertawa sinis.
Andina mengangguk. “Iya. Sangat jelas. Yang aku dengar juga dari orang-orang di kampus, kamu masih pacaran dengan Sania, ‘kan? Karena aku memikirkan hubungan kalian berdua, makanya aku membuat surat perjanjian ini.”
Akhyar membaca satu per satu pasal-pasal perjanjian di kertas yang dipegangnya. Ia kemudian tertawa, setelah membaca semua pasal-pasal itu.
“Wah, imajinasi Mbak Andina bagus juga, ya! Pihak B tidak boleh mengatur Pihak A. Pihak B dilarang menyetuh Pihak A selama pernikahan. Masing-masing Pihak bebas melakukan apa pun di luar rumah selama tidak membuat orang lain curiga. Pernikahan akan berakhir paling lambat dua bulan setelah bayi Pihak A lahir.” Akhyar membacakan empat pasal di antara beberapa pasal itu.
“Tidak ada masalah, ‘kan?” Andina menyilangkan tangan di dada.
Akhyar membaca kembali surat perjanjian di tangannya dengan saksama. Tak ada pasal yang merugikannya, selain pernikahan itu sendiri.
Tidak mau membuang waktu lebih lama. Akhyar mengeluarkan pulpen dari dalam tas. Ditandatanganinya surat perjanjian itu tanpa bertanya lebih banyak lagi.
“Sudah. Urusan kita sudah selesai, kan, Mbak? Aku akan pergi. Aku sif malam hari ini.”
Andina tertawa. “Dengan kamu menandatangani surat itu, urusan kita baru dimulai, Akhyar. Kamu harus berhenti dari pekerjaanmu sekarang dan mulai bekerja di perusahaan Papa. Kita juga harus ke butik untuk mencari jas dan gaun pengantin. Kamu nggak berpikir akan memakai kaos oblong atau kemeja kotak-kotak di depan penghulu, ‘kan?”
Kedua alis Akhyar hampir bertautan ketika mendengar ucapan Andina itu. “Jas dan gaun? Apa kita memerlukan itu? Ini hanya pernikahan bohongan. Kita tidak benar-benar akan berumah tangga.”
Andina mendekati Akhyar. Ia mengambil surat perjanjian yang dipegang pria itu. “Kebohongan yang paling meyakinkan adalah kebohongan yang dilakukan sepenuh hati. Meski ini pernikahan bohongan kita harus total.”
Akhyar memutar bola matanya. “Baiklah. Aku ikut akan ikut Mbak Andina ke butik. Tapi, jangan hari ini. Aku harus menyelesaikan urusanku dulu.”
“Oke. Nggak masalah.”
Setelah Andina setuju, Akhyar meninggalkan kamar Andina. Ia berlari menapaki anak tangga. Di anak tangga terakhir, ia bertemu dengan Bu Rini, ibunya Andina.
“Selamat siang, Bu.” Akhyar hendak melewati Bu Rini. Namun, Bu Rini menghalangi jalannya.
“Kamu pasti sudah mendengar—.”
“Ya. Saya sudah mendengar tentang pernikahan saya dengan Mbak Andina, Bu.” Akhyar memotong ucapan Bu Rini. “Saya juga sudah menandatangani surat perjanjian dengan Mbak Andina.”
Raut wajah Bu Rini tampak tidak bersahabat dan Akhyar tidak menyukai itu. Yang membutuhkan bantuan sekarang adalah keluarganya Bu Rini. Akan tetapi, kenapa wanita itu terus berwajah masam di depannya?
“Kamu harus mengikuti semua pasal yang ada di dalam surat perjanjian itu. Jangan khawatir. Kamu akan dibayar dua kali lipat dari gaji yang kamu dapatkan sekarang.”
Akhyar berdecak. “Saya tidak memerlukan itu, Bu. Selama ini Pak Satrio sudah sering membantu saya dan ibu saya. Anggap saja ini sebagai balas budi atas kebaikan keluarganya Ibu. Maaf, Bu. Saya buru-buru.”
Tidak nyaman berlama-lama di depan Bu Rini, Akhyar pergi tepat ketika wanita itu baru saja hendak membuka mulut.
“Semua anggota keluarga ini benar-benar punya kelebihan untuk membuat orang kesal,” gerutu Akhyar ketika bertemu ibunya di dapur. Ia lantas meninggalkan rumah itu melalui pintu belakang.
Bu Nani hanya menatap punggung putranya itu. Ia tak sanggup mengantakan apa pun lagi. Perasaan bersalah memenuhi dadanya. Jika ada jalan lain untuk membalas budi pada keluarga Pak Satrio, pasti akan ia lakukan. Namun, tidak ada cara lain diketahuinya. Ia tak mampu membantu masalah keuangan Pak Satrio sekarang. Tabungannya di bank tak seberapa jika dibandingkan perhiasan Bu Rini yang masih ada.
Sementara itu, di kamar, Andina menatap tanda tangan Akhyar di surat perjanjian sembari berbaring di ranjang. Ia ingin berteriak, melepas semua yang tertahan di dadanya. Ia merasa hidupnya benar-benar sial. Di tengah kehamilannya sekarang, ia tak bisa bersama dengan pria yang dicintainya.
Begitu mengetahui kalau dirinya hamil, Andina sempat menelepon Ian. Namun, Ian tidak mengangkat. Ia lantas ke rumah pria itu untuk menanyakan kabar Ian setelah seminggu tak mendapatkan kabar. Ternyata, ponsel Ian hilang. Ian memberitahu keluarganya beberapa hari yang lalu melalui e-mail.
Saat sedang di rumah Ian, Andina mual hebat hingga tubuhnya terkulai lemas. Ibunya Ian kemudian berinisiatif membawa Andina ke klinik terdekat. Di sana keluarga Ian mengetahui kalau Andina sedang hamil. Padahal, Andina berniat untuk menyembunyikan hal itu lebih dulu dari semua orang.
Malam harinya, Bu Rini datang ke kamar Andina. Bu Rini meminta Andina untuk tidak memberitahu Ian mengenai kehamilan itu. Keluarganya Ian ingin pria itu fokus menyelesaikan kuliahnya dulu.
Tentu saja Andina menolak. Ia tidak mau menanggung ini semua sendirian. Ia butuh Ian di sampingnya. Sialnya, kalimat yang diucapkan oleh Bu Rini selanjutnya membuat Andina tak sanggup untuk membantah lagi.
“Papa akan di penjara kalau kamu tidak menurut, Din,” kata Bu Rini saat itu.
Selama ini, Andina tidak peduli dan tidak mau tahu bagaimana ayahnya mencari uang. Ia hanya tahu semua keinginannya selalu dipenuhi. Barang-barang mewah yang diinginkannya selalu dibelikan.
Sebenarnya, tak ada masalah dengan bisnis hotel Pak Satrio. Hanya saja Pak Satrio sedang sial. Ia ditipu oleh sahabatnya sendiri dalam investasi bodong. Karena sahabatnya sendiri, Pak Satrio percaya begitu saja hingga ia kehilangan ratusan milyar.
Uang yang dipakai untuk investasi itu adalah uang perusahaan. Untuk mengembalikannya, Pak Satrio terpaksa meminjam ke bank hingga mencapai limit pinjaman. Selain itu, Pak Satrio masih harus membayar bulanan yang belum tentu bisa ia penuhi. Di titik inilah keluarganya Ian datang menawarkan bantuan yang tak bisa ditolak meski dengan syarat yang memberatkan Andina.
Air mata Andina jatuh. Ia tersentak. Ia mengingat momen ketika Ian pulang ke Indonesia empat bulan lalu. Mereka menghabiskan waktu bersama. Liburan ke Labuan Bajo, menikmati berbagai keindahan laut di sana.
Setelah tenggelam dalam lautan momen bahagia, Andina meraih ponselnya. Ia membuka galeri foto. Ditatapnya foto Ian sembari tersenyum getir.
“Cepat kembali. Aku butuh kamu di sini. Bawa aku bersamamu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Nurul Kosidah
masih sombong oja kel andina
2023-11-03
0
Enung Samsiah
Andini knpa sedih itu slhmu murahn,,, yg jdi korban sbnrnya ahyar
2023-05-30
0