Terpaksa Menikahi Anak Pembantuku
[Dari kampus, langsung datang ke rumah Pak Satrio ya, Yar. Ada yang mau Ibu bicarakan sama kamu.]
Akhyar memasukkan ponselnya kembali ke saku setelah membaca chat dari ibunya. Tadi pagi, ibunya tampak biasa saja. Namun, setelah membaca chat itu, Akhyar merasa ada masalah yang cukup besar.
Bu Nani tahu Akhyar tidak suka ke rumah Pak Satrio. Karena di rumah itu, Bu Nani sering tidak dihargai. Meski seorang pembantu, Akhyar tidak suka melihat ibunya dimarahi karena beberapa hal sepele. Seperti tak sengaja menyenggol sebutir telur hingga jatuh dan pecah, terlambat menyiram bunga setengah jam dari jadwal, serta beberapa hal sepele lainnya. Bahkan, terkadang Bu Nani dimarahi ketika tidak melakukan kesalahan apa pun. Istri Pak Satrio marah-marah begitu saja untuk melampiaskan kekesalannya ketika baru pulang dari arisan.
Sejak membicarakan masalah itu dengan Akhyar, Bu Nani tidak pernah memanggil putranya itu lagi ke rumah Pak Satrio. Jika Bu Nani memanggilnya, berarti ada masalah yang benar-benar serius.
“Akhyar!”
Seorang wanita memanggil Akhyar ketika ia baru saja sampai di tempat parkir. Ia berdecak kesal karena mengenali suara itu.
“Ada apa, Mbak?” tanya Akhyar. Ia menatap acuh tak acuh pada wanita yang menghampirinya. Wanita itu bernama Andina, anak dari Pak Satrio.
“Ayo kita bicara,” kata Andina.
“Silakan, Mbak. Saya sedang buru-buru.”
“Jangan di sini. Ikut aku ke mobil.” Andina menatap orang-orang yang berlalu-lalang di sekelilingnya. Yang ingin dibicarakannya dengan Akhyar tidak boleh didengar oleh satu orang pun.
Akhyar menghela napas. “Di sini saja. Saya harus segera pulang.”
Andina memutar bola matanya. Ia mulai kesal dengan sikap Akhyar. “Kamu dengar, nggak? Aku bilang kita bicara di mobil. Ikut aku sekarang!” tegas Andina, berbalik menuju tempat parkir khusus mobil.
Akhyar tertawa sinis. Bukannya mengikuti Andina, ia malah bergegas ke arah motornya. Ia menyalakan motor, lalu meninggalkan kampus. Ibunya lebih penting daripada Andina.
Tidak sampai satu jam, Akhyar sampai di rumah Pak Satrio. Akhyar buru-buru ke pintu belakang. Ia tak pernah masuk ke rumah itu melalui pintu depan.
“Ada apa, Bu?” Akhyar masuk dan langsung meletakkan tasnya di meja yang ada di dapur itu. Ia menghampiri ibunya yang sedang mencuci sayuran.
Tanpa mengatakan apa pun, Bu Nani menarik Akhyar keluar. Mereka berbicara di bawah pohon hias yang ada halaman belakang.
“Yar, Ibu minta tolong sama kamu.”
“Minta tolong apa, Bu?” Melihat raut wajah panik ibunya, Akhyar merasakan benar-benar telah terjadi sesuatu yang buruk. “Apa Ibu dimarahi Bu Rini lagi?”
Bu Nani menggeleng. “Kamu turuti permintaan ibu, ya.”
Akhyar berusaha tersenyum. Ia meraih tangan ibunya. “Kalau aku sanggup, aku pasti turuti permintaan Ibu. Tujuan hidupku adalah membuat Ibu bahagia.”
“Kamu nikahi Andinya ya, Yar.”
Akhyar menarik tangannya. Matanya berkedip beberapa kali dengan cepat, berpikir ibunya salah ucap. Tanpa sadar, ia mundur dua langkah.
“Apa tadi, Bu?”
“Kamu tolong nikahi Andina.”
“Ha? Menikahi Andina? Anak Pak Satrio?”
Ini adalah hal yang paling tidak pernah terpikirkan oleh Akhyar. Selain sangat jarang bicara dengan Andina, ia sangat malas bertemu dengan bertemu dengan wanita itu. Pernah satu kali, Akhyar tak sengaja mendengar Andina mengatakan kalau wanita itu tidak sudi dekat-dekat dengan anak pembantu.
“Ibu bercanda, ‘kan? Bagaimana mungkin aku menikahi Andina. Melihatku saja dia jijik.” Akhyar teringat dengan Andina yang tiba-tiba menghampirinya tadi.
“Andina hamil.”
Mata Akhyar sontak melebar. Andina hamil? Ini benar-benar kabar yang mengejutkan, mengingat Pak Satrio selalu membanggakan putri tunggalnya itu akan selalu menjaga diri meski pergaulannya luas. Akan tetapi, yang membuat bingung adalah hubungan kehamilan Andina dengan Akhyar.
“Andina hamil? Terus apa hubungannya denganku, Bu? Kenapa aku yang harus menikahi Andina? Dia hamil karena pacarnya, ‘kan?”
“Iya. Situasinya agak rumit, Yar. Mas Ian, pacarnya Andina sedang kuliah di London. Sebentar lagi kuliahnya selesai. Jadi, keluarganya Mas Ian tidak mau anak mereka dibebani dengan kabar ini.”
“Hah? Pacarnya Andina belum tahu kalau Andina sedang hamil? Pak Satrio mau saja gitu menuruti permintaannya keluarganya Ian, Bu?”
Bu Nani mengangguk. “Pak Satrio tidak punya pilihan. Perusahaan Pak Satrio sedang krisis keuangan. Pak Satrio membutuhkan bantuan keluarganya Mas Ian untuk mengatasi masalah itu.”
“Lalu kenapa kita yang jadi korban, Bu? Kita nggak ada hubungannya dengan masalah mereka.” Suara Akhyar meninggi. Ia kesal karena majikan ibunya selalu bersikap sesuka hati.
Bu Nani menunduk. “Kamu ingat dengan ayahmu sebelum meninggal?”
Seketika, Akhyar memejamkan mata. Ia kembali mengingat kondisi ayahnya sebelum meninggal. Matanya terasa panas. Ada air mata yang memaksa untuk keluar.
“Semua biaya rumah sakit ditanggung Pak Satrio, Yar. Kita punya utang budi pada keluarga ini. Bukan hanya beberapa bulan sebelum meninggal. Pak Satrio juga sering meminjamkan uang pada Ibu untuk ayahmu berobat dan juga untuk uang kuliahmu.”
Akhyar menatap langit. Tangannya mengepal. Ia tahu utang budi itu. Karena hal itu juga ia tidak meminta ibunya berhenti bekerja di rumah Pak Satrio meski sering dimarahi karena hal sepele. Akhyar menganggap ini adalah cara mereka untuk membayar utang budi pada keluarga Pak Satrio.
“Apa dengan ini, utang budi kita akan lunas, Bu?” tanya Akhyar dengan mata berkaca-kaca.
“Mungkin saja.”
Akhyar menghela napas. “Aku akan memikirkannya, Bu.”
Bu Nani langsung memasang wajah memelas. Ia kembali mengingat bagaimana Pak Satrio meminta bantuannya tadi. Untuk pertama kali, Pak Satrio memohon padanya.
“Oke. Aku akan menikahi Andina. Tapi, dengan satu syarat. Ibu berhenti bekerja di rumah ini.” Akhyar tidak tahan melihat wajah memelas ibunya. “Utang budi kita sudah lunas kalau aku menikahi Andina kan, Bu? Jadi, nggak masalah kalau Ibu berhenti dari rumah ini.”
“Iya. Ibu akan berhenti bekerja di rumah ini.” Bu Nani memeluk Akhyar. “Terima kasih, Yar. Terima kasih sudah meringankan beban Ibu.”
“Itu sudah tugasku sebagai seorang anak, Bu.”
Akhyar tersenyum simpul setelah Bu Nani melepasnya. “Kalau begitu, aku pulang dulu, Bu. Kita bicarakan ini nanti di rumah saja.”
“Iya. Kamu pasti capek dari kampus. Kamu juga ada sif nanti malam, ‘kan?”
“Iya, Bu.”
Akhyar lebih dulu kembali ke dapur untuk mengambil tasnya. Ketika ia baru saja menyandangkan tas ke punggung, tangan seseorang menariknya dari belakang.
“Dari mana kamu? Bukannya aku bilang tadi ikut aku bicara di mobil?” gertak Andina.
Akhyar menghela napas. Wanita di depannya ini akan menjadi istrinya? Ah, Akhyar merasa hidupnya benar-benar sial.
“Ikut aku sekarang!” Andina menarik tangan Akhyar. Mereka naik ke lantai dua, ke kamar Andina.
Agar Akhya tidak bisa kabur, Andina mengunci kamar.
“Kenapa kamu pergi begitu saja tadi? Kamu nggak dengar apa yang aku bilang? Kita bicara di mobil.”
Akhyar memalingkan mata. “Aku sudah tahu apa yang mau Mbak Andina bicarakan. Aku setuju untuk menikahi Mbak Andina.”
“Kamu pikir semudah itu?” Andina menyilangkan tangan di dada. “Ada persyaratan yang harus kamu setujui lebih dulu.”
“Syarat?”
“Iya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments