"Putraku, sayang. Sebanyak apapun bayangan mencoba merebut inti jiwamu. Cinta kami akan selalu melindungimu. Seperti malam tak berbintang, jangan pernah membiarkan rasa takut menguasai hati mu."
Seketika seluruh rasa takut sirna tak berbekas. Hitungan telah usai. Deru nafas kembali teratur. Diraihnya bingkai kosong yang selalu menjadi cambuk ingatan. Sosok yang selalu menjadi bayangan, tak sekalipun berubah menjadi gambar yang nyata. Siapa dia yang membantai kedua orang tuanya?
"Siapapun kamu. Aku pastikan ajalmu lebih menyakitkan dari penyiksaan yang dirasakan orang tuaku." Tuan Muda meletakkan bingkai foto ke tempat semula, lalu beralih menarik laci pertama di sebelah kiri meja kerjanya.
Beberapa file berjejer rapi sesuai warna yang senada. Setiap file tertera nama perusahaan dan juga divisi. Jemari yang sibuk memilih hingga jatuh pada pilihan sebuah nama, tetapi bukan dari perusahaan. Melainkan file pekerjaan yang ia dapatkan dari orang asing. File merah dengan kertas putih stempel nama Ayunda Naila.
Laci ditutup, lalu file dibuka. Netranya fokus membaca isi file itu, bahkan teramat serius hingga tidak mempedulikan apapun yang terjadi di luar sana. Waktu yang berlalu, terus bergulir. Pekerjaan yang ia geluti, bukan sebuah pekerjaan biasa.
Bayangan aksi laga yang semalam, bahkan masih membekas dalam ingatannya. Walau begitu, pria itu memiliki sebuah prinsip. Setiap pekerjaan harus bersih dari bukti dan saksi. Termasuk pekerjaan semalam. File yang ada di ruang kerja merupakan kiriman paket dari seseorang yang menjadi kepercayaannya.
Pekerjaan berikutnya datang dari Ayunda Naila. Status file tiga hari dari hari pengiriman. Entah apa yang akan menanti di depannya nanti, tapi setelah selesai membaca isi file. Sesuatu mengusiknya. Apakah pekerjaan kali ini lebih sulit atau lebih mudah? Ia pun tak tahu.
Satu sisi Sang Tuan yang hidup ditengah perkotaan terus berusaha menemukan titik terang akan masa lalunya. Sementara di suatu tempat, di dalam kegelapan dengan sinar cahaya merah. Kursi tahta dengan lambang tengkorak menjadi perebutan.
Setelah kematian dari pemimpin yang secara mendadak menggemparkan seluruh ras. Para rakyat menuntut untuk segera mendapatkan pemimpin baru. Namun, dari para perwakilan justru saling menuding atas pembunuhan yang menjadi penyebab kekacauan.
Suara demo di luar sana, membuat seorang gadis yang tengah berduka mengusap air matanya. Gadis berusia sembilan belas tahun yang selama ini hidup dengan manja. Tiba-tiba berubah menjadi pendiam, ia tak menyangka akan menjadi yatim piatu dalam waktu semalam.
Dialah putri dari pemimpin Ras Pengendali pikiran. Ayahnya selama sepuluh tahun terakhir memimpin ras tersebut dengan bijaksana, bahkan terkesan melindungi setiap rakyat yang meminta perlindungannya. Tidak sekalipun, dia melihat sang ayah berlaku ketidakadilan.
Akan tetapi, kenapa ada orang yang tega membantai ayahnya, bahkan tidak mengampuni ibunya juga. Sekarang, keributan akan tahta yang kosong memanaskan hati para manusia berhati serakah. Tiba-tiba, ada tangan yang menyentuh pundaknya.
"Starla, bersiaplah! Tahta ayah mu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Apa kamu ingat, pesan terakhir beliau?"
Starla Gisela. Putri dari Tuan tanah Morgan. Ras pengendali pikiran yang mendiami wilayah pesisir hutan perbatasan pantai. Wilayah dengan keindahan alam dan juga rempah-rempah yang melimpah. Setiap rumah akan memiliki mata pencaharian sebagai petani dan juga merangkap sebagai nelayan.
Itu semua hanya kamuflase karena setiap para pengendali pikiran memiliki keahlian khusus untuk melakukan pekerjaan lain. Pekerjaan terselubung, termasuk beberapa ada yang menjadi anak buah polisi. Biasanya, para tersangka kejahatan akan mendapatkan bimbingan konseling.
Yah, bukan hanya anak sekolah, tetapi metode itu sangat praktis agar para penjahat mengakui semua kejahatan mereka. Walau begitu, jika sampai Tuan Morgan tahu. Maka akan mendapatkan hukuman. Ras pengendali pikiran. Siapa yang akan percaya adanya kelompok manusia dengan kemampuan itu?
"Bi, Starla belum siap untuk menjadi pemimpin." tolak gadis itu, membuat semua orang yang menjadi pendukung setia ayahnya menunduk lemas.
Sisa harapan sirna. Tatapan mata lesu. Orang-orang diam tak bergeming, tetapi semua pikiran bisa terbaca. Suara-suara yang terus memenuhi kepalanya semakin menyiksa. Rasanya ingin berteriak agar suara yang berkecamuk itu berhenti. Namun, ia sadar. Harapan rakyat tidak salah.
Menahan luka, siksaan batinnya. Starla bangkit, sorot mata berpendar mengamati duka yang dirasakan oleh semua orang. Disini, yang merasa kehilangan bukan hanya dia seorang. Lalu, kenapa hatinya hanya memikirkan keegoisan diri?
"Kumpulkan semua orang di aula!" tegas Starla membuat semua orang sumringah, mereka merasakan aliran hangat dengan sinar harapan. "Umumkan, pemakaman terakhir Ayah Morgan akan dilangsungkan bersama penobatan ku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments