"Papi mana mam?", tanya Amara saat ia tak mendapati sang papi di meja makan. Amara sendiri sudah rapi dengan seragamnya.
Selain tampak cantik, Amara juga terlihat berwibawa dan menarik. Hanya orang bodoh yang menolaknya pesona seorang Amara, dan Febri lah salah satu orang bodoh itu. 😆
"Papi lagi ga enak badan. Kecapekan mungkin!'', kata mami nya Amara, Kirana.
"Amara liat dulu deh!", kata nya hendak melangkah menjauh kamar papinya.
"Papi baru aja tidur sayang?!"
"Oh?", hanya sahutan itu yang keluar dari bibir mungil Amara.
"Tapi tadi papi pesan, tolong nanti jam makan siang kamu antar berkas ini ke kantor HS Grup. Tadi nya papi yang mau jalan, tapi malah sakit."
"Iya mi, nanti Mara antar."
"Pake mobil papi aja ya? Jangan naik motor dulu."
"Iya mam!"
.
.
"Mas Alby!"
Aku mendongak menatap Marsha yang masuk ke dalam ruangan ku. Dia membawa sebuah map, entah berisi apa. Mungkin pekerja lagi!
"Gue udah dapat pengganti buat nemuin Lo di sini." Ia memberikan map padaku.
Aku meletakkan pulpen ku, meraih map yang Marsha sodorkan. Aku baca CV dari karyawan yang sudah lolos seleksi Marsha.
"Cowok?"
"Heum! Gue rasa ,dia cocok sama Lo Mas. Dari segi usia , asal daerah bahkan nasib pun sama."
''Nasib apaan maksud Lo?", aku pindah duduk di sofa. Mengambil air mineral yang ada di atas meja.
"Sama single parent. Istrinya sudah meninggal, dan anaknya yang berusia tujuh tahun di sekolahkan di ponpes. Sepertinya...dia satu server sama Lo. Bedanya, dia lebih agamis kayanya. Dia ga mau sentuhan sama tangan gue !"
Masa iya sih Marsha sampai segitu nya memilih sekretaris aspri atau apa sebutan lah!
"Berati dia alim dong, ga kaya gue?"
"May be yes! Tapi, meski begitu dia ramah. Ga kaya Lo mas, Jutek! Saking takut nya di deketin cewek!"
"Ya, apa kata Lo aja!", sahutku.
Di saat kami sedang melanjutkan obrolan, ada ob yang mengetuk pintu.
"Masuk!"
Si ob membuka pintunya.
"Maaf pak Alby, di depan ada yang ingin bertemu dengan pak Alby."
"Siapa?"
"Perempuan, cantik, masih muda dan pakai baju seragam TNI pak!"
Marsha mengernyitkan alisnya. Dia tak mengenal siapa tamu Alby.
"Ya udah, persilahkan dia masuk!"
Selang beberapa menit, Amara pun masuk. Dia membawa sebuah map yang aku rasa isinya hasil kesepakatan kemarin.
"Permisi, Pak Alby?", sapa Amara. Marsha terheran-heran melihat ada perempuan berseragam mendekati Alby.
"Silahkan duduk nona Amara?!", aku hanya bersikap profesional.
"Terimakasih."
Marsha masih berdiri di samping Alby dengan pandangan herannya.
''Lo ngapa masih di sini Sha?", kata Alby lirih. Tapi Amara mendengar bisikan itu.
"Hah? Oh... ya udah gue balik ke ruangan gue."
Marsha melempar senyum pada Amara, pun sebaliknya. Setelah itu, Marsha keluar dari ruanganku.
"Ngomong-ngomong ada apa ya Lettu Amara bisa sampai ke sini?"
Amara tersenyum manis. Lalu menyerahkan berkas titipan dari papinya.
"Ini, papi nitipin berkas nya. Soalnya papi lagi ga enak badan. Jadi ya minta buat anterin sekalian."
"Oh!", sahut ku. Lalu membuka berkas yang yang Amara berikan. Membacanya sekilas dan setelah itu ku letakkan lagi.
"Sebenarnya tidak harus hari ini juga tidak apa-apa sih, belum terlalu di perlukan. Tapi ya ngga apa-apa kalo pak Rahardi menitipkan nya sekarang!"
"Maksud nya?", tanya Amara bingung.
"Ngga. Ngga apa-apa kok."
"Oh....!"
Hening! Mendadak ada kecanggungan di antara kami berdua. Aku pikir, setelah Amara tahu tentang aku yang seorang single parent dia akan ilfil padaku. Ternyata dia biasa saja, mungkin aku yang terlalu kegeeran???
"Ada lagi Lettu Amara?", tanyaku memastikan kenapa dia masih di sini . Apa sedang memikirkan kenapa papinya harus menyuruh nya untuk mengirim berkas yang sebenarnya tak terlalu penting?
"Hah? Oh...itu ..em!", Amara bingung mau bicara apa.
Kaku amat sih nih laki! Maksud nya dia ngusir gue gitu? Batin Amara gusar.
Aku meletakkan kedua tangan ku di atas meja. Aku mulai paham salting dari gelagat tubuh Amara. Sama, seperti perempuan yang selama ini mencoba mendekati ku. Bedanya, aku agak segan pada Amara selain karena pak Rahardi, dia juga teman satu kampus sekaligus...dia seorang anggota. Itu saja!
"Ngga kembali ke kantor instansi kamu? Jam makan siang udah mau habis!"
Ya Allah, dia beneran ngusir gue??? Pekik Amara dalam hati.
"Ini...mau balik. Kalo begitu aku permisi dulu ya By, makasih buat waktu nya!", kata Amara. Aku pun mengangguk pertanda mengiyakan.
Setelah itu, barulah ia keluar dari ruangan ku.
.
.
Jam lima sore, Amara masih berada di sebuah mall. Niatnya, dia ingin membeli kado yang Febri dan istrinya.
Setelah berkeliling beberapa saat, akhirnya ia menemukan hadiah yang pas. Dia harap hadiahnya akan di terima dengan baik oleh sepasang pengantin baru itu. Meski dalam hatinya, ia ragu. Apa sanggup melihat kebersamaan mereka berdua.
Amara kembali ke parkiran untuk mengambil mobilnya. Saat akan membuka mobil, ia baru ngeh jika ban nya kempes. Mau menunggu montir langganan untuk membereskannya tentu lama. Membiarkan mobil nya di parkiran, pasti biaya parkir nya membengkak tak kira-kira.
Akhirnya, ia menghubungi anak buah papinya. Beruntung tak lama kemudian, anak buah papinya datang.
Jika harus menunggu sampai beres, tentu lama. Akhirnya Amara sekalian menyerah kan mobil itu agar di bawa pulang ke rumah. Dia akan naik taksi saja untuk menuju ke sana.
Amara menuju ke halte. Menunggu taksi konvensional yang melintas. Dia tak punya aplikasi taxol. Tapi karena jam sibuk, dari tadi taksi penuh terus. Padahal Azan magrib sudut berlalu.
Sesekali Amara melihat jam yang melingkar di tangannya. Dia jadi was-was jika akan terlambat ke acara itu. Memang bukan acara formal, tapi tak enak saja kalau dia satu-satunya yang datang terlambat. Mana masih pakai seragam pula.
.
.
Aku solat magrib di kantor, jadi keluar kantor sudah cukup gelap. Menyusuri jalanan yang macet, tanpa sengaja aku melihat Amara di halte. Sepertinya ia sedang menunggu taksi. Karena aku melihat ia gelisah sambil menatap jam tangannya.
Aku menghentikan mobil ku di depan Amara. Lalu membuka kaca pintu depan.
"Masuk!", titah ku. Amara agak terkejut juga, tapi setelah itu ia tersenyum.
Amara membuka pintu mobil dan duduk di samping ku. Seperti ada kelegaan dari helaan nafas yang ku dengar.
"Makasih tumpangannya!", kata Amara.
"Gue ga tahu Lo mau ke mana, jadi setelah ada taksi dan jalan yang ga begitu macet Lo bisa cari taksi."
Ya Allah, nanggung amat nolongin nya! Gue kayanya udah telat ini. Amara meletakkan bingkisan hadiah di dekat kakinya.
"Emang mau ke mana? Kendaraan Lo mana?"
Aku melirik sebuah bingkisan, aku tebak ia akan menghadiri undangan acara atau ulang taun temannya.
"Ke jalan Xxx sih. Ada acara sama rekan kantor. Ban mobil gue kempes di mall tadi. Lagi di tangani sama anak buah papi. Jadi gue tinggal aja?!"
"Oh!", sahutku. Kami tak lagi memiliki hal yang harus di bahas.
"Oh ya By, boleh gue minta nomor ponsel Lo?"
Aku menoleh padanya. Lalu aku menyebutkan nomor ponsel ku. Dia langsung menyimpannya.
"Dimana alamat tepat nya? gue anterin!?", aku bertanya seperti itu karena sudah sampai di jalan Xxx.
"Kayanya agak ke dalam deh. Eh, itu kali!", Amara menunjuk ke sebuah arah.
"Itu ada mobil temen gue. Kayanya itu rumah nya." Aku pun menuju ke arah yang Amara maksud.
"Lo mau ikut turun?", tanya Amara padaku. Aku melihat ke arah rumah itu. Pintunya terbuka, tapi terlihat beberapa orang yang berseragam sama seperti Amara.
"Ngga lah. Ngapain!", jawabku. Amara menggangguk.
"Oke, btw makasih udah anterin. Gue turun ya!"
Aku mengangguk masih memegang setir mobil ku. Amara pun turun tergesa-gesa dari mobil ku. Dan aku pun segera meninggalkan jalan itu. Saat akan keluar komplek, aku baru sadar jika hadiah yang akan Amara berikan pada teman nya justru tertinggal.
Bodohnya, dia meminta nomor ponsel ku tapi aku tidak punya nomor nya.
"Uuuh...*ego!", kataku. Mau tak mau aku kembali ke jalan tadi. Kasian Amara kalo udah sampai ke sana, tapi ternyata tak bawa apapun.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengantarnya ke rumah teman Amara tersebut.
Tapi...tanpa ku sangka, ternyata....
"Assalamualaikum!"
"Walaikumsalam."
"Eh...Alby! Baru gue mau telepon Lo tadi. Kado gue ketinggalan di mobil Lo ya? Maaf Lo jadi repot anterin ke sini. Kok Lo tahu lokasinya di sini?", Amara bertanya dengan nada penasaran.
Aku tak menanggapi pertanyaan Amara, mataku justru fokus pada pemandangan di depan ku.
"Masuk By!", pinta Febri padaku.
"Ngga usah Feb, terimakasih. Disini aja! Gue cuma mau bawain kadonya Amara."
Hening beberapa saat. Bahkan teman-teman Febri dan Amara pun ikut diam.
"Apa kabar Lo Feb, Neng?", tanya ku pada sepasang pengantin baru itu. Belum sempat mereka menjawab, mataku beralih pada Seto, sahabat Febri yang tak ikut menyahut. Padahal aku tahu, dia laki-laki yang heboh suka bicara .
"Apa kabar Seto?", tanyaku pada Seto yang justru fokus memainkan ponselnya.
"Heum, gue baik!", jawab Seto.
"Kalian saling mengenal?", tanya Amara. Entah dia bertanya padaku atau rekan seprofesinya.
Mendadak aku minder berada di antara mereka. Hanya aku dan Bia yang warga sipil.
"Ikut kumpul aja bareng kita By!", ajak Seto memecah kecanggungan di antara kami semua.
"Tidak, terima kasih. Gue mau langsung balik. Kasian Nabil di rumah!", kataku. Tapi mataku beralih pada Bia.
Aku melihat wajah nya berkeringat. Bahkan genggaman tangan nya pada Febri terlihat semakin erat.
Apa dia ingin menunjukkan jika dia bahagia bersama Febri saat ini? Dia sudah berpaling dari ku? Tapi aku masih stuck di sini? Dengan perasaan bersalah dan penyesalan???
"Kita bisa ngobrol dulu By!", kata Febri. Tuan rumah yang menawarkan langsung, aku tahu dari nada suaranya dia tulus menawariku. Tapi...aku tak melihat jika Bia menginginkan ku berada di sini. Dia bergerak gelisah. Mungkin tak nyaman dengan kehadiran ku.
Bodohnya aku, masih berharap Bia yang meminta ku untuk berkumpul di sini!
"Lain kali aja Feb!", aku menolak sehalus mungkin. Amara yang dari tadi dicueki pun memilih diam. Tapi entah kenapa mulut ku tak bisa ku kendalikan.
"Lo masih mau di sini Mara? Apa gue anterin sekalian ke rumah papi Lo?", tanyaku.
Amara berkedip beberapa saat, sampai akhirnya ia mengiyakan.
"Ya...ya udah ,gue bareng Lo aja By!", kata Amara.
"Maaf ,Mas Febri, Bia...kami pulang dulu ya!", kata Amara. Dia menyalami Bia, bahkan cipika-cipiki.
"Makasih Mara!", kata Bia. Bahkan dari tadi hanya suara itu yang aku dengar dari bibir Bia.
"Gue balik Feb, Seto, Neng....!", kataku.
"Iya, hati-hati!", kata Seto.
"Ya By, makasih!", kata Febri.
Tangan ku pun reflek menarik tangan Amara untuk segera keluar dari ruangan itu.
Amara masih tak habis pikir, bagaimana bisa tiba-tiba Alby menggandeng tangan nya menuju ke mobilnya.
Sesampainya di mobil, aku melepaskan genggaman ku dari Amara, lalu membukakan pintu untuknya.
*****
Lanjut ngko sek Yo...lagek sibuk 🤭🤭🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 215 Episodes
Comments
andi hastutty
Amara dan alby melihat orang yg disayang bersama orang lain
2024-02-27
0
~R@tryChayankNov4n~
kasian ya Amara dan Alby...sama2 sadboy N sadgirl....sabilah klo bz bareng...hheheh
2023-01-09
0
~R@tryChayankNov4n~
wahh...ap kah ini sinyal.....🤭
2023-01-09
0