Aku kembali ke kantor setelah bertemu dengan pak Rahardi dan Amara tadi. Aku harus menyiapkan mental ku untuk bertemu dengan Marsha lagi. Rasa nya tak pantas aku marah pada seperti tadi. Terserah apa pun perasaan nya pada ku. Yang aku tahu, dia sahabat yang baik untuk ku selama aku menginjakkan kaki ku di perusahaan ini.
Saat aku keluar dari lift, Marsha akan masuk ke lift. Alhasil, kami berdiri di depan lift.
Mendadak, ada kecanggungan di antara kami. Aku menyesal sudah mengungkit urusan yang tak seharusnya kami bicarakan tadi kalau akhirnya akan seperti ini.
Kami berhadapan tapi saling diam. Seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar! Tidak, kami bersahabat! Hanya itu!
Aku mendengar ia menghela nafas, lalu menyingkirkan kakinya selangkah ke samping.
"Silahkan...pak!", kata Marsha. Mataku membola mendengar dia memanggil ku dengan sebutan pak.
Aku mencoba menahan emosi ku lagi, tapi ternyata ada karyawan lain yang ada di lift sebelah.
"Ya!", kataku datar. Selanjutnya aku pun masuk kedalam ruangan ku.
Aku melihat jadwal pekerjaan ku setelah makan siang ini. Tak banyak, hanya memeriksakan beberapa berkas proyek yang sedang berjalan.
Ponsel ku berdering, panggilan dari teh Mila.
[Assalamualaikum Teh?]
[Walaikumsalam, By]
[Naon teh?]
[Ieu, babysitter ku si Nabil teh tos dugi. Asup gawe ayena lin?]
(Ini, babysitter buat si Nabil udah sampe. Masuk kerja sekarang?)
[Oh, muhun atuh teh. Engke urang konfirmasi heula ka yayasan. Menta wae KTP na, nyak Teh!]
(Iya teh. Nanti aku konfirmasi dulu ke yayasan. Minta KTP nya aja ya)
[Nya tos atuh lamun kitu mah. Tos nya, teteh tutup. Assalamualaikum]
(Ya udah kalo gitu. Udah ya)
[Walaikumsalam]
Setelah panggilan dari teh Mila terputus, aku menghubungi yayasan yang sudah menyediakan jasa babysitter. Aku meminta babysitter yang berusia dewasa, tidak setua mak juga. Tapi paling tidak dia berpengalaman dan bisa menjaga Nabil dengan baik.
Setelah melihat data dari yayasan juga bukti real dari teh Mila, aku pun percaya kalau dia adalah orang yang berasal dari yayasan yang aku minta kemarin.
Aku hanya antisipasi, sekarang marak sekali penculikan anak. Apalagi dengan kedok sebagai babysitter. Tidak semua, tapi pernah ada kasus seperti itu. Jadi, meski ada baby sitter Mak dan teh Mila tetap membantu ku menjaga Nabil.
Aku menyandarkan kepala ku ke sandaran kursi. Selang beberapa menit, Marsha masuk ke ruangan ku. Aku mencoba bersikap cuek padanya. Tapi sepertinya dia sedang berusaha untuk bersikap seperti tak ada apapun.
"Udah mau jam dua Mas, Lo udah sholat dhuhur belom?", tanya Marsha dengan penuh perhatian. Aku yang tadi memejamkan mataku jadi terbuka. Ya, aku bahkan lupa belum solat Dhuhur.
Inilah yang membuat aku nyaman bersahabat dengan Marsha. Tapi siapa sangka jika dia punya perasaan yang tak seharusnya padaku!
"Iya, bentar lagi!", jawab ku asal sambil melihat jam tangan ku yang menunjukan jam dua kurang dua puluh menit.
Marsha mendekat ke samping ku, duduk di sisi meja.
''Lo marah sama gue mas?", tanya Marsha.
Aku segan untuk menjawab.
"Maaf!", kata Marsha.
"Lo ngga salah. Harusnya gue gak bahas kaya gitu tadi kalau ujung-ujungnya kita bakal kaya sekarang!"
"Mas! Kalo tadi kita ga bahas kaya gitu, sampai kapan pun Lo ga bakal pernah tahu seperti apa perasaan gue ke lo. Dan... setelah peristiwa tadi, jujur gue malah merasa lega. Ga perlu lagi ada yang gue khawatirkan kalo sewaktu-waktu Lo tahu, tapi dari orang lain. Bukan gue langsung!"
"Tapi...!"
"Gue tahu, mas. Lo benar-benar anggap gue sebagai sahabat Lo selama ini. Dan gue sadar perasaan itu. Tapi.... sebelum gue keluar dari perusahaan ini, gue...gue pengen bicara apa adanya. Kaya tadi. Gak ada lagi yang harus gue rahasiain dari Lo, mas."
Marsha berdiri di hadapan ku. Dia mengulurkan tangannya padaku.
"Gue masih jadi sahabat Lo, kan mas Alby?", tanyanya masih dengan mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap tangan nya yang masih setia di posisi itu.
Aku pun bangkit dari kursi ku lalu ku sambut uluran tangannya. Dia tersenyum manis seperti biasanya.
Jika kebanyakan sekretaris berpakaian seksi, berbeda dengan Marsha. Dia memakai celana panjang dan blazer. Hampir setiap hari seperti itu.
"Makasih, Lo udah mau jadi sahabat gue selama ini Sha!"
"Ngga, Lo sahabat terbaik gue. Meski Lo bos gue mas, Lo tetap menganggap diri Lo sama kaya gue. Padahal jelas-jelas gue bawahan lo"
"Makasih sha!"
"Heum, tapi soal gue resign, itu...ngga bisa di rubah!"
"Oke! Kalo itu keputusan Lo , gue bisa apa!"
Marsha tertawa ringan. Seolah mentertawakan ku yang terlihat pasrah di tinggal olehnya.
"Gue ada beberapa kandidat sebagai sekretaris Lo mas. Lo masalah ngga, kalo.... sekretaris Lo tetep cewek tapi Lo juga punya aspri?"
"Hah? Asisten pribadi gitu maksudnya? Gak! Sorry, gue bukan orang penting kaya CEO di novel online yang suka Lo baca itu kan? Ga! Gue masih mampu sendiri!"
"Ish, gue cuma mau ringankan beban Lo mas!"
"Jadi, selama ini Lo keberatan bantu gue???"
Marsha berdecak kesal.
"Udah jam dua, solat gih. Ntar lanjut lagi ngomelin nya!"
Marsha beranjak keluar dari ruangan ku. Aku masih sempat mendengar ia ngedumel sedikit.
"Heran gue, kalo sama gue bisa bawel cerewet gitu? Tapi kalo sama cewek lain kok jutek nya minta ampun!"
Aku menggeleng mendengarkan Marsha yang ngedumel.
Kalo Lo mau tahu Sha, gue cuma mau berusaha membatasi diri gue! Itu doang!
Sayangnya, aku tak mengatakan hal itu secara langsung pada Marsha.
Setelah Marsha pergi, barulah aku menjalankan kewajiban ku yang sudah telat. Ampuni hamba ya Allah! Sering kali lalai dengan kewajiban ku, tapi suka banget maksa keinginanku! 😔😔😔
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 215 Episodes
Comments