Amara membunyikan klakson nya untuk meminta pak Ujang membukakan pintu gerbang. Dengan cekatan, pak Ujang membukakan nya untuk ku.
"Makasih pak!", katanya sambil melesat menuju ke dalam garasi.
Dia lepaskan helmnya lalu berjalan menuju ke rumah induk lewat pintu garasi.
"Mara!", suara berat memanggil namanya di tengah kegelapan ruangan. Amara pun paham dengan suara itu. Dia menghampiri si pemilik suara berat khas pria dewasa.
"Papi!", Amara menyapa papinya.
"Kamu ini, baru pulang tugas memangnya ngga capek apa lanjut kegiatan malam seperti sekarang?"
Pertanyaan yang tak beda jauh dari yang namanya ajukan tadi siang.
"Papi!", Amara duduk di kursi yang berhadapan dengan papinya.
"Kapan kamu akan berhenti dari pekerjaan kamu Mara? Belum cukup kebebasan yang mami dan papi berikan?"
"Pap..."
"Mara! Papi tahu, kalo suka dengan pekerjaan mu itu. Tapi mau sampai kapan? Sampai kapan papi harus melanjutkan pekerjaan ini? Kedua kakakmu saja sudah punya pekerjaan sendiri. Apa kamu mau papi bangkrut? Iya?", tanya papinya.
"Bukan gitu pap, tapi papa kan tahu Amara ngga tertarik sama sekali dengan semua ini Pi. Oke, Mara bersedia melanjutkan studi di bisnis tapi bukan berarti Mara harus secepatnya terjun kan Pi?"
"Kapan? Papi mau tahu, kapan waktu itu tiba? Apa nunggu papi mati? Begitu? Jadi setelah papi mati, kamu akan terpaksa mengambil alih perusahaan papi? Iya?", cerca papinya.
"Ngga gitu Pi...ya Allah!",gumam Amara.
"Apa? Ya Allah?", tanya papinya. Tapi dia tak mau ambil pusing, toh sudah biasa seperti itu jika banyak bergaul dengan semua orang dari segala adat agama bahkan budaya.
"Apa perlu papi Carikan kamu pria pengusaha juga?", tanya papinya.
"Ngga lah Pi. Ngga usah kaya begitu segala!", tolak Amara.
"Kamu mati-matian menunggu laki-laki yang sama sekali tak menginginkan kamu Amara. Papi malu!"
"Papi. Mas Febri sudah menikah. Mara ngga mungkin menunggu nya lagi Pap."
Rahardi menatap putri nya yang terdengar frustasi. Ya, dia memang sangat dekat dengan anak bungsunya. Siap mendengar semua cerita nya dari dulu. Bahkan kisah cinta nya yang tak pernah bersambut dari seorang Febri.
"Febri sudah menikah lagi?"
"Sudah Pi. Jadi Mara harap, papi berhenti mengatakan kalau Mara masih berharap padanya. Ngga Pi. Sama sekali ngga!"
Rahardi memeluk putri bungsu nya.
"Maafin papi!"
"Ngga ada yang perlu Mara maafin dari papi."
"Papi janji, seandainya suatu saat nanti kamu menemukan laki-laki yang cocok sama kamu, meski dia berbeda dengan kita...papi akan... menyetujuinya. Asal kamu bahagia! Tapi...papi juga harap, kamu mau menuruti keinginan papi. Berhenti dari pekerjaan yang membahayakan nyawa kamu. Karena kamu, bukan hanya milikmu. Tapi ada mami dan papi yang menyayangi mu!", Rahardi mengusap kepala putrinya.
Ini bukan masalah keyakinan Pi, tapi Mara memang belum menemukan tambatan hati yang tepat. Batin Amara.
"Ya udah, kamu istirahat. Besok pagi masih off kan? Ikut papi meeting!"
"Hah? Buat apa Pi?", tanya Amara.
"Buat kamu terbiasa mumpung sedang tidak bertugas! Paham maksud papi?", tanya Rahardi.
"Iya pap!"
Setelah itu, Amara menuju ke kamar nya untuk beristirahat. Permintaan papinya adalah hal yang sangat sulit baginya. Pangkat yang dia peroleh saat ini adalah bukti jika dirinya memang mampu dan tidak main-main. Tapi tetap saja, di mata mami dan papinya meneruskan usaha kedua orang tuanya lebih penting. Lalu untuk apa selama ini mereka mendukungnya jika pada akhirnya akan berhenti di tengah jalan seperti ini????
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 215 Episodes
Comments
andi hastutty
Amara udah kaya jangan vcapek2 kerja
2024-02-26
0
~R@tryChayankNov4n~
ya...bwt pengalaman km mgkn neng...hihihihih
2023-01-03
1