Ketika mendengar kata hukuman dari Bu Weni, Arin pun langsung merasa lemas. Tubuhnya yang sedang kurang sehat membuat dia merasa syok.
“Baiklah. Kita mulai saja hukumannya. Sekarang kamu ke belakang dan cuci semua pakaian para pembantu di sini! Dan ingat, harus manual. Gak boleh pakai mesin cuci,” perintah Bu Weni.
“Ta—tapi, Bu. Aku bekerja di sini hanya untuk melayani Tuan. Bukan mencucikan baju pembantu di sini,” bantah Arin.
Mendengarkan bantahan dari Arin ini, sontak membuat Bu Weni pun emosi dan kemudian berkata, “Eh eh eh.. pakai acara ngebantah lagi. Udah sana ke belakang dan cuci semuanya. Kamu jangan harap mendapatkan makan jika hukumanmu belum selesai.”
Sungguh naas nasib Arin. Di samping tubuhnya yang sedang kurang sehat, kini dia harus mendapatkan hukuman seperti itu.
Dengan lemas dia pun berniat berjalan ke kamarnya untuk meminum obatnya terlebih dahulu. Namun tiba-tiba saja langkahnya harus terhenti karena Bu Weni langsung berteriak, “Hei, mau ke mana? Itu bukan jalan ke belakang. Balik!”
Untuk sesaat Arin pun terdiam. Dia berpikir jika dia tetap memaksakan diri untuk ke kamar dan minum obat, maka Bu Weni akan menambahkan hukumannya. Tapi jika dia langsung ke belakang dan mencuci pakaiannya, khawatirnya demamnya akan semakin meningkat.
“Bagaimana ini?” gumamnya dalam hati.
Sementara itu, Bu Weni yang melihat ini pun langsung berteriak, “Hei, kenapa diam saja. Sudah sana ke belakang sekarang!”
Dengan enggan dan juga lemas, Arin pun langsung mengikuti keinginan Bu Weni. Dia pun akhirnya melangkahkan kakinya ke belakang dan kemudian mencuci semua pakaiannya.
Di saat dia sedang mencuci pakaian, hatinya menangis pilu. Kenapa nasibnya begitu sengsara seperti ini. Hanya untuk mencari kesempatan buat minum obat pun dia tidak bisa.
“Ayah, jika seperti ini terus, aku gak kuat Yah,” teriak Arin dalam hati sambil mencuci semua pakaian pembantu yang ada di rumah itu.
Setengah jam, satu jam bahkan hingga hampir dua jam lamanya dia mencuci semua pakaian tersebut. Tapi entah kenapa tidak juga selesai. Entah ini karena tubuhnya yang sedang kurang sehat sehingga kecepatannya menurun atau memang pakaian yang sangat banyak.
“Ini tuh sebenarnya pakaian berapa orang dan berapa hari sih!?...” gumam Arin, “tubuhku sudah merasa tidak sanggup lagi.”
Walau dirinya sudah merasa tidak kuat lagi, Arin tetap berusaha untuk bertahan hingga pekerjaannya pun selesai di kerjakan.
Dengan segera Arin langsung bergegas ke kamarnya dan memakan camilan yang diam-diam sudah dia beli lalu kemudian minum obat.
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam ketika Arin sedang merebahkan diri di atas tempat tidur dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah dan kurang sehat. Di saat seperti ini, tiba-tiba saja...
“Arin! Siapa bilang kamu udah boleh santai!? Cepat gosok semua baju-baju yang sudah kering,” perintah Bu Wani.
“Ta—tapi, Bu. Itu bukan tugasku,” ucap Arin yang lagi-lagi membantah.
“Iya. Memang itu bukan tugasmu. Tapi ini hukuman buatmu yang meninggalkan pekerjaanmu sendiri.
“Tapi, Bu. Aku pergi ketika semua tugasku sudah selesai semuanya,” ucap Arin yang lagi dan lagi membantah Bu Weni.
“Gak usah banyak tapi-tapian, pokoknya kamu harus mengerjakannya sekarang juga dan harus selesai malam ini juga!” perintah Bu Weni yang tidak mau mendengar alasan apa pun lagi.
Setelah mengatakan hal itu, Bu Weni pun langsung pergi meninggalkan Arin. Sementara itu, Arin yang ditinggalkan pergi ini pun hanya bisa menunduk pasrah sambil menghela nafas panjang.
“Gak. Pokoknya aku harus kuat. Aku harus segera menyelesaikan semuanya setelah itu beristirahat dan besok hari terakhir ujian. Aku gak akan seperti ini lagi,” gumam Arin menyemangati diri sendiri.
Setelah bergumam seperti itu, Arin pun langsung beranjak dari kamarnya dan sesegera mungkin pergi ke ruang menggosok pakaian.
Betapa terkejutnya Arin saat melihat tumpukan baju yang seperti gunung.
“I—ini baju siapa saja? Gak mungkin kan kalau ini semuanya baju Tuan!?” gumam Arin.
Dengan tekad yang kuat, akhirnya Arin pun memulai menggosok pakaiannya.
Satu persatu pakaian dia gosok hingga halus. Setelah halus, pakaian pun ada yang dia gantung dan ada juga dia lipat dengan rapi.
Setelah setengah jam, satu jam hingga bahkan hampir tiga jam lamanya dia pun bergelut dengan tumpukan baju tersebut dan selama itu pula, tiba-tiba saja ada rasa hawa dingin menyusup di tubuhnya.
“Sepertinya aku akan demam lagi,” gumam Arin yang kemudian langsung dengan segera berusaha menyelesaikan semua gosokannya.
Hingga empat jam kemudian, tepatnya pukul 11 malam, akhirnya dia pun dapat menyelesaikan semuanya.
Dengan tanpa membuang waktu, Arin pun langsung menuju kamarnya dan meminum obatnya.
Setelah selesai meminum obatnya, dia pun bergumam, “Mudah-mudahan besok pagi keadaanku sudah jauh lebih baik.”
Arin pun memejamkan matanya dan tertidur. Dalam tidurnya, dia bermimpi bertemu Bundanya yang sudah lama bercerai dengan Ayahnya.
“Bun, aku rindu Bunda. Jangan pergi lagi ya, Bun. Ayah udah pergi, Bunda jangan pergi juga,” ucap Arin dalam mimpi yang seolah-olah saat itu dia sedang memeluk tubuh Bundanya.
Tanpa menjawab ucapan Arin, Bunda dalam mimpinya pun menghilang sehingga membuat Arin pun bersedih dan menangis.
“Bun, jangan pergi lagi Bun. Bunda!” teriak Arin yang kemudian langsung terbangun dengan nafas tersengal-sengal.
Mengetahui itu semua hanyalah mimpi, Arin pun memegangi pucuk rambutnya dan bergumam, “Bun, bunda di mana sekarang? Aku sangat menderita, Bun.”
Dalam ingatan Arin, Bundanya Arin itu bernama Andira. Bundanya bercerai dengan Ayahnya Arin saat Arin berusia 4 tahun. Ayahnya Arin lebih memilih selingkuhannya, Mama Tya karena Mama Tya di rasa jauh lebih cantik dan montok serta bahenol dibandingkan Bunda Andira yang terlihat kumuh dan kurus.
Karena Bunda Andira tidak memiliki penghasilan, maka hak asuh atas Arin pun jatuh pada Ayahnya.
Namun siapa sangka, selingkuhan yang lebih Ayahnya pilih ini malah membuat Ayahnya meninggal dalam keadaan menanggung beban hutang.
Setelah selesai mengenang Bundanya, Arin pun melihat ke arah jam. Di sana terlihat sudah masuk pukul 4 pagi dan saat itu dia bergumam, “Hari ini hari terakhir ujian. Bagaimana pun caranya aku harus bisa ke kampus.”
Dengan segera Arin pun menyelesaikan apa yang menjadi pekerjaannya. Hingga waktu pun menunjukkan pukul 5.30 pagi.
Tanpa menghiraukan apa lagi hukuman yang akan dia terima nanti saat dia pulang, Arin pun langsung bergegas pergi menuju kampus.
“Semoga saja hari ini semuanya bisa berjalan lancar,” ucap Arin penuh harap.
Waktu masih menunjukkan pukul 6.30 pagi saat dia sampai di kampus. Karena merasa masih ada cukup waktu untuk sarapan, Arin pun langsung pergi ke warung.
Namun setelah sampai di warung..
“Ya ampun. Uang tabunganku tinggal segini. Aku harus bagaimana sekarang? Hanya tersisa 10 ribu.”
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
sitimusthoharoh
y ampun tu pasti bjune si weni juga disuruh si arin gosokin.uh bikin esmoni mb weni
lanjut
2023-01-21
0
🍭ͪ ͩSUHU🐝₆₉🔵
isi dompet mu setipis rambut mu airin 🤣🤣
2023-01-21
0
𝓢𝓮𝓷𝓳𝓪 𝓜𝓪𝓵𝓪𝓶
ya ampun jangan2 itu baju bu weni sekalian yang dikerjain arin
2023-01-21
0