Setelah melakukan pembicaraan panjang denganku, Dara segera kembali ke kamar nenek saat melihat jadwal pemeriksaan pagi nenek dari ponselnya. Sedangkan aku, aku masih ingin berlama-lama duduk di bangku taman halaman rumah sakit. Memperbaiki perasaanku yang sudah diacak-acak oleh anak bernama Dara itu.
Anak itu sudah membawaku pada pembicaraan serius yang begitu berat, membuat perasaanku memburuk dengan cepat. Bagaimana dia bisa sedewasa itu di usianya sekarang?
"Tidak mau! Aku mau pelgi ke tempat ibu." Teriak suara anak kecil mengejutkanku.
Ku lihat anak kisaran empat tahun sedang berdiri dihadapan pria dewasa yang sudah memegangi kedua tangan anak itu. Mereka berada tepat dihadapanku, berjarak beberapa meter dari tempatku duduk sekarang.
Jika memperhatikan mereka, sepertinya salah satu anggota keluarganya dirawat di rumah sakit ini. Dan pria itu sedang kebingungan menghadapi anak kecil di hadapannya.
"... pertengkaran Ayah dan anak ya?" Gumamku saat melihat tatapan mata anak laki-laki itu, terlihat tajam menatap pria dihadapannya meski matanya berkaca-kaca. Tapi anak itu terlihat berusaha keras untuk menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Setelah ibumu sembuh kamu akan bertemu dengannya lagi. Sekarang kita pulang ya." Suara lembut itu sedikit familiar di telingaku. Tapi aku tidak ingat siapa si pemilik suara itu, dulu, mungkin aku pernah mendengar suara itu di suatu tempat.
"Gak mau!" Teriak anak itu membuatku terkejut untuk kedua kalinya, apalagi dengan suara tangisnya. Padahal seperkian detik lalu aku sempat takjub dan memuji kerja keras anak itu supaya tidak menangis. Tapi pada akhirnya tangisnya pecah juga.
Dan dari sekian banyak tempat di rumah sakit ini. Kenapa juga mereka harus bertengkar dihadapanku? Merusak ketenangan ku saja.
"A—ayolah, jangan menangis. Aku kan tidak mencubit atau memukulmu ...," tutur pria itu terlihat kebingungan, apalagi saat beberapa orang memperhatikan mereka. Termasuk diriku.
Ku tarik napas ku sedalam mungkin sebelum menghembuskannya dengan kasar, merasa terganggu dengan tangisan anak itu yang tak kunjung mereda. Dengan cepat aku bangkit dari posisi duduk ku, memutuskan untuk menghampiri mereka.
Entahlah, aku hanya merasa bosan sampai tanpa pikir panjang aku malah ikut campur urusan orang lain. Normalnya orang akan pergi ke tempat yang lebih tenang dalam situasi seperti ini, tapi aku? Aku malah mendekat. Mungkin karena aku teringat dengan adik ku, dulu dia juga sering menangis dan aku lah yang harus menghiburnya. Berusaha menghentikan tangisannya. Tapi sekarang, anak cengeng itu tiba-tiba sudah memiliki keluarga kecil yang jauh dari jangkauanku.
Mungkin tindakanku sekarang adalah caraku untuk menyalurkan perasaan rinduku padanya, adik ku satu-satunya.
"Berhentilah menangis Aska, aku ... itu—"
"Bapak ini tidak bisa menghibur anaknya ya?" Tanyaku memotong ucapannya ketika sampai di dekat mereka. Ku lihat mereka sudah menoleh ke arahku secara bersamaan, dan keduanya memasang ekspresi terkejut yang sama persis di mataku.
"A—anak?" Tanyanya begitu terkejut dengan apa yang dia dengar, sedangkan anak kecil di hadapannya hanya bisa melongo memperhatikanku dengan kepalanya yang menengadah.
"Ya, apalagi?" Ketusku menatap pria yang masih berjongkok dihadapan anak kecil bernama Aska itu.
"Dia bukan anak ku!" Serunya dengan semburat merah diwajahnya. Apa dia malu? Iya sih, dari penampilannya yang terlihat masih muda, dia sudah memiliki anak? Tentu saja dia malu.
Tapi jika diperhatikan lagi, dia juga tidak semuda itu. Apa karena aku terlalu tua? Batinku segera menggelengkan kepalaku, berusaha menepis pikiran tak bergunaku.
"Ya ampun, jangan begitu dihadapan anakmu! Dia mendengarmu tau." Ucapku refleks menggeplak bahunya saat aku sudah berjongkok disampingnya, ikut memperhatikan anak kecil dihadapannya.
"Benar kok—"
"Jangan dengarkan ucapan ayahmu ya." Lanjutku sambil meraih puncak kepala anak dihadapanku dan mengelusnya dengan lembut setelah sempat menyikut pinggang pria itu dengan tangan kiriku. Berharap dia segera menutup mulutnya.
Wah, rambutnya sangat halus. Ku kira rambutnya tajam karena terlihat seperti duri. Bulu matanya juga panjang, hidungnya—mancung. Batinku merasa terkejut dengan ketampanan Aska dan kelembutan rambutnya.
"Dia bukan ayahku!" Seru Aska membuatku terkejut.
"Apa?"
"Dia bukan ayahku." Ucapnya lagi sambil menunjuk pria di sampingku.
"Be—benarkah?" Tanyaku tergugup melirik pria itu dengan ragu.
"Ya, dia pamanku." Jawabnya sambil mengangguk mantap ketika aku kembali memperhatikannya.
"Ha—haha, begitukah?" Gumamku berusaha menunjukan senyuman terbaik ku, merasa malu dengan kesimpulan yang ku buat sendiri. Benar-benar sok tau kan?
Habisnya, dilihat sekilas saja mereka terlihat seperti ayah dan anak. Apalagi kemiripan wajahnya yang terlihat begitu jelas. Tapi siapa sangka mereka adalah paman dan keponakan.
"Hah~ terima kasih." Ucap pria disampingku tiba-tiba.
Ka—kaget aku! Kenapa dia berterima kasih padaku? Lanjutku dalam hati sambil mengelus dadaku, berharap degupan kencang jantungku segera mereda sambil memperhatikan ekspresi lega diwajahnya.
"Berkatmu anak ini berhenti menangis." Tuturnya menjawab pertanyaanku yang—apa terlihat jelas diwajahku? Padahal aku yakin tidak mengatakan apapun.
"Paman," ucap Aska menarik pakain pria yang dipanggilnya paman, membuatku dan orang itu segera menoleh pada anak kecil itu bersamaan. Aku sempat lupa dengan kehadiran anak itu saat melihat wajah pria yang dipanggil paman olehnya. Terlihat tampan dan ... familiar.
Kira-kira di mana aku pernah melihatnya?
"Kakak itu tangannya kenapa?" Lanjutnya sambil menunjuk kepadaku, membuat perhatian pria itu teralihkan padaku.
"A—ah ini, tanganku sakit jadi harus di gips supaya sembuh." Jelasku menatap manik coklat Aska yang terlihat sangat jernih di mataku.
"Apa lasanya sakit?" Tanyanya lagi sedikit memiringkan kepalanya menatapku penuh tanya.
"Sedikit."
"Boleh aku menyentuhnya?"
"Eh?" Ucapku bersamaan dengan pria yang entah siapa namanya. Aku bahkan tidak berniat untuk bertanya. Tapi kenapa dia juga ikut terkejut sama sepertiku?
"Aska?" Lanjutnya terlihat gelisah. Sepertinya dia merasa tidak enak padaku.
Ku sunggingkan senyuman terbaik ku pada Aska dan berkata, "Tentu saja. Kamu boleh memegangnya, tapi jangan keras-keras ya, karena itu akan membuatku kesakitan."
Ku lihat dia sudah mengangguk setuju dengan matanya yang berbinar. Sepertinya dia mulai menemukan sesuatu yang menurutnya menarik perhatiannya—tanganku yang di gips. Anak itu juga sepertinya tidak sadar kalau tangisnya sudah berhenti, dan fokusnya ingin bertemu dengan ibunya sudah teralihkan.
Melihatnya yang begitu antusias menyentuh tanganku dengan ekspresi yang berubah-ubah membuatku gemas sendiri. Dan wajahnya benar-benar imut, membuatku tak tahan untuk tidak menggodanya.
"A—aw!" Pekik ku mengejutkan anak itu, dan lagi siapa sangka pria dibelakangnya akan ikut terkejut karena ku. Keduanya bahkan kembali memasang ekspresi gelisah yang sama. Menggemaskan!
"Ah! Apa aku telalu kelas memegangnya?" Tanya anak itu terlihat ketakutan dengan tubuhnya yang sedikit gemetar..
Mana mungkin? Tangannya saja tidak terasa menyentuh tanganku. Batinku berusaha menahan tawaku karena sudah menggoda anak itu.
"Ayo minta maaf Aska." Titah pria itu segera meraih bahu Aska.
"Ma—maaf." Ucapnya dengan ekspresi sedihnya membuat hatiku berdebar saat melihat sorot matanya.
"Pft ...,"
Dengan cepat ku alihkan perhatianku sambil menutup mulutku dengan tangan kiri ku, membuang wajahku ke sisi lain saat mereka berdua menatapku bingung ketika mendengar suara aneh yang ku keluarkan. Berusaha sekeras mungkin untuk menahan tawaku.
"Kakak itu kenapa paman?" Suara mungil itu membuat tawaku pecah, apalagi saat dia menunjuk kearah ku tanpa melihat diriku.
"Hahaha, maafkan aku. Aku cuma pft—bercanda, ti—tidak sakit sama sekali kok. Ahahaha ...." Jelasku membuat ekspresi anak itu berubah menjadi kesal, apalagi saat tawaku kembali menguasaiku.
"Huh kakak ini benal-benal menyebalkan ya? Padahal aku sangat takut dan khawatil padamu." Dengusnya dengan suara cadelnya, memperparah tawaku. Rasanya sudah lama aku tidak tertawa selepas ini. Siapa sangka aku bisa tertawa seperti ini hanya karena menggoda anak kecil yang tidak ku kenal.
Pria yang tadi sempat ikut gelisah karena keisenganku menggoda anak kecil itu juga, dia tidak mengatakan apapun. Sekilas aku hanya melihat ekspresi lega dan senyuman hangatnya pada Aska.
Ah! Orang ini ..., batinku saat menyadari sosok pria di dekatku ketika melihat senyuman hangatnya itu.
.
.
.
To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
𝐏𝐔𝐓𝐑𝐀
saha?
2023-06-11
0
𝐏𝐔𝐓𝐑𝐀
abis obat dek🤣
2023-06-11
0
𝐏𝐔𝐓𝐑𝐀
keras dek keras bukan kelas
2023-06-11
0