Setelah menghabiskan dua buah apel, Mbah Yahya langsung bangkit kemudian membuka kulkas lagi. Dia masih penasaran, apakah ada makanan lain selain buah apel dan jus mangga yang sudah dia telan. Sebab saat ini Mbah Yahya masih lapar.
"Apaan nih?" Mbah Yahya menemukan dua bungkus entah apa itu, yang dia ambil di dalam kulkas. Tetapi tertera tulisan varian beras dan kunyit. Saat diremass seperti bubuk di dalamnya. "Apa ini bubur instan kali, ya?" tanyanya ke diri sendiri.
Tetapi bukan hanya menebak, Mbah Yahya langsung mengambil mangkuk di dalam rak dan juga sendok. Setelah itu dia membuka dan menuangkan kedua bungkus tersebut ke dalam sana.
"Paling ditambahin air hangat saja, kan?" tebaknya. Kaki Mbah Yahya melangkah menuju dispenser. Kemudian memencet kran air panas pada dispenser, setelah itu dia pun mengaduknya hingga tercampur rata.
"Kok nggak mirip bubur, ya? Malah kayak berak mencret." Kening Mbah Yahya mengerenyit heran. Bukannya menjadi bubur, bubuk tersebut justru terlihat encer dan berwarna kecoklatan.
Merasa penasaran, Mbah Yahya akhirnya mencoba satu sendok dan ternyata....
"Ueekk! Uuek!" Mbah Yahya langsung memuntahkannya ke dalam bak wastafel. Sebab rasanya pahit dan tercium aroma wangi menyerupai parfum. "Apaan sih ini? Kok nggak enak banget."
Mbah Yahya memungut salah satu bungkus bubuk itu yang dia jatuhkan ke lantai. Lalu membaca tulisan yang tertera pada belakang kemasan, masih penasaran itu apa.
Saat dibaca ternyata itu adalah sebuah masker wajah. Ternyata dia tertipu.
"Si Gugun setres apa, ya? Masa masker wajah dia taruh di dalam kulkas?" gerutu Mbah Yahya kesal. Padahal yang menaruh itu Sisil dan itu juga milik Sisil. "Untung aku nggak keracunan. Kalau keracunan terus mati 'kan kasihan Rama. Jadi anak yatim dong."
Mbah Yahya langsung membuang masker beserta mangkuknya di dalam tong sampah. Kemudian dia beralih membuka seluruh lemari dapur. Mungkin saja Gugun menyimpan stok mie instan.
***
Sementara itu di rumah sakit.
Sisil mengerjapkan matanya secara perlahan kala dirinya merasa ingin membuang air kecil. Sorotan matanya kini ke arah lelaki yang tengah duduk di kursi kecil sembari bermain ponsel.
"Kak Arya ...," ucapnya lirih sambil tersenyum manis. Lelaki di dekatnya itu menoleh dan membalas senyumannya.
"Selamat pagi pacarku yang cantik," sapa Arya seraya membungkuk dan mengecup kening Sisil. Wajah gadis itu seketika merona. Hatinya pun ikut berbunga-bunga.
Tampaknya dia senang melihat pacarnya datang untuk menjenguk.
"Kakak kok pagi-pagi udah ke sini? Terus, di mana Kakakku?" Sisil mengedarkan pandangannya, mencari-cari keberadaan Gugun.
"Kak Gugun pulang dulu ke apartemen. Katanya mau ngambil laptop dan baju ganti untukmu."
"Oh, sudah lama atau belum?"
"Mau satu jam." Arya menatap arloji pada pergelangan tangannya. "Eh, kamu mau ngapain, Sil? Tiduran saja." Melihat Sisil bangun, Arya segera menahannya.
"Aku kepengen pipis, Kak." Sisil menyentuh perut bagian bawahnya.
"Aku gendong saja bagaimana? Kamu pasti lemes buat jalan." Arya meraih kantong infusan, lalu meraih tubuh sang kekasih.
"Memangnya Kakak kuat? Kakak 'kan kurus?" ledek Sisil sambil terkekeh.
"Nggak kurus ah segini mah. Standar. Dan aku juga kuat menggendongmu, Sil. Mau kubuktikan?"
Sisil mengangguk sambil tersenyum dengan pipi yang merona.
Perlahan tubuhnya Arya angkat lalu melangkah menuju kamar mandi. Pelan-pelan dia menurunkan tubuh Sisil di dekat kloset, gadis itu langsung berpegangan pada bahu kanan Arya dan tembok. Demi menyeimbangkan tubuhnya yang hendak oleng karena kepalanya mendadak terasa kunang-kunang.
"Mau sekalian aku bantu buka celana nggak?" tawar Arya.
"Nggak lah. Enak saja. Malu lah aku." Sisil menggeleng cepat. Jantungnya selalu saja berdebar setiap ketemu Arya dan setiap kali dia menggodanya.
"Aku bercanda," kekeh Arya. "Aku tunggu diluar, ya, jangan lupa tutup pintunya kalau nggak mau aku intip."
"Kalau Kakak intip, aku sumpahin bintitan." Sisil memukul pelan punggung Arya dengan gemas.
"Biarin," kekehnya. Kemudian melangkah keluar kamar mandi dan dialah yang menutup pintu.
*
*
Seusai membuang air kencing dan sempat gosok gigi hingga mencuci muka, Sisil kini di baringkan kembali di tempat tidur. Kemudian Arya mulai menyuapinya dengan bubur.
"Enak nggak buburnya?" tanya Arya setelah memberikan suapan pertama.
"Enak. Pasti ini bubur langganan kita, kan?"
"Iya." Arya mengangguk, kemudian memberikan suapan selanjutnya. "Oh ya, Sil. Aku masih penasaran deh sama alasan kamu bunuh diri. Kamu ada masalah apa sebenarnya? Kenapa nggak cerita sama aku?"
Sisil terdiam sebentar, lalu menatap Arya dengan lekat. "Memangnya ... Kakakku belum memberitahu Kakak?" Sisil seketika mengingat apa yang Gugun katakan, tentang dia yang akan bercerita kepada Arya.
"Memberitahu apa?" tanya Arya yang tak tahu menahu.
'Apa aku harus ceritakan semuanya kepada Kak Arya?' Sisil merasa bimbang sekaligus takut. Tetapi disisi lain, dia tak mungkin terus menutupinya dari Arya. Sisil juga sebenarnya berharap, jika laki-laki itu akan terus bersamanya meskipun sekarang dia sudah tak suci lagi.
"Kok bengong, sih?" Arya melambaikan tangan kanannya ke wajah Sisil. Lamunan gadis itu langsung buyar seketika.
"Ini tentang masa depanku, Kak," ujar Sisil lirih. Telapak tangannya saling menangkup, terasa basah sekali. "Tapi aku takut untuk bercerita."
"Takut kenapa?" Arya jadi makin penasaran.
"Takut kalau Kakak meninggalkanku, meminta putus dan akhirnya kita berpisah," jawabnya pelan dengan bola mata berkaca-kaca.
Tangan kanan Arya terulur untuk menggenggam kedua tangan Sisil, lalu mengelusnya dengan lembut.
"Aku nggak akan meninggalkanmu kecuali kamu selingkuh, Sil. Kamu bicara saja."
"A-aku ...." Lidah Sisil terasa kelu sekali. Tetapi dia berusaha untuk meneruskan ucapannya. Tidak ada waktu. Kalau tidak sekarang, suatu saat Arya pasti akan mengetahuinya juga.
"Aku apa?" tanya Arya dengan alis mata yang bertaut.
"Aku sudah nggak suci lagi, Kak. Aku dinodai," jawab Sisil dengan napas yang tersendat. Tak lama dia pun menangis.
"Apa?! Dinodai?!" pekik Arya dengan keterkejutannya. Kedua bola matanya melebar sempurna dan dadanya sontak berdebar dengan banyaknya gemuruh.
"Iya ... hiks ... hiks." Sisil makin terisak. Kedua tangannya menutupi wajah yang sudah basah terkena air mata. "Maafin aku, Kak. Secara nggak langsung aku mengkhianati Kakak."
'Aku tahu, pasti habis ini Kak Arya akan mengakhiri hubungan kita dan pergi meninggalkanku,' batin Sisil dengan hati yang terenyuh.
"Siapa ... siapa yang tega melakukan hal ini, Sil? Siapa yang menodaimu?!" cecar Arya dengan kesal. Bubur di tangannya itu langsung terjatuh, lalu segera dia bangkit dari kursi dan memeluk tubuh kekasihnya. "Beritahu padaku orangnya, aku akan menghajarnya sampai mati!" geramnya.
"Aku nggak tahu, Kak."
"Kok bisa nggak tahu? Kejadiannya kapan dan bagaimana?"
"Mungkin sekitar 4 hari yang lalu, Kak." Sisil menyeka air matanya meskipun sekarang masih saja berlinang. Tetapi pelukan yang dia rasakan dari Arya sangatlah hangat. Seperti menenangkannya. "Saat itu aku yang habis pulang dari pesta syukuran si kembar anaknya Citra, lalu diajak Lusi kerja kelompok di restoran. Tapi pas memesan minum pelayan restorannya malah ...." Susah payah akhirnya Sisil dapat menceritakan kejadian yang dia ingat, meskipun dadanya terasa sesak.
Arya melepas pelukan itu dan membenarkan posisi duduknya. Kedua tangannya tampak mengepal dan urat di wajahnya begitu kencang. "Ini pasti ulah si Lusi. Aku akan berikan hukuman padanya!" berangnya emosi.
"Kakak jangan pergi! Kakak mau ke mana?" teriak Sisil dengan lengan kanan yang terulur ke depan. Arya yang hendak membuka pintu kamar itu urung terjadi lantaran dia memutar kepalanya menoleh Sisil.
"Aku mau ke rumah Lusi. Mau buat perhitungan padanya. Pasti dia adalah penyebab dari semua ini!" Arya pernah diberitahu oleh teman sekelasnya atas apa saja yang dilakukan Lusi terhadap Sisil. Jadi dia yakin—pasti itu ulahnya juga.
"Tapi Kakak ... bagaimana dengan ...." Ucapan Sisil menggantung diudara lantaran Arya sudah keburu menghilang dari pintu.
Dilihat dari mimik wajahnya tadi, sepertinya Arya benar-benar tak terima kepada Lusi. Tetapi Sisil sendiri belum mengetahui apakah Arya dapat menerimanya atau tidak, terlepas dengan apa yang sudah terjadi.
'Kakak kok pergi?! Padahal aku belum tahu Kakak akan menerimaku atau tidak,' keluhnya dalam hati.
Tiga puluh menit setelah kepergian Arya, pintu kamar inapnya pun dibuka dari luar.
Lamunan Sisil yang memikirkan tentang nasibnya seketika buyar, sorotan matanya langsung tertuju pada pintu.
Ceklek~
"Sil ...." Suara itu milik Gugun dan memang benar, pria itulah yang datang. "Assalamualaikum."
Akan tetapi, Sisil merasa heran lantaran melihat pria yang datang bersama Gugun.
Wajahnya menurut Sisil asing, padahal dia sudah tiga kali ketemu. Dan ternyata dia adalah Rama.
Pria itu membawa buket bunga violet yang baru, yang dibelinya tadi sebelum datang. Kedua pipinya tampak merona meskipun wajahnya kusam seperti belum mandi. Berikut dengan pakaian dan juga rambutnya yang berantakan.
"Walaikum salam," jawab Sisil.
"Ayok menikah denganku, Sil," ajak Rama tanpa basa-basi dan langsung mengulurkan buket bunga itu ke arah Sisil yang sudah terbengong.
...Dateng" bukannya nanyain kabar, ini malah langsung diajak nikah 🤣 dah gatel banget ya, Om 🤭...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 267 Episodes
Comments
⍣⃝𝑴𝒊𝒔Cliff💋🅚🅙🅢👻ᴸᴷ🔱
ngebet sdh nel.. kan sdh dpt pawangnya hg bsa bikin on🤣
2023-03-21
1
Bunda silvia
Pengen dapet bogeman lagi dari kak gugun ya om rama 🤣🤣🤣
2023-03-20
0
Fitriyani Puji
betul rama ngak usah basa basi kelamaan
2023-02-28
0