Setelah membawanya dan meletakkannya di atas meja, Rama pun melangkah masuk ke dalam salah satu kamar berwarna pink terang. Semerbak aroma wangi mengisi ruangan itu. Niatnya ingin mencari handuk kecil yang akan di jadikan elap untuk wajah Gugun. Tetapi justru dia merasa terpesona melihat kamar itu.
Rama langsung mengulas senyum saat melihat bingkai foto Sisil yang menempel pada tembok. Tampak cantik sekali gadis itu saat tersenyum.
'Cantik banget ternyata jodohku. Mana masih muda lagi,' batin Rama dengan hati yang berbunga-bunga.
Mata Rama pun kemudian beralih pada nakas. Di atas sana ada dua bingkai foto berukuran kecil yang satunya berisi foto Gugun dan Sisil. Posenya Gugun tengah mengelus pucuk rambut gadis itu.
Dan foto yang kedua hanya foto Sisil seorang diri tengah tersenyum juga sembari memejamkan mata. Rama meraihnya, lalu mendekatkan ke arah wajah dan entah mengapa dia malah langsung menciumnya.
"Kamu ngapain, Ram?" Pertanyaan dari Mbah Yahya sontak membuat Rama terkejut. Bingkai foto itu sampai hampir jatuh.
"Ah nggak kok!" Rama menggeleng lalu menoleh ke arah Mbah Yahya yang melangkah mendekat. Cepat-cepat dia memasukkan bingkai foto itu ke dalam saku jas. "Aku mau mengambil handuk kecil tadinya, Dad. Mau buat ngelapin Kak Gugun."
"Tapi kenapa bingkai foto itu kamu masukkan? Buat apa?" tanya Mbah Yahya.
"Biarin, aku mau menyimpannya, Dad."
"Tapi 'kan itu sama saja nyolong, Ram."
"Iya sih. Tapi nggak apa-apa, Dad. Aku mau menyimpannya. Aku 'kan nggak punya fotonya Sisil." Rama pun melangkahkan kakinya keluar dari kamar Sisil. Rasanya tidak sopan jika mencari handuk di kamar perempuan. Jadi dia memutuskan untuk masuk ke kamar sebelah yang ternyata itu adalah kamar Gugun. Mbah Yahya juga terus membuntuti Rama sejak tadi.
Ceklek~
Pintu itu dibuka dan ternyata tidak dikunci. Perlahan Rama pun masuk bersama Mbah Yahya. "Maaf kalau aku nggak sopan masuk kamar Kakak tanpa izin," gumam Rama.
Berbeda dengan kamar Sisil yang tampak cerah seperti wajahnya, kamar Gugun justru begitu gelap.
Gelapnya itu bukan karena tak ada cahaya lampu, tetapi hampir seluruh benda yang ada di sana berwarna hitam.
Rama membuka salah satu lemari yang berisi empat pintu. Tiga diantaranya terkunci dan hanya satu yang tidak.
Namun nyatanya, handuk yang Rama cari-cari tak kunjung ketemu. Sebab hampir isi di dalam sana adalah celana dalaam dan dasi dengan berbagai warna.
Terpaksa, Rama pun mengambil celana dalaam Gugun yang berwarna pink. Pengganti handuk.
"Kamar mah hitam, sempaak warna-warni," celetuk Mbah Yahya. "Mana ada yang kuning sama pink lagi. Nggak laki banget," tambahnya.
Rama tak menanggapi kebawelan dari Daddynya. Setelah menutup lemari Rama juga mengambil minyak angin di atas meja, barulah setelah itu dia melangkah keluar dari kamar Gugun.
Celana dalaam itu Rama celupkan pada baskom, lalu dia peras dan pelan-pelan mengusap wajah Gugun. Mengelapinya dengan telaten supaya bau jigong Mbah Yahya hilang.
"Lebay banget sih, Ram. Pakai dielapin segala. Biarin saja kenapa, sih?"
"Kok biarin? Ini 'kan salah Daddy. Pokoknya habis aku selesai mengelap Daddy musti membantunya untuk sadar."
"Ah lebay kamu. Cepat elapin Daddy enek tahu ada muntahan si Gugun." Mbah Yahya bergidik geli saat melihat muntahan yang berada di lantai. Rasanya mual meskipun hanya air saja. Memang Gugun sendiri hampir dari kemarin malam belum makan.
"Iya, iya." Setelah selesai mengelap seluruh wajah hingga rambut, Rama membaluri minyak angin pada leher, dahi, kedua tangan hingga dada Gugun. Dia juga melonggarkan dasinya. Mungkin dengan begitu, dia akan cepat sadar dari pingsannya.
"Daddy tolong buat Kak Gugun bangun, aku mau ngelapin muntahannya," pinta Rama seraya berdiri dan mengambil baskom. "Tapi jangan disembur lagi, nanti wajahnya bau, Dad. Kasihan," tegurnya Kemudian melangkah menuju dapur untuk mengambil kain pel.
"Ck!" Mbah Yahya berdecak, lalu mendekat ke arah Gugun seraya berjongkok. "Menyusahkan sekali, awas saja kalau pas bangun kau malah nggak merestui Rama. Kupotong burungmu, Gun!" ancamnya kemudian berkomat-kamit membaca mantra. Setelah itu dia mengusap wajah Gugun.
Mbah Yahya terdiam sebentar, menunggu reaksi jampinya. Tetapi sudah 10 menit berlalu sampai Rama sudah selesai mengepel, Gugun tak kunjung sadar.
"Bagaimana, Dad? Kok belum bangun juga Kak Gugunnya?" tanya Rama mendekat.
"Nggak tahu. Apa mati orangnya?" Mbah Yahya menempelkan telinga kanannya ke arah dada bidang Gugun. Masih terdengar bunyi detak jantung. Kemudian dia beralih menyentuh lengan kirinya, untuk memastikan denyut nadi. Ternyata masih ada juga.
"Kak Gugun meninggal?"
"Nggak kok. Masih hidup. Tapi kok belum bangun, ya?" Mbah Yahya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Biasanya, kalau ada seseorang yang dia sembur hingga membuatnya pingsan, itu akan segera sadar jika Mbah Yahya memberikan jampi kembali. Tetapi ini sangat aneh menurutnya.
"Gun! Bangun, Gun!" Mbah Yahya menguncang tubuh Gugun. Menggoyangkan kedua lengannya.
Sedangkan Rama justru memijat betis Gugun. Menurutnya, dengan sentuhan seperti itu akan membantunya cepat sadar.
"Kok nggak bangun-bangun, sih?!" Mbah Yahya mendengkus kesal. Dia menuangkan minyak angin ke telapak tangan begitu banyak, lalu membaluri seluruh wajah Gugun. Biarkan saja dia kepanasan menurutnya. Yang penting sadar.
Rama melihat arlojinya, sudah lima menit kembali berlalu. Tetapi pria itu masih belum sadarkan diri. Itu membuatnya seketika cemas. Takut jika Gugun kenapa-kenapa.
"Dad, kita bawa Kak Gugun ke rumah sakit saja, biar dia ...." Ucapan Rama terputus diujung bibirnya. Sontak dia terbelalak lantaran terkejut melihat Mbah Yahya secara tiba-tiba mencium bibir Gugun.
Upaya yang Mbah Yahya lakukan adalah memberikannya napas buatan. Mungkin dengan begitu pria itu akan sadar.
Dan ternyata benar, hanya sekali hembusan napas yang pria itu keluarkan untuk mengisi rongga mulut Gugun membuatnya seketika membuka mata.
Bola mata Gugun langsung melebar sempurna, dia sontak berlonjak kaget dan mendorong tubuh Mbah Yahya sampai terjungkal.
"Kurang ajar! Apa yang Bapak lakukan?! Ini ... Uuekk! Uuek!" Kedua kalinya, Gugun kembali muntah-muntah lantaran perutnya bergejolak. Secara tidak langsung, Mbah Yahya telah mencuri ciuman pertamanya.
Apa yang dilakukan Mbah Yahya bukannya membuat Gugun membaik, tetapi justru makin tidak karuan dan jengkel. Jika bisa dilihat, kepala pria itu mungkin sudah bertanduk.
Sebelum dia jatuh pingsan lagi, Gugun langsung mencengkeram tangan Mbah Yahya saat dia baru saja berdiri. Kemudian tangan Rama. Setelah itu menariknya untuk keluar dari apartemen. Tidak sanggup rasanya Gugun menerima mereka menjadi tamu lagi.
Akan tetapi saat berada di ambang pintu. Baik Rama atau pun Mbah Yahya, mereka berdua sama-sama menggenggam sisi dan daun pintu. Seakan menahan tubuh supaya Gugun tak berhasil mengeluarkannya.
"Kakak jangan mengusir kami, kami belum ketemu Sisil!" seru Rama.
"Pergi!" teriak Gugun dengan penuh emosi.
"Kita nggak akan pergi sebelum kau merestui Rama!" tekan Mbah Yahya tak mau kalah.
"Kalian keluar, atau aku akan teriak supaya semua orang ikut menarik kalian pergi dari sini!" ancam Gugun murka. Matanya melotot tajam.
"Aku datang ke sini karena berniat baik, Kak. Ingin melamar Sisil. Aku butuh jawaban," pinta Rama memohon. Tak rela rasanya dia diusir tapi belum ada kepastian. Sejak kemarin-kemarin dia menunggu momen ini.
Melamar, diterima, lalu menikah.
"Aku juga mau ketemu Sisil," tambah Rama lagi. Dia langsung memasang wajah sedih supaya pria itu iba padanya. "Sejak kemarin aku dan Daddyku menunggu Kakak dan Sisil di sini, sampai kami ketiduran. Kakak masa tega mengusir kami?"
...Udah usir aja, Om Gugun, apalagi Mbah Yahya noh 🤣 banggke banget itu orang bener deh 😂...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 267 Episodes
Comments
Pragya Ayundari
anjrot lah udh gue nyerah ngakak mulu 🤣🤣🤣
2023-10-10
0
🍁K3yk3y🍁
hahaha kocak
2023-10-01
0
LH
🤣🤣🤣
2023-07-01
0