Keesokan harinya, Heri dan Anna sedang menunggu Nara yang masih belum sadarkan diri sejak semalam. Akibat kecelakaan itu Nara mengalami gegar otak ringan dan patah tangan.
"Bagaimana ini, Mas? Siapa yang akan membayar rumah sakit dan perobatan Nara? Kita mana ada uang," keluh Anna kesal.
"Nanti aku akan menemui orang yang menabrak Nara dan meminta pertanggung jawabannya, kita bisa minta biaya berobat Nara pada dia," ujar Heri, dia belum sempat menemui si penabrak yang kini sudah ditahan di kantor polisi.
"Mas, minta ganti rugi juga. Gara-gara dia, kita jadi enggak bisa berjualan dan dapat uang," cetus Anna.
"Cckk, bagaimana caranya aku meminta ganti rugi?"
"Minta uang kalau dia mau damai, dia pasti anak orang kaya dan banyak uang. Lihat saja mobilnya bagus banget."
Heri termangu, dia mencoba memikirkan saran istrinya itu.
Sementara itu di kantor polisi, sepasang suami istri sedang berusaha menenangkan putra mereka yang tadi malam menabrak Nara. Dialah Kenan Mahendra, bocah sombong yang sering bertindak sesuka hati.
"Pa, Ma, tolong keluarkan aku dari sini! Aku enggak mau dipenjara," rengek Kenan nyaris menangis, ini sudah kesekian kalinya dia memohon kepada kedua orang tuanya itu.
"Enggak bisa! Kau sudah mencelakai orang lain, dan kau terbukti bersalah karena mengemudi mobil dalam keadaan mabuk," ujar Hendra yang tak lain adalah ayah Kenan.
"Tapi dia juga salah, Pa. Dia menyeberang sembarangan," bantah Kenan.
"Papa dengar itu, anak kita enggak sepenuhnya salah. Tolong lakukan sesuatu untuk membebaskan dia!" Windy yang merupakan ibunda Kenan memohon pada suaminya itu.
"Ma, biarkan saja dia di dalam sana, ini pelajaran buat dia agar tidak bertingkah macam-macam lagi, agar berubah jadi anak yang baik," kecam Hendra yang kesal dengan tingkah laku putra semata wayangnya itu.
"Papa tega!" umpat Windy.
"Pa, aku janji akan berubah, aku enggak akan membuat Papa marah lagi. Tapi aku mohon bantu aku keluar dari sini, aku bisa mati kalau lama-lama berada di sini!" Kenan kembali memohon dan menatap sang ayah dengan mata berkaca-kaca.
Hendra merasa iba melihat sang putra, sejujurnya dia pun tak tega melihat buah hatinya itu berada di balik jeruji besi.
"Baiklah, Papa akan bantu kau keluar dari sini, tapi kau harus menepati janjimu itu," ucap Hendra kemudian.
Kenan mengangguk cepat, "Iya, Pa."
Windy tersenyum senang karena akhirnya suaminya itu luluh juga.
"Ya sudah, kalau begitu Papa pergi dulu."
Kenan mendadak panik dan kebingungan, "Papa mau ke mana? Bukankah Papa mau keluarin aku dari sini?"
"Papa harus menemui keluarga korban dan meminta mereka mencabut perkara, karena itu satu-satunya cara biar kau bisa bebas," sahut Hendra lalu melangkah pergi.
Kenan mengembuskan napas kesal, wajah tampannya berubah masam.
"Kau sabar dulu, ya, sayang. Papa dan Mama akan membantumu keluar dari tempat menjijikkan ini," bisik Windy sembari mengusap kepala putra kesayangannya itu.
Kenan mengangguk lesu, "Iya, Ma. Tapi cepat, ya! Aku sudah enggak tahan berlama-lama di sini."
"Iya, sayang. Kau tenang saja! Mama pulang dulu, nanti Mama ke sini lagi."
Kenan kembali mengangguk dengan sedih, dia kesal sekaligus menyesal karena tadi malam minum terlalu banyak hingga mabuk dan menabrak seseorang yang bahkan dia tak tahu seperti apa wajahnya, karena kejadian itu sangat cepat. Korban yang dia tabrak buru-buru dibawa ke rumah sakit sebelum Kenan sempat keluar dari dalam mobilnya.
Kenan benar-benar apes, saat dia sedang merayakan kelulusannya, saat itu pula kedua orang tuanya tiba-tiba pulang dari luar negeri, padahal seharusnya mereka pulang lusa. Hal itulah yang membuat Kenan mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi dalam keadaan mabuk agar segera tiba di rumah sebelum orang tuanya, sebab Kenan tahu sang ayah sangat marah kalau tahu dia keluyuran sampai malam dan mabuk-mabukan.
***
Hendra dan Windy berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar rawat inap Nara, setelah menanyakan kepada polisi akhirnya mereka tahu identitas korban yang ditabrak putra mereka itu.
"Permisi, selamat pagi," sapa Hendra.
Heri yang sedang menunggu Nara terkejut dengan kedatangan pasangan suami-istri itu.
"Selamat pagi," balas Heri, dia beranjak dan menghampiri Hendra dan Windy.
"Perkenalkan, saya Hendra. Saya papa nya Kenan, pemuda yang menabrak anak anda," terang Hendra.
Heri terkesiap, dia mengamati Hendra dari bawah sampai atas, lalu tersenyum, "Saya Heri, Om nya Nara."
"Oh, maaf. Saya pikir anda ayahnya," ucap Nara.
"Bukan, ayah dan ibunya sudah meninggal. Saya yang merawatnya," beber Heri.
"Hem, maaf. Saya tidak tahu," ucap Hendra tak enak.
"Tidak apa-apa."
"Bagaimana keadaannya?" tanya Hendra.
"Kata dokter dia mengalami gegar otak ringan dan patah tangan. Sampai sekarang dia belum sadarkan diri," terang Heri dengan wajah sedih.
Hendra tertegun, dia lantas memandangi Nara yang terbaring dan masih belum sadarkan diri. Seketika hatinya merasa iba pada gadis itu. Sedangkan Windy sejak tadi hanya bergeming dengan wajah angkuh.
"Saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang terjadi pada keponakan anda, saya turut prihatin," ucap Hendra.
"Iya, enggak apa-apa, Pak. Namanya juga musibah, mau gimana lagi."
"Saya berjanji akan menanggung semua biaya perobatannya sampai dia sembuh, tapi saya mohon agar anda bersedia mencabut perkaranya, kita selesaikan secara kekeluargaan saja," lanjut Hendra memohon.
Heri termenung, dia teringat ucapan Anna tadi, dia tentu tak ingin masalah ini selesai begitu saja tanpa mendapatkan keuntungan. Dia harus memikirkan alasan agar bisa menghasilkan uang dari orang-orang kaya ini.
"Pak Heri kenapa?" tegur Hendra saat melihat Heri melamun.
Heri tersentak dan pura-pura memasang wajah muram, "Hem, begini, Pak. Bukannya apa-apa, tapi selama ini Nara yang membantu saya berjualan, kalau dia sakit begini, siapa yang akan membantu saya? Sementara itu satu-satunya mata pencarian kami."
Windy yang dari tadi diam menyimak, akhirnya protes, "Hei, suami saya minta kamu cabut perkaranya, kenapa malah curhat segala, sih!"
"Mama, tenanglah!" Hendra menyentuh pundak Windy.
Heri mendadak kesal mendengar ucapan Windy itu, "Saya hanya ingin Bapak dan Ibu tahu jika putra kalian sudah menyebabkan keponakan saya terluka dan saya jadi enggak bisa cari makan, kalau begini saya enggak akan mencabut perkaranya, biar saja anak kalian mendekam di penjara!"
Hendra dan Windy tercengang dengan keputusan Heri.
"Jangan begitu, Pak! Saya minta maaf atas sikap dan ucapan istri saya," ujar Hendra mengalah.
"Papa!" Windy melotot tak terima, tapi Hendra tak peduli.
"Saya akan ganti rugi, saya akan kasih berapa pun yang anda minta. Tapi saya mohon cabut perkaranya!" pungkas Hendra, dia tak ingin berdebat lagi sebab dia tahu apa yang Heri inginkan.
Heri tersenyum samar, "Baiklah kalau begitu."
Wajah Windy sontak berubah masam, dia kesal sebab sadar jika Heri sedang berusaha memeras mereka dan mengambil keuntungan dari kejadian ini.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Enisensi Klara
Widya apa Windy ya kk
2023-01-24
2