Hari Minggu sudah menggeser hari Sabtu. Dengan berbagai pertimbangan, pemikiran dan kesiapan hati yang matang, Rosé mencoba untuk memberanikan diri pulang ke rumah orang tuanya. Tadi malam tepatnya, Rosé mendapat panggilan dari sang Ayah, dengan permintaan lembut yang terlontarkan, akhirnya Rosé luluh dan bersedia untuk pulang.
Tepat sasaran, Rosé merasakan ancaman selama hidupnya terungkit kembali, kejadian tragis lima tahun silam terngiang-ngiang lagi di kepalanya, seakan memaksa otaknya bekerja terlalu keras. Rosé menolak mentah-mentah dalam hatinya.
"Baiklah, Alyne setuju."
Dengan lancar Rosé mengatakan persetujuan atas permintaan orang tuanya yang mungkin berlebihan. Membuat kedua orang tuanya bahagia adalah yang utama bagi Rosé. Sebenarnya Rosé bukan lah tipe orang yang mudah menyerah, namun setiap manusia sudah pasti punya titik kelemahan, sekuat apapun hati menolak, permintaan orang tuanya merupakan salah satu titik kelemahan yang dimiliki oleh Rosé.
"Jadi kapan kita akan bertemu, apa boleh Alyne bertemu secara pribadi malam ini?"
Ayah dan Ibu Rosé sempat bingung untuk menanggapi permintaan putrinya, pasalnya mereka akan bertemu secara resmi besok lusa, sekalian makan malam bersama, tapi daripada ada adegan kabur-kaburan, mereka setuju saja dengan permintaan sang anak.
"Baiklah."
"Terimakasih Daddy, Mommy," Rosé tersenyum yang tersirat makna di dalamnya.
...****************...
Disinilah Rosé berada, di sebuah restoran mewah yang sudah dipesan secara khusus dengan bantuan seorang James. Rosé sampai rela memesan restoran yang di khususkan hanya untuk menyabut seorang pria yang akan menjadi tunangannya.
Tak butuh waktu lama untuk Rosé menunggu. Seorang pria tinggi nampak dewasa berjalan bak model menghampirinya, Rosé yang sadar akan kedatangannya pun langsung berdiri, tepat saat pria itu didepannya, Rosé segera memberi salam. Pria itu pun juga sama, membalas seperti yang dilakukan Rosé.
"Silahkan duduk."
Rosé yang sejatinya mengundang pun mempersilahkan pria bersurai hitam dengan senyum menawan itu untuk segera duduk, lama-lama berdiri bisa membuat pegal di kaki.
"Maaf sudah merepotkanmu datang kesini." Rosé sebagai manusia yang punya rasa malu menyadari untuk meminta maaf.
Pria itu pun tersenyum membuat sang insan didepannya menghangat sementara. "Tidak apa-apa, aku tidak keberatan, hari minggu tidak terlalu merepotkan," jawabnya ringan membuat Rosé sedikit lega.
Seperti melupakan sesuatu, bukankah diawal pertemuan lebih baik berkenalan, ibarat kata tak-kenal-maka-tak-sayang, harus sayang juga bukan pada calon tunangan. "Perkenalkan aku Rosé Alyne Everleight." Rose menjulurkan tangan mulusnya seraya tersenyum berharap segera dibalas.
Seperti yang diharapkan, pria maskulin itu membalas uluran tangan sembari menautkan telapak tangannya ke telapak tangan Rosé sehingga terciptalah sebuah jabatan. "Perkenalkan aku Daniel Andreas Gunawan."
Setelah perkenalan yang manis itu berakhir, mereka berhening ria sibuk dengan pemikiran masing-masing. Rosé yang masih tau diri itupun ingat bahwa belum ada sedikitpun makanan yang tersaji apik di depan mata. Sudah mengundang tidak memberi makan, bukankah sangat tidak sopan.
"Aku belum memesan makanan ngomong-ngomong, aku panggil pelayan dul-"
"Tunggu dulu, sekarang aku ingin tau kenapa kau mempercepat pertemuan kita, sepertinya kau ingin menyampaikan sesuatu secara pribadi."
Daniel bukanlah pribadi yang bisa basa-basi, dia akan mengatakan apapun yang ada dipikirannya tanpa menunda-nunda, sungguh baru pertama Rosé menemukan yang seperti ini.
Rosé pun tidak menyangka akan respon yang diberikan oleh Daniel, niat hati ingin mengisi energi terlebih dahulu, tapi apa boleh buat, mungkin setelah semuanya selesai ia akan berakhir di meja makan sendirian.
"Oke, aku akan menanyakan sesuatu yang menurutku adalah tolak ukur untuk kita kedepannya." Rosé nampak tetlihat serius kali ini, terbukti dengan tatapannya yang kini berfokus pada manik mata Daniel.
"Oke."
Rosé menarik nafas dalam-dalam, mencoba merilekskan syaraf kecapnya. "Apa kau menyukai anak kecil?" pertanyaan macam apa yang Rosé utarakan ini, tapi menurutnya ini sangat penting, manusia itu berbeda-beda, apabila diberikan pilihan antara memilih ya dan tidak sudah pasti jawabannya akan berbeda pula.
Daniel mengembangkan senyum atas pertanyaan yang Rosé sampaikan. "Tentu saja Rosé." pun menjawab dengan semangat, Rosé tersenyum menaggapi.
Rosé juga sangat menyukai anak-anak, maka dari itu dia memutuskan untuk menjadi Dokter spesialis anak, walaupun cita-cita awalnya menjadi dokter spesialis bedah yang menurutnya sangat keren.
"Aku ingin punya anak banyak, aku ingin secepatnya punya anak setelah menikah." Imbuh Daniel dengan semangat.
Inilah waktu yang ditunggu oleh Rosé sebenarnya, pernyataan yang baru saja terlontar dari pria tampan di depannya inilah yang menjadi patokan untuk keputusan yang akan di ambil olehnya, sepertinya Rosé akan memulai aksinya.
Rosé berdiri dan dengan beraninya membuka baju bawahnya sampai batas bawah dada, memperlihatkan perut ratanya yang terpapar sempurna di depan mata Daniel, apapun yang akan terjadi, Rosé tidak perduli, memang ini tujuan awalnya.
Daniel terkejut bukan main, bahkan dalam benaknya pun tidak menyangka akan dapat menonton pertunjukan seperti ini, sontak saja ia berdiri dengan raut muka sulit diartikan. "Apa yang kau lakukan, Rosé?" tanyanya sembari menggembangkan tangan ke udara.
Rosé meraba bagian perut yang sejak awal akan dia jadikan sebagai pemeran utama untuk menentukan ending cerita yang skenarionya sudah pasti Rosé yang menyusunnya. "Tolong kau lihat baik-baik Daniel!!" Rosé menuntun mata Daniel untuk mengikuti dimana telunjuk tangan Rosé berada.
"Aku tidak akan pernah bisa punya anak, aku tidak bisa memberikan keturunan padamu." ungkapnya setelah menangkap mata Daniel yang terfokus pada bentangan daging bekas opersasi yang setia menempel pada perut Rosé.
Daniel melebarkan matanya dengan susah payah karena pada dasarnya dia memiliki mata yang sipit, ia baru tau ada wanita yang sebegitu beraninya berterus terang tentang kecacatannya terhadap pria sampai harus melakukan tindakan yang seperti itu.
Daniel sebenarnya prihatin, tapi jika dilihat-lihat, sepertinya Rosé bukanlah pribadi yang senang bila dikasihani, menurutnya, wanita itu cukup tangguh. Daniel tidak mampu mengeluarkan kata-kata, terlampau bingung harus menanggapi seperti apa.
Tidak mendapat jawaban dari Daniel, Rosé menurunkan kembali kemeja maroon yang baru saja ia sibakkan untuk menunjukkan perutnya itu, Rosé memasang wajah datar namun sedikit senyum getir menatap nanar wajah linglung pria didepannya.
"Aku minta maaf padamu, kau hanya punya dua pilihan, tetap tinggal lalu kita makan bersama, atau pergi tinggalkan aku sendiri." suara Rosé melembut saat mengatakan itu.
Rosé tidak pernah berharap akan adanya happy ending, baginya, dua suku kata itu hanya ada dalam kisah romantis yang tertulis secara lisan yang biasa dibaca kalangan remaja—romantic love story.
"Maafkan aku." Daniel pun mebawa torsonya beranjak dan berlalu dari hadapan Rosé.
Akhirnya drama ini memiliki akhir bad ending sesuai dengan prediksi Rosé dari awal. Sayang sekali, tapi itu juga yang diharapkan olehnya.
Setelah punggung Daniel menghilang dari pandangan Rosé. "Aaah itu lebih baik 'kan?" gumamnya seraya mendudukan bokongnya pada sofa empuk yang sangat nyaman. "Seperti nya aku akan makan sendirian, baiklah," celotehnya lagi seakan baik-baik saja, tapi yakinlah dalam hatinya menyimpan kepedihan yang menumpuk.
Benar memang yang dikatan oleh orang-orang, mengungkapkan kenyataan yang mungkin kebanyakan orang akan sulit menerima itu lebih baik daripada terus bersembunyi dalam kebohongan seumur hidup.
"Boleh aku makan bersamamu?" indra penangkap suara milik Rosé merespon tawaran seseorang yang entah siapa ia sendiri tidak tahu, untuk membunuh rasa penasaran, sontak saja Rosé melihat pada sumber suara.
"Sena," gumamnya pelan kemudian setelah melihat sosok wanita yang baru dikenalnya tempo hari.
Sena pun berjalan menuju tempat Rosé yang sudah menampakkan wajah keheranan atas kehadirannya, mendudukkan pangkal paha bagian belakang tepat berhadapan dengan tempat duduk Rosé.
Jujur Rosé sangat kacau saat ini, dia hanya membutuhkan pelukan dari James, tapi orang yang dibutuhkan sama sekali tak menampakkan walau hanya sebatang hidung saja.
"Rosé, maafkan aku." ungkap Sena tiba-tiba.
"Sen, apa kau melihatnya?" Rosé memincingkan kedua matanya berharap segera mendapatkan jawaban.
Sena yang ditanya pun kebingungan seperti anak ayam mencari induknya, takut jikalau Rosé menganggapnya sebagai penguping, karena pada kenyataannya ia sejak awal sudah berada di restoran ini.
Sena hanya mampu mengangguk untuk memenuhi rasa penasaran dalam diri Rosé, terlampau takut terlebih tidak enak hati pada Rosé untuk berkata-kata lebih, tapi naluri hati Sena mengatan lain, ingin sekali dia sekedar memberi sandaran lantaran melihat Rosé diambang kesedihan.
"Kalau begitu tarik kata-kata mu tempo hari Sen!" titahnya setelah mengingat perkataan Sena saat pertemuan pertama mereka di apartemen.
Sena tidak tau apa maksud dari permintaan yang terucap lancar dari mulut Rosé. "Apa maksudmu Rosé?" tanyanya.
Rosé masih sangat ingat dengan jelas pujian dari Sena yang mungkin bila dilontarkan untuk wanita lain sudah pasti bisa membuat melayang tinggi, tapi tidak untuk Rosé. "Tarik kata-katamu yang menyebutku sebagai wanita sempurna, aku hanya wanita....,ya kau tau sendiri 'kan!!"
Sebagai sesama wanita, Sena seperti bisa merasakan apa yang dialami oleh Rosé, tapi sayangnya rasa itu hanya samar, karena pada kenyataannya Sena tidak mengalaminya. Permintaan Rosé hanyalah bentuk keputusasaan menurutnya. Menanggapi secara serius pun tidak akan mengurangi beban yang di pinggul oleh Rosé.
Sena tersenyum setelah mendapatkan jawaban yang tepat untuk ia berikan. "Daripada mengatakan hal seperti itu bagaimana kalau kita makan saja, kebetulan aku sangat kelaparan." sebelum suasana benar-benar membeku, Sena mencoba untuk mencairkannya.
Rosé nampak terkejut atas ajakan Sena yang menurutnya diluar pembahasan, ia mulai suka dengan pribadi Sena yang dapat mengolak alik situasi. "Setuju," jawabnya.
Akhirnya Rosé berakrir di meja makan bersama Sena.
"Ngomong-ngomong bagaimana bisa kau disini, Sen?"
"Aku pemilik restoran ini, Rosé," jelasnya.
Rosé mencelos, lain kali Rosé akan lebih hati hati dalam mengendalikan pemikiran negative-nya, lihat saja, dia hampir salah paham kepada Sena. Baiklah, setelah ini bertukar nomer ponsel bukanlah ide yang buruk, Rosé akan menebus rasa bersalahnya suatu hari nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Dara
Semangat Odipee....salut sama cara kamu menyajikan cerita.
Cerita Odipee selalu penuh teka teki namun disajikan dg sgt menarik, konfliknya termasuk berat namun disajikan secara ringan dan bersahaja....👍👍👍
2023-01-21
0