BACK TO YOU

BACK TO YOU

Comeback Home

Kehidupan yang mulanya tenang setelah sekian lama mengadaptasikan berubah menjadi kelam semenjak perintah dari orang tuanya mengudara mengusik telinga. Keputusan untuk meninggalkan masa suram seakan terhempas begitu saja kala suara dengan mimik memohon layang diucapkan yang tak mampu untuk terhindarkan.

Wanita bersurai pirang yang sedang berdiri dibalkon sembari menikmati udara sore Los Angeles yang berlukiskan langit senja, pun membentangkan tangan itu tengah memasarahkan nasibnya kembali ke tanah kelahirannya—Indonesia.

Mungkin jika diingat sudah seminggu perintah dari ibu dan ayahnya mampir lewat ponsel milik Rosé, walaupun ia mengatakan iya dan sudah mengurus kepindahannya namun, hatinya masih sangat bimbang dan gelisah untuk alasan yang selama ini dipendamnya.

Masih terngiang-ngiang diingatan Rosé bagaimana dia memutuskan pilihan dengan bijak dan penuh pemikiran untuk meninggalkan seseorang secara sepihak lima tahun lalu dengan alasan tidak mau membuat kecewa. Ia sangat ketakutan dan tidak siap apabila takdir tidak sengaja membuatnya bertemu dengannya lagi.

Dengan nafas beratnya, Rosé melangkahkan torsonya dengan lemah menuju sofa didalam kamarnya, ia mengambil ponselnya terlebih dahulu di atas nakas sebelum mendudukkan diri dengan manis. Mengetuk-ngetukkan jari lentik tangan kanannya di pipi sembari berpangku tangan, lantas tangan kirinya mencari sebuah kontak pada ponsel untuk di hubungi secepatnya.

"Halo Jam, apartemen sudah siap 'kan?" ucapnya lemah saat benda kotak plasma itu menempel di daun telinga.

“Sudah beres, kenapa sih harus tinggal di apartemen segala, Rosé? Suara dibalik ponsel itu mengisyaratkan protes, terdengar dari vokal yang melengking dan bentakan keputusasaan.”

Rosé tersenyum tipis sebelum menanggapi, "Hanya ingin."

“Gue nggak mau tahu ya, seumpama tante Dara tanya-tanya ke gue, gue nggak ikut tanggung jawab.”

"Deal, masalah mommy biar gue yang urus, besok langsung jemput aja di bandara."

Oke.

...****************...

"Bang, semuanya sudah beres 'kan?" tanya pemuda bernama Vee Kanesh Bellamy sambil mengutak-atik sendok pada makanan yang sudah terbubuh berserakan di atas piring.

Joan Barel Sandiaga sebagai pelaku yang ditanya pun menarik atensinya untuk segera menjawab tapi, bibir tebalnya itu masih membuka menutup karena deretan putih dalam mulutnya masih sibuk mengunyah makanan yang menurutnya jauh lebih penting.

"Sudah, hari senen mereka mulai bekerja disini," jawabnya segera setelah menelan benda-benda yang sudah hancur dalam kuasa giginya.

Sambil menyantap sisa makan siangnya calon CEO muda Bellamy itu mengetuk-ngetuk benda persegi panjang hitam nan cerdas yang sebagian banyak orang sudah pasti memilikinya. Pikirannya terpaut akan sesuatu hal yang tak pasti, menelusuk otaknya paling dalam yang seakan siap untuk meledak kapan saja. Hatinya gundah akan kepastian pemilik hati yang sudah lama hilang hingga akhirnya telah tergantikan oleh sosok manis nan sabar diluar batas.

Kebetulan sekali, nama sosok yang dipikirkannya muncul dilayar pipih hitam yang sedari tadi asik dijadikan mainan oleh Vee, dengan senang hati, lelaki menawan itu menggeser tanda hijau untuk menjawab, "Halo sayang, ada apa?" tanyanya langsung, setelah itu terlihat guratan di dahi Vee sejenak. "Makan malam? Oke nanti aku jemput sepulang dari kantor."

Setelah berbicara sejenak, Vee mematikan ponselnya lalu menaruhnya di meja, melanjutkan aktifitas pengisian energi yang akan masuk pada lambung tak kasat mata  yang berada dalam perutnya. Kedua pria berbeda usia itu masih berkecamuk dengan makanan masing-masing, duduk berhadapan dalam ruangan kerja milik Vee.

Sebenarnya bisa saja mereka makan di kantin dengan tenang, tapi sayangnya itu tidak akan pernah terjadi, paras tampan mereka sudah pasti akan menjadi sorotan mata, semua yang memandang sudah pasti akan terbuai, bukannya mengada ada, tapi itu nyata adanya.

Pernah sekali mereka makan bersama dan apa yang terjadi setelahnya benar-benar diluar dugaan, bukannya cepat menghabiskan makanan, mereka sibuk memandangi dan mencoba mengerumuni, sudah pasti sangat mengganggu bukan? Tidak ingin sombong, tetapi waktu istirahat makan bukankah lebih baik digunakan untuk makan, pengisian energi itu sangat penting.

"Bukanya orang yang akan pindah itu temanmu sendiri, Vee?" pertanyaan dari pria yang selalu menyebut dirinya world wide handsome itu menghentikan kunyahan Vee.

"Iya bang, dia temanku waktu SMP dulu."

"Lalu, kau juga kenal satu orang lagi yang akan ikut pindah kesini?"

"Aku tidak tau bang, kan semuanya bang Niko yang ngurus." Joan pun hanya mengangguk tanda paham setelah itu meminum segelas air putih setelah rutinitas makan siangnya sudah selesai.

"Sena mengajakmu makan malam?"

Sumpah demi apapun sebenarnya Vee tidak ingin mendengar pertanyaan Joan kali ini, ia tidak menghindar, hanya bosan dengan penuturan selanjutnya yang kerap sekali mampir di indra rungunya.

"Jangan mengabaikan Sena, Vee."

Benar seratus persen dugaan Vee, penuturan-itu-lagi, ia sama sekali tidak menghindar, menurutnya. Vee terlalu sibuk untuk belajar memimpin perusahaan yang sebentar lagi akan diserahkan seutuhnya padanya karena sang kakak Niko Andrian Bellamy ingin bebas berkelana entah kemana.

"Aku sibuk bang, percayalah, kali ini akan aku tepati untuk menemaninya makan malam," tuturnya yang berhasil membuat Joan menarik kedua ujung bibirnya, lega.

"Apa kau sudah mencintai Sena, Vee?"

Damn. Vee mengumpat salam hati tak menyangka akan ada pertanyaan semacam itu. Ia hanya berharap mulutnya saat ini dijahit penuh agar tidak bisa lagi menjawab pertanyaan sakral yang terlontar dari bibir montok seorang Joan Barel Sandiaga. Tapi sayangnya semua itu hanya andai saja.

"Cin-cinta, bang," jawab Vee meragu.

Joan menyadari ada suatu kebohongan dari kata yang terlontar dari mulut Vee, tapi ia tidak mau ikut terlalu dalam atas drama percintaan yang telah tercipta dari satu tahun lalu, perjodohan tepatnya

"Baiklah, jangan lupa tepat waktu menjemput kekasihmu."

"Tunangan bang, bukan kekasih"

Memang benar adanya jika mereka sudah bertunangan sejak satu tahun lalu, Vee tidak mau menyebut Sena sebagai kekasihnya, dia akan lebih senang Sena disebut tunangannya. Menurutnya, arti dari kata kekasih itu bukan suatu hubungan seperti yang dilakoninya bersama Sena.

Joan yang tersenyum simpul pun tahu betul akan reaksi sepupunya saat mendengar penuturan tentang kata kekasih untuknya, dia hanya ingin menggoda saja. Sejatinya kedua orang tua Vee memutuskan untuk menjodohkan putranya bukan tanpa alasan.

Sejak tujuh tahun belakangan, Vee seperti orang berjalan tanpa nyawa, untung saja dia berparas tampan jadi orang-orang masih saja suka memandanginya bahkan memujanya.

Sena terlihat sangat sabar dan telaten menghadapi Vee, tanpa henti memberikan perhatian padaanya sehingga membuat pribadi Vee sedikit berubah dan mulai tersenyum lagi.

"Ambilah cuti hari senen, jadi kau bisa istirahat untuk tiga hari ke depan," Joan memberi saran.

Bukan ungkapan semata, Joan kawatir pada Vee, karena pria itu termasuk orang yang gila kerja, jarang juga dia mengambil cuti, tapi kali ini Joan benar-benar harus memaksa agar Vee mau mengambil cuti.

"Aku tidak mau bang!!!" tolak Vee.

Joan menghembuskan nafasnya dengan kasar, memang sepupunya itu harus diancam agar mau menurut, apa Vee kira Joan tidak mempersiapkan sesuatu untuknya.

Joan mengeluarkan amplop putih dari dalam sakunya yang tertengger jelas sedari tadi tanpa disadari oleh Vee, menaruh pada sandaran kotak beratap kaca lalu menggeser sampai tepat di depan tangan Vee yang terlipat sempurna di atasnya.

Mata Vee sontak membulat sempurna sembari bergantian memandangi amplop dan wajah si pelaku utama. "Apa-apaan kau ini, bang!!" pekiknya bergemuruh memenuhi ruangan.

Tidak habis pikir dengan ancaman yang diberikan Joan. Sungguh luar biasa, seorang Boss tidak berkutik karena karyawan ingin mengundurkan diri, hanya Joan yang bisa melakukan.

Joan bukan hanya karyawan biasa, dia termasuk pemegang kendali dalam menjalankan perusahaan, tanpanya Vee tidak akan bisa apa-apa, selain itu, Joan sudah menjadi panutan bagi Vee meskipun terkadang omelan yang keluar dari mulut Joan melebihi emak-emak yang rebutan diskonan 50% + 20% di mall.

Dengan kedua tangan melipat di dada, Joan menjawab dengan mudahnya. "Terserah kau saja, pilih yang mana."

Vee mengambil surat itu lalu merobeknya, membuang asal di ruang kerjanya sehingga berserakan di lantai, "Aku ambil cuti, aku akan tidur tiga hari ini di apartemen, jangan sampai kau menggangguku, sudah 'kan!!!"

Joan tersenyum bangga akhirnya bisa mengalahkan boss besarnya, tidak dipungkiri dirinya juga sangat memperhatikan Vee, kesehatan pria itu sangatlah penting, Joan tidak akan pernah membiarkan Vee untuk memforsir dirinya sendiri untuk bekerja terlalu keras.

"Oksigenmu sangat cantik hari ini, Vee." presensi Vee langsung berbalik memandang meja kebesarannya yang berhiaskan bunga mawar yang diselimuti vas kaca berwarna senada dengan batang mawar, hijau.

Vee tersenyum teduh, senyuman yang hanya ditunjukkan apabila matanya sudah terfokus pada bunga cantik yang selalu dia sebut sebagai oksigen.

Baginya hidup tanpa dikelilingi bunga mawar bisa membuatnya mati. Orang-orang menertawakan penuturan yang Vee katakan. Tapi setelah melihat bahwa itu adalah serius maka orang-orang mulai mempercayai, walaupun aneh.

"Aku selalu merawatnya."

Vee berjalan lalu membelai kelopak bunga yang sedang merekah segar. "Aku tidak bisa hidup tanpanya, walaupun kapan saja dia bisa menyakitiku," ucapnya nanar sembari mengusap darah yang keluar dari ujung jari telunjukknya yang dengan sengaja ditusukkan pada duri bunga kesayangnnya, secantik-cantiknya bunga mawar masih tetap saja berduri bukan.

...****************...

Joseph Putra Dirgantara atau yang biasa di sapa dengan sebutan Kuda sedang memujit-mijit pelipisnya, pening sekali yang dirasakan saat ini, belum lagi masalah sahabatnya yang sangat tambah memusingkan kepalanya.

Joseph memandang sebuah photo yang ada diatas meja kerjanya yang berlapiskan bingkai silver dengan sendu, benda kecil itu sudah menjadi temannya sejak lima tahun yang lalu karena kepindahannya yang memang harus dilakukan, wajib baginya.

Sebuah kebetulan atau memang Dewi Fortuna yang sedang berpihak pada Joseph saat ini, kabar gembira datang disaat atensinya memandang ponsel yang terletak tepat di sebelah buku sketsa miliknya.

Rosé:

Joseph, maaf terlambat ngasih tahu lo, gue mutusin buat pulang besok.

Sumpah demi apapun, Joseph saat ini telah memanjatkan syukur yang sangat luar biasa, biar saja dibilang berlebihan, tapi keputusan sahabatnya itu akan memperlancar rencana yang dari sejak dulu terlintas dipikirannya.

Joseph:

Pastiin lo baik-baik di Indonesia, Rosé, segera kabari gue kalau udah nyampek, jaga diri.

Joseph tersenyum tipis seraya menyandarkan tubuhnya di kursi kerja, perasaan lega menghampirinya seketika setelah membalas pesan dari Rosé.

Saling berpesanpun telah berakhir, meninggalkan Joseph sendiri dalam keheningan. Pikirannya menjelajah kemana-mana, memikirkan bagaimana semuanya akan dimulai.

"Meji, pastikan semua yang ada disini kau urus dengan benar, aku akan sibuk di Indonesia beberapa bulan ini," perintahnya melalui telepon duduk yang selalu mangkir di meja kerjanya.

“Kapan anda akan pergi, Sir?”

"Dua minggu lagi, aku akan mulai sibuk hari ini, jadi aku serahkan padamu untuk urusan butik," titah Joseph lagi.

“Saya pastikan beres, Sir.”

Joseph meletakkan telepon duduknya, memutar kursi menghadap belakang bertatapan langsung dengan jendela yang terbuka menampilkan pemandangan luar Los Angeles yang tiba-tiba menghangat.

"Aku harus memikirkan cara dan alasan yang tepat untuk pulang ke Indonesia."

Terpopuler

Comments

Dara

Dara

Lucu bgt si Joan

2023-01-05

0

Dara

Dara

Keren bgt narasinya

2023-01-05

0

Hai

Hai

Sangat2 membuat penasaran

2023-01-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!