Ternyata Om yang tadi diundang makan malam kerumah. Sekeluarga lagi. Ketemu lagi sama mas tengil deh!!! Sebelll!!! Mukaku sudah ditekuk saat disuruh Mama menyambut mereka.
"Bukankah ada yang harus kamu sampaikan No?" kata Om Dedi sambil memandang anaknya. Yang dipandang mendekat kearahku takut takut. Di tangannya ada boneka koala coklat.
"Lala, Mas minta maaf yaa," katanya sambil mengacungkan boneka itu di depanku. Aku diam buang muka.
"Lala Masnya minta maaf itu lho. Di terima itu bonekanya," kata Mama. Aku pun menerima boneka koala itu. Dia mengacungkan tangannya untuk salaman. Aku terpaksa menerima jabatan tangannya.
"Naa gitu dong. Mulai sekarang kalian harus berteman. Anggap Lala ini sebagai adikmu ya No... adik itu harus disayang," kata Om Dedi.
"Mereka ketemu saat berebut jajanan krepes tempo hari, Brow. Vano yang salah, dia nyrobot antrian cerpes anakmu. Ternyata pertengkaran mereka berlanjut tadi. Hahaha aku gak tahu kalau Lala itu anakmu kemarin. Makanya aku suruh dia minta maaf sama Lala sekarang," jelas Om Dedi pada Papaku dan Mamaku. Papaku manggut manggut. Aku berusaha melepas jabatan tangan Mas ini, tapi dia mencengkeram tanganku terlalu erat.
"Dunia anak anak sejam marahan, sejam akur. Biasa itu. Ayo masuk, makanannya keburu dingin nanti," kata Papa sambil menepuk pundak Om Dedi. Mereka pun masuk rumah. Tertinggal aku dan Vano. Tangannya masih erat menggenggam tanganku.
"Udah lepasin!" kataku sebal. Vano nyengir melepas jabatan tangan itu.
Kami masuk rumah dan makan malam bersama. Percakapan makan malam itu di dominasi sama Om Dedi dan Papa. Mereka cukup dekat ternyata. Sepertinya satu sekolah dulu.
"Mas kelas berapa?" tanya Mama pada Vano.
"Udah SMP kelas satu, Tante," jawab Vano.
"Ikut karate dekat pendopo tari Lala yaaa?" tanya Mama lagi. Vano mengangguk saja.
"Buat ngisi kegiatan sore, Dik. Kalau Lala kelas berapa?" tanya Tante Winda pada Mamaku.
"Lala sekarang kelas tiga, Hector kelas dua," jawab Mama.
"Lala suka nari yaa?" tanya Tante Winda. Aku senyum sambil mengangguk. Mereka terus mengobrol. Obrolan orang dewasa. Aku fokus sama piringku saja. Sambil nguping dikit dikit.
Ayahnya Vano ternyata seorang polisi. Mereka masih ngobrol asik, bahkan setelah makan malam usai. Hector dan Mas Vano ngobrolin robot mobil. Mama juga cekikikan sama Tante Winda. Aku gak tau mau ngapapin habis makan. Nyender nyender Mbah Kung minta pangku. Mbah Kung menaikkan aku dalam pangkuannya.
"Mbah, Lala ngantuk," bisikku. Beliau senyum, kemudian menuntunku kedalam. Masuk keruang tengah.
"Lala bosen?" tanya Mbah Kung. Aku mengangguk.
"Mau Mbah dongengin aja disini?" tanya Mbah sambil tiduran depan TV. Aku ikut tiduran disamping Mbah. Ndusel sama mbahku ini. Mencium aroma tubuhnya yang khas.
"Apa Mbah ceritanya apa?" tanyaku semangat. Kalau Hector tidak pernah tertarik dengan cerita Mbah Kung, aku justru sebaliknya. Cerita Mbah Kung selalu bikin aku terkagum.
Mbah pun mulai mendongeng. Tentang tokoh pewayangan bernama Parikesit. Seorang raja penerus Kerajaan Astino. Yang terkenal adil dan bijak. Meninggal karena digigit naga yang menyamar sebagai ulat dalam jambu yang di sajikan padanya. Itu karena kutukan dari seorang resi yang tidak terima ayahnya dikalungi bangkai ular oleh Sang Raja. Raja Parikesit sebal karena ayah pertapa tersebut tidak menjawab saat ditanya kemana hewan buruannya berlari.
***
Aku bangun sudah pagi. Sudah berada di kamarku. Dongeng Mbah Kung selalu ampuh menjadi pengantar tidur untukku. Aku semangat melompat dari tempat tidur. Saatnya bersenang senang dengan Papa. Yeeee.... mumpung Papa pulang kesini. Aku keluar kamar mencari Papa.
"Papa...!! Papa!! Papaa!" teriakku mencari Papa di kamarnya. Hector ternyata udah duluan di sana. lagi asyik naik di punggung Papa. Aku ikut naik.
"Wow, wow, pelan pelan Nak," protes Papa. Mama masuk kamar tertawa tawa.
"Papamu udah tua itu," kata Mama.
"Ayo mandi, sarapan dan kita berangkat," lanjut Mama. Aku langsung lari ke kamar mandi dikamar ini. Hector teriak teriak. Hahahaha dia kalah cepat.
Sesuai janji kemarin, Papa mengajakku berenang. Kolam renang dengan wahana seluncuran muter muter yang indah.
"Ayo naik itu!!" Hector bersemangat dan menggandeng tanganku.
"Aku takut Tor... itu tinggi," kataku sambil ngeri menatap awal seluncuran dipuncak ketinggian. Aku suka ketinggian, tapi tidak setinggi itu juga kali. Belum nanti meluncurnya. Ngeri.
"Papa temani. Ayo! Jangan takut," kata Papa sambil menggandeng tanganku dan Hector. Walaupun berdebar, aku bisa melewatinya. Aku main air sama Papa dan Hector. Aku sudah bisa berenang, walau tidak sebaik Hector. Papa lebih banyak menjagaku daripada jagain Hector. Dia udah mirip ikan kalau masuk air.
Mama tidak ikut berenang. Duduk di tepi kolam menghadap camilan dan laptop. Sepertinya kerja. Mamaku itu memang wanita karir, tapi aku gak pernah kehilangan perhatian Mama.
***
Senin pagi sekali Papa masuk kekamarku. Sudah siap bekerja rupanya. Menciumi rambutku banyak. Aku jadi menggeliat bangun.
"Papa pergi dulu ya Nak, jangan nakal dirumah," pamit Papa. Aku merentangkan tanganku, masih setengah mengantuk.
"Aku mau nganterin Papa sampai depan, tapi aku males jalan. Gendooong," kataku manja. Papaku tertawa, tapi dia mengambil tubuhku dalam gendongannya.
Aku keluar kamar di gendong Papa. Hector juga keluar kamar dengan rambut acak acakan.
"Astaga Lala, malu masak udah kelas tiga minta gendong," Mama protes. Sepertinya Papa juga sedikit berat menggendongku sekarang. Berkali kali dia membenarkan letak tubuhku hihihihi. Padahal Hector saja jalan sendiri. Aku yang udah gede minta gendong. Aku dan Hector melambai pada Papa sampai mobil Papa tidak terlihat. Berharap akhir pekan menyenangkan segera datang lagi.
***
Aku berangkat sekolah bareng Farel. Jalan kaki dari rumah. Sekolah kami memang tidak jauh.
"Itu dia Lala!!" kata teman sekelasku tidak santai. Dia mendekat dan mendorongku. Aku masih sanggup mengendalikan tubuhku, jadi tidak jatuh. Hanya mundur saja.
"Apaan sih!!" kataku gak kalah nyolot.
"Kamu kan yang mempengaruhi Bu Guru, aku jadi gak dikirim lomba. Kamu yang gantiin. Kamu seneng banget cari muka!!" katanya mendorong lagi. Kali ini aku terdorong cukup keras. Farel menangkap tubuhku, jadi aku tidak jatuh lagi.
Lomba? Oooohhh lomba nari antar SD. Aku baru sadar apa yang dia ributkan.
"Maaf ya Nov, aku emang gantiin kamu, tapi itu bukan karena aku cari muka. Itu karena aku emang lebih pinter nari dari kamu," kataku sambil centil. Yakin dia makin ngamuk. Dia menjambak rambutku. Aku jambak balik. Aku tendang perutnya. Dia mental sampai tembok. Aku buka ranselku. Ku tampari dia sambil mencengkeram krah bajunya. Sambil terus memepetkannya ketembok.
Bu Guru datang. Beliau langsung melerai kami.
"Siapa yang mulai!!" tanya Bu Guru galak. Kami sama sama saling tunjuk. Kemudian saling melotot.
"Ibu tanya siapa yang mulai!!" Bu Guru mulai marah.
"Novi yang mulai Bu. Saya lihat sendiri," kata Farel. Farel terus membelaku, walaupun terus dibantah Novi. Aksi saling bantah terjadi. Membuat guru semakin pusing. Akhirnya kami bertiga tetep dihukum.
"Sikat tiga toilet itu! Kemudian lari muter lapangan lima kali!" kata Bu Guru.
Kami akhirnya ngos ngosan bertiga. Aku ambruk di lorong kelas bersama Farel. Novi entah kemana.
"Maaf ya Rel. Kamu jadi ikut dihukum," kataku merasa bersalah. Farel manggut manggut.
"Gak papa. Kamu benar kok. Aku gak nyesel membela kamu," jawab Farel. Aaaaahhhh Farel emang bestie yang paling bastie.
Hector datang membawakan dua es lilin pada kami.
"Kalau mau aman gak ketahuan mama, nanti jajanin krepes ya Po," katanya kemudian berlalu. Hah! sial memang adik satu suka cari kesempatan dalam kesempitan. Aku tahu benar nanti kalau tidak di jajanin krepes perkelahianku pasti di laporin Mama.
Ternyata perkelahianku tetap sampai ditelinga Mama. Bu guru menghubungi Mama.
"Gak baik anak cewek kok berkelahi kaya gitu. Malu maluin....." kupingku sampai panas karena diomelin Mama lama.
"Udah Nduk, Biar Mbah yang bicara," kata Mbah Kung. Mama mengangguk.
"Mirip papanya dia Mbah, suka bikin ribut," kata Mama sebelum pergi. Mbahku tertawa.
"Iya, cuma yang ini agak melankolis mirip Mbahnya," kata Mbah Kung. Mama ikut ketawa. Kemudian meninggalkan aku dan Mbah Kung berdua di ruang tamu.
Mbah Kung duduk disampingku. Mengelus kepalaku sayang. Aku langsung ndusel saja.
"Kamu tahu La, gak semuanya bisa di selesaikan dengan kekerasan. Gak harus berkelahi untuk membuktikan yang terbaik," kata Mbah Kung. Beliau kemudian bercerita tentang Kresna yang memiliki watak cerdik. Tidak semua musuh Kresna dikalahkan dalam medan perang. Ada beberapa dikalahkan dengan kecerdikannya.
"Terkadang otak lebih baik dari otot. Dan kecerdikan lebih baik dari kekerasan. Kamu ini mirip papamu, tapi juga lembut dan manja mirip mamamu. Dua orang tuamu itu pandai. Kamu juga anak yang pandai. Berfikir sebelum bertindak Nduk. Jangan pernah terbawa emosi duluan," kata Mbah Kung mengakhiri kisah. Nasehatnya terngiang dikepalaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments