Aku sudah dihias. Jarik kecil melekat di pinggangku. Dengan dalaman hitam berhias di bawahnya. Juga mahkota berbentuk cucuk. Aku cantik hihihihi aku suka berdandan seperti ini. Tanganku gemetar menunggu tampil. Mama masih disampingku. Menemani aku sampai aku naik panggung.
"Ma, Lala takut," kataku sambil menggoyangkan tangan Mama di genggamanku. Mama tersenyum. Dia membungkuk, mensejajarkan tingginya denganku.
"Sebelum tampil, tarik nafas panjang dan hembuskan. Lakukan tiga kali. Itu akan mengurangi ketegananmu. Ini minum sedikit," kata Mama sambil menyerahkan botol air mineral kecil. Aku mengguk dan meminumnya.
"Apa Mama dulu juga melakukannya? Apa Mama sering tampil diatas panggung?" tanyaku. Mama menggeleng.
"Mama hanya sering dikirim lomba dulu, hanya disaksikan beberapa juri dan peserta lain. Mama dapat trik itu dari Om mu," kata Mama. Matanya menerawang jauh. Aku mengangguk. Om ku yang katanya dulu seorang artis. Aku beberapa kali dengar cerita tentang beliau.
"Semangat Po," kata Hector muncul dibelakang punggung Mama.
"Pa po pa po!! Namaku Lala. Vanila, bukan Po," aku sewot. Adiku satu satunya itu tertawa jahil.
Hector ini pendiam, tapi kalau bicara pasti menyebalkan. Dia gak pernah manggil Mbak Lala atau apa kek yang menyenangkan. Manggilnya pasti Po. Dia pikir aku anggota teletubies. Tapi memlesetkan nama panggilanku Lala menjadi anggota teletubies paling akhir. Yaitu Po.
"Tapi kamu mirip Po dari pada Lala. Apalagi Vanila hahhh namamu terlalu bagus," kata Hector. Aku menabok lengannya. Dia nyengir saja. Berdebat dengan Hector tenyata membuat aku lupa keteganganku.
Aku tampil dengan tiga temanku lain. Kami nari merak. Tari yang kata Bu Joyo melambangkan tingkah laku merak jantan yang memamerkan keindahan bulunya. Dibahuku tersampir selendang bermotif bulu burung merak yang indah.
Aku lihat Papa dan Mama ada dikursi penonton. Juga Mbah Kung dan Hector. Saat musik berakhir tepuk tangan terdengar dari para penonton. Aku melihat Mbah Kung tepuk tangan paling semangat. Lambaian tangannya juga mengarah padaku. Aku jadi senyum senang.
Aku turun panggung disambut Mama.
"Hebat!! Anak Mama hebat. Gerakanmu cantik, mirip merak sungguhan. Kamu anak Mama yang hebat. Mama bangga sama kamu," kata Mama sambil memelukku. Hector selalu ngekor dibelakang Mama ikut komen.
"Kamu kalau nari kelihatan cantik Po. Gak kaya teletubis, tapi kalau udah gak nari gak cantik lagi," kata Hector. Kuabaikan saja. Aku belum berniat gelud dengannya.
Aku berlari kesamping panggung. Kulihat Papa dan Mbah Kung disana. Aku lari menuju mereka.
"Wooo ini dia penari cilik Papa. Hebat! Lala hebat sekali," kata Papa sambil berjongkok. Kami berpelukan. Kangen sekali sama Papaku ini. Andai dia gak kerja diluar kota. Aku juga memeluk Mbah Kung. Beliau mengelus punggungku dengan sayang.
"Lala hebatkan Mbah?" tanyaku masih minta dipuji. Hihihihi.
"Hebat dong, tentu saja cucu Mbah hebat. Kamu nari mirip bidadari. Mbah Kung bingung bedain kamu sama bidadari," bisik Mbah Kung.
"Bidadari gak ada yang cerewet Mbah, Po itu terlalu cerewet," komentar Hector. Mama membekap mulut Hector.
"Hari ini saja jangan goda Mbakmu Tor," pinta Mama pada Hector.
Acara selesai. Aku pulang digandeng Papa. Seorang Om Om menghampiri Papa. Papa tersenyum. Mereka berpelukan.
"Sudah lama sekali. Kamu terlihat tua....." mereka ngobrol entah apa. Aku udah capek mau masuk mobil dan tidur.
Seorang anak laki laki nyembul dibalik punggung Om tadi. Haaaa..... Mas karate pengambil antrian cerpes!!! Aku langsung melotot sama dia. Dia mendekat.
"Matamu bisa jatuh kalau terus melotot," katanya. Aku jadi kesal. Kudorong tubuhnya. Tidak bergerak. Posturku yang kecil beda jauh demgan tubuhnya yang agak gendut itu. Dia tertawa mengejek.
"Makan yang banyak!! Anak kecil aja sok ngajak berantem!!" katanya sambil nyengingis. Kami berpandangan sekilas. Aku akhirnya nangis meluk Papa.
"Masnya nakal Pa.... Ngatain aku anak kecil, padahal dia yang kegedean," kataku sambil berurai air mata. Papa menepuk nepuk punggungku.
"Udah gak papa, Lala kan emang masih kecil," kata Papa justru membuat aku makin nangis. Sebalnya para orang tua justru tertawa. Gak ada yang belain aku.
***
Farel menungguku di depan rumahnya. Langsung berdiri saat aku berlari mendekat.
"Gimana pentasnya tadi?" tanya Farel bersemangat.
"Bagus dong, kata Mbah Kung aku mirip bidadari kalau nari," kataku bangga. Farel tertawa.
"Emang bidadari kayak kamu yaa.... aku gak mau ketemu bidadari kalau gitu. Cukup ketemu kamu aja tiap hari," katanya. Aku tertawa. Kami ngobrol apa aja. Aku selalu nyambung ngobrol sama Farel. Kami dekat sejak balita.
Kami bingung main apa. Sudah bosan ngobrol sana sini.
"Main apa enaknya La?" tanya Farel.
"Entahlah, enaknya apa... Masak masakan yuk!" ajakku semangat.
"Gak mau.... Yang laen. Main masakan selalu kamu yang jadi penjual," kata Farel. Akhirnya kami manjat pohon lagi. Melihat sekolah dalam bentuk mini. Enak sekali disini.
Kami turun saat sudah mau magrib. Akan tetapi kakiku tergelincir. Pijakanku pada batang pohon meleset. Aku tidak sempat berpegangan. Jatuh cukup keras ditanah. Aku nangis keras. Farel panik dan buru buru turun.
"Sakit La? Sini aku bantu berdiri," kata Farel. Aku malah nambah keras nangisnya. Farel bingung dan berlari menuju rumahku.
Papa datang memeriksaku sebentar. Kemudian menggendong dan membawaku pulang.
"Kamu juga pulang Rel, ini sudah mau magrib," pesan Papa pada Farel. Dia mengangguk masuk rumah.
"Ada yang sakit?" tanya Papa. Saat kami sudah dirumah. Papa meletakkanku disofa ruang tamu. Aku mengangguk menunjuk punggungku. Papa memeriksanya sebentar.
"Ini cuma memar. Gak papa Sayang. Digosok minyak ya, biar hangat dan gak sakit lagi," kata Papa sambil menatapku. Aku mengangguk.
"Mbah Mar... ambilkan minyak gosok!" perintah Papa. Mbah Mar datang dengan minyak gosok beraroma khas. Papa mengoleskannya pelan.
"Ini cuma memar sedikit. Kenapa nangis kalau kamu sendiri yang manjat?" tanya Papa mengusap sisa air mataku dengan punggung tangannya.
"Tapi Lala kan jatuh Pa, sakit." jawabku.
"Itu namanya resiko, Nak. Kamu manjat, ada kemungkinan jatuh. Seperti tadi juga, kamu yang dorong masnya duluan, tapi kamu yang nangis. Lucu kan? Kamu gak perlu nangis kalau kamu sendiri yang mulai. Berfikir sebelum bertindak. Setiap perebuatan pasti ada resikonya. Oke," kata Papa. Aku terdiam. Papa menggosok pinggang dengan minyak lagi.
"Kamu mau main kemana besok?" tanya Papa setelah selsai meminyaki punggungku.
Aku girang dan langsung lupa dengan sakit dipinggangku. Bingung mau ngapain besok sama Papa. Hal langka yang jarang aku rasakan.
"Torr, Sentoooor kamu mau main kemana besok?!!" teriakku sambil mencari Hector di sekeliling rumah.
Dia ternyata lagi main kayu dengan Mbah dekat garasi.
"Aku mau mancing!!" kata Hector semangat.
"Enak ketaman air lah," aku berpendapat.
"Mancing!!"
"Taman air !!"
"Mancing Pooo!!! Mancing aja!!"
"taman air. Kolam renang!!" kami terus berdebat. Mbah Kung cuma lihat sambil senyum geleng geleng kepala. Akhirnya Mama yang memutuskan.
"Kita renang, kemudian makan ikan dipemancingan," teriak Mama dari arah dapur. Sedang menyiapkan makan malam sama Mbah Mar.
"Sekarang mandi sana, udah sore banget ini," perintah Mama. Aku dan Hector kembali berebut mandi di kamar Mama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Ijo Colection
males komen
2023-12-11
1
MAY.s
Di sini usia Lala masih berapa Thor?
2023-07-19
1
nurlis yati
lanjuut
2023-01-07
1