Lala Sang Penari
"Ayo La disini bagus sekali pemandangannya!!" teriak Farel dari atas pohon. Aku mendongak menatapnya.
"Apa susah naiknya?" tanyaku sambil mendongak.
"Gak!! Pokoknya pegangan yang erat. Merambat pelan keatas. Kaya aku tadi," kata Farel dari atas pohon. Aku penasaran sekali. Kuraih batang pohon itu dan mulai menjejakkan kakiku. Sulit, agak sulit tapi aku penasaran.
Nafasku ngos ngosan saat sampai diatas pohon. Duduk dibatang yang sama dengan Farel.
"Ini susah Rel, lumayan pegel," kataku masih sambil ngos ngosan. Farel tertawa nyekikik.
"Lihatlah pemandangannya," kata Farel sambil merentangkan tangannya. Aku mengarahkan pandanganku kedepan. Woooowww takjub juga. Pemandangan dari sudut pandang lain yang belum pernah kulihat.
"Itu sekolah kita Rel, terlihat dari sini," kataku takjub. Bangunan itu terlihat kecil. Padahal untuk mengitari lapangannya saja sudah cukup ngos ngosan. Ada sungai yang melintang sebelum sekolah. Sungai itu biasa kusebrangi saat mau kesekolah. Nampak berkerlip karena memantulkan cahaya matahari sore itu.
"Sungainya juga bagus. Kaya berkilau gitu. Anginnya juga lebih kenceng," kataku lagi. Desiran angin membuat keringatku mengering dengan cepat.
"Bagus kan. Kubilang apa!" kata Farel bangga.
Sayup kudengar suara Mama memanggilku. Aku melihat kebawah, benar Mama mencariku. Sambil menggandeng tangan Hector. Adik yang hanya selisih setahun denganku.
"Disini Ma, Lala disini," kataku sambil melambai bangga.
"Astagaaa.... ngapain kamu manjat manjat pohon. Nanti kalau jatuh gimana. Turun!!! Turun sekarang juga!! Anak gadis kok manjat pohon!!!" omel Mama padaku. Aku meringis saja. Bergegas turun perlahan. Ternyata turunnya lebih susah dari naiknya.
"Hati hati," kata Mama sambil menangkap tubuhku. Menurunkannya perlahan di tanah.
"Farel, kamu juga turun!!" kata Mama. Hahaha Farel juga kena semprot.
Farel pun nyengir dan turun perlahan. Mama menangkap tubuh Farel juga sama sepertiku tadi. Sampai ditanah Mama memutar mutar tubuh kami.
"Ada yang lecet gak?" tanya Mama dengan raut cemas. Aku geleng ngeleng kepala. Farel juga diputar tubuhnya.
"Lain kali jangan manjat manjat. Bahaya," kata Mama setelah puas ngecek tubuh kami.
"Manjat manjat mirip monyet aja," Hector nyahut.
"Kamu itu yang monyet!!" kataku tidak terima.
"Kamu!!!"
"Kamu!!!" kami saling tuduh siapa yang monyet. Aku emang jarang bisa akur dengan Hector.
"Sudah!! Sudah!! Ayo pulang semua. Lala, kamu harus mandi. Ini jadwalmu kursus tari. Farel juga mandi sana. Ini sudah sore," kata Mama menggandeng tanganku pulang. Beriringan kami bertiga pulang kerumah. Sedang Farel pulang ke rumahnya yang hanya berjarak tiga rumah dari rumahku.
Aku diantar Mama ke pendopo tari. Sudah ramai teman temanku disana. Kami melakukan pemanasan sebelum latihan. Bu Joyo, guru tari kami mulai menghitung gerakan. Aku menggerakkan badanku sesuai hitungan. Pacak kanan, pacak kiri, nyempurit, seblak sampur.
"Sekarang kita pakai musik," kata Bu Joyo mulai menyetel musik. Suara gamelan terdengar. Aku kembali menggerakkan badanku seirama musik. Selaras dengan teman temanku.
"Besok Mnggu jangan terlambat. Kita make up dulu sebelum pentas. Ingat pentas ditonton Bapak Wali Kota Joko Widodo. Kalian harus semangat. Mengerti?" kata Bu joyo mengakhiri sesi latihan kali ini. Kami mengangguk patuh.
Aku melepas sampurku. Memasukkan dalam tas kecil yang aku bawa. Berjalan keluar dari pendopo tari. Mencari jajanan crepes kesukaanku. Pak De crepes mangkal di depan gapura. Lumayan jauh dari biasanya. Tapi aku tetap mendatanginya. Lagipula Mama juga lewat gapura itu kalau menjemputku. Jadi dia gak akan bingung.
"Pak De crepes satu rasa coklat strawbery," kataku pada Pak De penjual crepes.
"Aku rasa coklat tok satu. Aku dulu saja," kata anak laki laki bersragam karate.
"Enak aja!! Aku yang duluan!!" kataku protes.
"Anak kecil belakangan. Cepet De aku ditunggu Bapakku," katanya sambil menujuk bapaknya yang nangkring diatas motor.
"Gak bisa!! Antri ya antri!!" aku nyolot. Dia melotot, aku memelototinya balik. Emang aku takut gitu!! Walaupun dia cowok dan lebih tua, tapi aku kan yang benar!!
"Udah udah, Adeknya Dulu Mas, kan yang datang adeknya duluan," kata Pak De penjual krepes menengahi. Aku senyum manis.
"Budayakan antri ya De, masak udah gede gak tau antri!" kataku lurus menatap adonan cerpes yang sedang diputar diwajan, tapi menyindir dia yang ada disampingku.
"Heleh dasar kriting bawel. Anak kecil aja bawel," katanya. Aku mendorong tubuhnya kemudian menarik baju karatenya. Berjinjit agar tinggi kami terlihat sama.
"Apa Loe!! Mau ribut? Sini ribut!!" kataku menantangnya. Dia kaget.
"Lalaaaaa!!!" teriakan Mama mengagetkanku. Mama berjalan cepat kearahku. Aku melepaskan cengkramanku di bajunya.
"Vanila Jean Aliee!!! Apa yang kamu lakukan!!!" kata Mama sambil melotot.
"Dia ngajak ribut Ma, dia datang belakangan gak mau antri," kataku. Crepasku sudah jadi. Aku membayarnya dan menjulurkan lidahku pada mas karate tadi. Kemudian menarik Mama menuju mobil.
"Lain kali jangan main tarik baju orang. Kamu yang ngajak ribut kalau gitu," kata Mama.
"Lala gak salah kok. Dia yang salah," kataku membela diri. Mama geleng geleng kepala.
"Kamu ini mirip papamu kalau kayak gini," kata Mama. Aku cuma diam sambil nitilin pinggiran crepes yang renyah.
"Ngomong ngomong papa pulang nanti saat kamu pentas. Kita lihat pentas kamu rame rame nanti," kata Mama lagi.
"Beneran?" tanyaku antusias. Mama mengangguk. Aaaa senangnya...... aku kangen papa juga. Aku makan crepes tadi dengan gembira.
Pulang disambut Mbah Kung yang lagi ngukir kursi. Kegiatan faforit Mbah kung.
"Mbah, kata Mama papa pulang nanti saat aku pentas," pamerku pada Mbah Kung. Mbah kung tersenyum.
"Iya to, kalau gitu Mbah Kung gak usah ikut lihat Lala pantas. Kan udah ada Mama, papa, sama Hector juga," kata Mbah Kung.
"Kok gitu? Ya gak bisa gitu!! Mbah Kung juga harus ikut. Lala mau dilihat semua orang dirumah ini. Malah Mbah Kung gak mau lihat Lala," kataku protes. Sudah pasang wajah cemberut. Mbah Kung tertawa. Mama juga tertawa.
"Iya, iya Mbah Kung ikut. Mbah Kung akan ikut kemanapun Lala pentas. Mbah Kung suka Lala nari, Mbah akan selalu lihat Lala nari dimanapun," kata Mbah Kungku. Kata kata itu menancap dihatiku.
Mbah Kung ini sudah seperti sosok ayah bagiku. Papaku bekerja diluar kota. Aku hanya melihatnya saat akhir pekan. Itu pun saat dia pulang kesini. Apalagi Hector dan aku sama sama kecil dulu. Aku lebih dekat ke Mbah Kung dan Hector ke Mama. Seisi rumah ini tahu aku lah kesayangan Mbah Kung. Hector nomer dua. Hihihihi pokoknya aku mau begitu. Titik.
Dari Mbah Kung juga aku mengenal tarian dan segala dongen pewayangan yang mengagumkan. Dongen yang diceritakan padaku entah sejak aku usia berapa, tapi semua itu melekat kuat dalam benakku. Aku menyukainya. Aku juga sangat menyukai tarian tradisional yang juga entah umur berapa aku bisa menarikannya. Semuanya dikenalkan oleh Mbah Kungku.
***
Hai hai hai ketemu lagi dengan saya Utiyem. Penulis receh seperti koin. Hahahaha jangan lupa subscribe, vote, komen dan obrak abrik yaa....
Selamat menikmati kisah. Semoga suka dengan cerita saya. Lup yu reader.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
uutarum
oke... cb baca
2023-01-24
2