Pesona Sang Penoda
Gas Beracun
Lela, gadis bertubuh kurus kering dan berambut lurus sebahu itu berjalan mengendap-endap, ke arah semak belukar. Wajahnya kusam tapi memiliki penglihatan yang cukup tajam, saat ia melihat ular yang berjalan tak jauh dari dirinya. Ia berhenti di antara tanaman merambat yang tumbuh subur di belakang rumah kecil, yang dia gunakan untuk istirahat selama dalam masa pelarian.
Ia menempati gubuk para pekerja yang bekerja paruh waktu di kebun jeruk milik ibunya.
Tiba-tiba ular itu diam, membuat gadis itu merasa diuntungkan karena akan lebih mudah, untuk melenyapkan binatang berbahaya yang bisa saja membunuhnya.
Tak jauh dari Lela berdiri, ada seorang pria yang tengah diam di balik pohon besar dan memperhatikan gerak-geriknya. Pria itu bahkan, menahan napasnya agar tidak menarik perhatian kobra berbisa, yang dilihatnya berjalan mendekat. Namun, karena kedatangan gadis itu, perhatiannya sedikit teralihkan.
Saat itu Lexsi sedang tersesat dan tanpa sengaja menemukan sebuah rumah kecil. Ia berniat menanyakan arah jika dalam rumah itu ada penghuninya. Namun, ia justru bertemu ular kobra dan seorang gadis di hadapannya.
Pemandangan yang cukup langka, terjadi tanpa disengaja pula.
Lela seketika melemparkan batu yang cukup besar tepat di leher ular yang kini menggelepar.
“Kena kau ular! Aku sudah tahu, nasibmu ada di tanganku!” katanya lagi sambil mengeluarkan sebuha pisau kecil dari dalam tasnya. Lalu, memotong badan ular itu menjadi dua.
“Ah! Ternyata seperti ini saja kau sudah mati? Padahal kau disebut raja!" Lela berbicara pada dirinya sendiri.
Setelah selesai ia melemparkan tubuh ular yang sudah mati itu ke sembarang arah, lalu kembali memasukkan pisau ke dalam tasnya.
Namun, belum sempat ia melangkah, ada gerakan mencurigakan dari sebatang pohon besar, di belakangnya membuatnya menoleh dengan waspada.
Selama dalam pelariannya Lela hanya tinggal seorang diri, keberadaan orang lain tentu membuatnya sedikit takut. apalagi ia hanyalah seorang wanita.
“Sialan, kau!” pekik Lexsi, setelah keluar dari persembunyiannya.
Sontak saja gadis itu mengeluarkan pisaunya untuk berjaga-jaga jika ada pria jahat menganggunya.
Dia melihat seorang pria bertubuh kekar dan tinggi tengah mengibaskan ular yang sudah lemas dari tubuhnya. Rupanya, bangkai ular tadi mengenai pria itu. Lela pun mendekat sambil menahan tawa, dia meraih ular yang sudah tergeletak di tanah dan melemparkannya lebih jauh.
“Siapa kau? Apa kau takut? Kenapa kau ada di sini?" tanya Lela dengan tatapan menelisik dari ujung rambut sampai ujung kaki, tapi pria itu diam dan hanya menghunjamkan tatapannya ke arah Lela dengan begitu tajam.
Sejenak suasana hening.
“Kau tidak perlu takut, ular itu sudah lemas, jadi, tidak akan membuatmu mati!” kata Lela lagi, sambil membalikkan badan.
“Siapa kau?” tanya Lela lagi.
Pria yang memiliki nama lengkap Lexio Humaish itu balik bertanya, "Siapa, kau?"
Ia merasa begitu terhina di hadapan gadis kurus berkulit kusam di hadapannya.
“Hai! Harusnya, aku yang bertanya seperti itu padamu, karena ini adalah tanahku, daerah kekuasaanku, tahu!" tanya Lela sambil menunjuk Lexsi.
"Ini hutan, tidak ada orang yang berkuasa di sini!"
"Ada! aku buktinya." Lela berkata sambil berkacak pinggang, "Ini tanah dan gubukku, di sekitar sini ada kebun jerukku! Kau punya apa di sini?"
Sekali lagi, Lexsi merasa lebih di rendahkan lagi. Ia sebenarnya seorang tuan muda kaya raya, tapi memilih hidup sendiri, bebas tanpa peraturan kedua orang tuanya. Dari kecil ia terbiasa dimanja dan selalu dituruti kemauannya.
Ah! Gara-gara dia terpisah dari rombongannya berburu, hingga berada di tempat itu. Nasibnya benar-benar sial sudah bertemu seorang wanita seperti Lela.
“Apa kau bilang? Kau, kurang ajar ... apa kau tahu siapa aku?” tanya Lexi, justru membuat Lela tertawa.
“Memangnya siapa dirimu? Dengar ...! Siapa pun dirimu di sini, tidak penting karena yang penting di sini, siapa pemilik tanah sebenarnya!”
“Tidak ada hubungannya denganku!”
“Terserah! Kau juga tidak penting bagiku!”
Setelah berkata begitu, Lela melirik saja pada Lexsi yang melangkah menjauh, mendahuluinya, dia ingin tahu ke mana arahnya. Demi melihat Lexsi yang berjalan semakin ke arah barat, gadis itu mengikutinya.
“Hai! Orang Asing! Sebenarnya kamu mau ke mana? Jangan ke arah itu kalau kau masih sayang nyawa!"
Ucapan Lela spontan membuat Lexsi menoleh sambil mendengus kesal. Dia tampak bodoh di hadapan wanita yang baginya sangat menyebalkan itu.
“Kalau kau memang mau bunuh diri, silakan terus jalan ke sana, ada sesuatu yang berbahaya kalau kau percaya padaku, tapi kalau tidak, kau boleh mencobanya!"” kata Lela.
“Apa itu?” Lexsi tampak mulai tertarik, dia membalikkan badan sambil melangkahkan kaki mendekati Lela.
“Masyarakat di sini, menamai tempat itu Umbut, itu—sumur berisi gas beracun yang kalau kau menghirup udara di sekitarnya maka kau bisa dipastikan mati hanya dalam dua jam!”
Lexsi mengerutkan alisnya, tetap tidak percaya, sebab selama ini, dialah yang harus dipercaya, dan tidak perlu percaya pada orang lain. Lalu, dia mengabaikan Lela dan berjalan, hingga beberapa langkah kemudian, dia mencium sesuatu yang aneh.
Lexsi segera menahan napas dan berbalik. Aroma gas itu sangat menyengat, seketika membuatnya pusing.
“Tutup hidungmu dengan ini!” kata Lela, tiba-tiba sudah berada di samping Lexsi dan menutup hidung pria itu dengan kain syal yang sengaja dibawanya.
Dua manusia berlawanan jenis itu kemudian tergeletak lemas di tanah, setelah berlari cukup jauh dari kawasan sumur gas beracun.
“Apa kau sekarang percaya padaku?” Lela bertanya sambil mengatur nafas yang terengah-engah dia menoleh pada Lexi yang tergeletak di sampingnya.
Lexsi tak merespon apa pun, hingga beberapa saat kemudian dia menoleh dan mencebikkan bibirnya.
“Dulu pernah ada usaha pengeboran minyak di desa ini, tapi gagal karena ternyata ada gas beracun keluar setelah tanah dibor dan di gali oleh perusahaan itu.” Lela bercerita tanpa diminta, membuat Lexsi berpikir logis, kalau dia pun pernah mendengar kisah yang sama, beberapa tahun lalu. Bahkan, setelah pengeboran yang gagal itu, muncul gas beracun lain di beberapa lokasi di sekitarnya, membuat desa itu akhirnya ditinggalkan penduduknya.
“Terserah kalau kau mau percaya atau tidak dan mau tetap di sini atau tidak! Lihat sebentar lagi hujan!”
Apakah aku harus percaya pada gadis itu karena apa yang dikatakannya benar? Kata hati Lexsi.
Lela berdiri dari posisi terbaring, lalu, membersihkan tanah yang melekat dia pakaiannya dengan menepuk-nepukkan tangan. Gadis itu meninggalkan Lexsi yang sama sekali tidak banyak merespon ucapannya.
Namun, Lexsi mengikuti Lela yang melangkah kembali ke rumah kecil itu. Benar saja, tak lama setelah mereka berada di dalam, hujan pun turun dengan lebatnya.
“Kau tinggal di sini?” tanya Lexsi penasaran, dia melihat isi rumah itu lengkap, walaupun terbatas, semua kebutuhan dasar untuk hidup tersedia di sana.
Lela terus menyalakan perapian agar hangat dan dia merebus air di atasnya, untuk menyeduh dua gelas coklat.
“Tidak,” kata Lela sambil menyodorkan secangkir coklat hangat itu pada Lexsi, “ini rumah pelarianku dari penjara!”
“Apa?” kata Lexsi dengan ekspresi wajah heran, ia hampir saja mempercayai gadis ini, tapi ia menolak percaya kalau ternyata Lela baru saja keluar dari penjara.
Lela terbahak melihatnya lalu, dia duduk di hadapan Lexsi dan meneguk coklat hangat dengan santai.
“Apa kau sekarang percaya padaku?” tanya Lela sambil menaikturunkan alisnya. Dia menyimpulkan jika Lexi adalah orang yang sangat mahal kepercayaannya.
“Hai, Lex! Kau tidak perlu takut, aku bukan binatang buas yang bisa menggigit! Aerrggk!” Lela menirukan suara harimau.
“Dari mana kau tahu namaku?” kata Lexsi datar.
“Aku hanya menebak, kulihat ada inisial LX di senapan anginmu! Aku pikir namamu Luxi atau Alex atau Lux, ya, seperti itulah!” Lela berkata sambil mengangkat bahunya.
Lexsi memang membawa senapan angin yang menyilang di punggungnya, pada gagang senapan itu memang ada inisial dirinya. Berburu adalah kesuksesannya dan tadi, dia melihat ada seekor burung yang terbang ke arah di mana dirinya melihat ular. Lalu, dia memilih diam, karena sudah tahu bagaimana bersikap, jika berhadapan dengan binatang buas seperti ular. Diam itu lebih baik agar binatang mengira dirinya bukan sesuatu yang berbahaya.
Namun, Lela datang dan membunuh ular itu dengan cepat, mau tidak mau dia harus mengakui kalau gadis itu telah memudahkan urusannya secara tidak langsung karena harus segera mencari teman-temannya sebelum hari mulai gelap.
“Namaku Lela,” kata Lela sambil mengulurkan tangannya, “Lela Leana, panggil saja Lela!”
Dia berinisiatif memperkenalkan dirinya sendiri karena akan lebih baik saling mengenal, apalagi mereka sekarang terjebak hujan entah sampai kapan.
Lexsi menyambut uluran tangan gadis itu sambil berpikir tentang namanya yang sepertinya tidak asing.
Benarkah dia seorang residivis? Batinnya.
❤️❤️❤️
Terima kasih sudah membaca cerita baruku, yang akan aku buat pendek juga seperti novel sebelumnya, jangan lupa like! 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Zahira Husna
Lela keren banget lah... walaupun agak serem sih😅
2023-01-23
1
Zahira Husna
idih..dialah yang harus dipercaya? kok tiba-tiba saya sebel ya sama kamu...
2023-01-23
1
Zahira Husna
eh...saya liat ular saja sudah gemetaran..berani sekali ya dia👏👏
2023-01-23
1