Keesokan harinya, Ogika terbangun dari tidurnya. Panasnya sinar matahari terik yang menyinari hamparan luas kebun nanas tersebut membuat kulit kotor Ogika sedikit terbakar. Dengan sampah kering dan dedaunan kering yang menempel pada setiap kulitnya membuat sinar matahari itu sangat mudah untuk membuatnya terbakar.
“ssshhh..” Ogika mengusap kasar kulitnya yang terbakar. “ahhh…” Ogika menghela nafas panjangnya. Ia bersyukur kulitnya tidak terbakar, hanya sampah dedaunan kering yang menempel pada kulit tangannya itu yang terlihat gosong.
Gadis kumuh nan jelek itu berdiri. Dia baru saja menyadari bahwa tengah berada di tengah-tengah hamparan kebun nanas yang begitu luas. Melihat hamparan kebun nanas yang beratus hektar itu membuat Ogika seakan berada di tengah laut, yah lautan kebun nanas.
“ternyata aku tertidur di sini semalam.” gumam dari gadis kumuh tersebut.
Korokoro\~
Bunyi lapar dari perutnya memberikan aba-aba lagi agar segera di isi. “di mana lagi aku bisa mengisi perut yang lapar ini.” Ogika terduduk dan memeluk lututnya. Wajah dari gadis kumuh itu tampak murung dan penuh kesengsaraan.
“oh ya, suara itu, seingatku semalam aku mendengar suara seseorang.” Sontak Ogika berdiri dan melihat ke sekelilingnya, ia mencari sosok manusia yang berbicara kepadanya semalam walaupun dirinya sendiri tidak memahami bahasa yang digunakan oleh orang tersebut.
Setelah melihat dan menyadari lagi bahwa tidak ada siapapun di sana selain dirinya, Ogika pun kembali terduduk dan memeluk lututnya. Kali ini wajahnya terlihat jengkel dengan bibir yang mengerucut.
Untuk beberapa saat, Ogika terdiam dan termenung. Tetapi perutnya yang keroncongan tak dapat ia abaikan hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari makanan yang bisa di makan. Di tempat itu, di kebun nanas itu, Ogika bukan tidak menemukan buah nanas masak yang terlihat sangat manis dan menggiurkan. Walaupun Ogika anak yang terlahir tanpa kedua orang tua, ia cukup jujur dalam setiap langkahnya.
Ogika tidak akan pernah mencuri barang atau memakan sesuatu jika makanan itu milik orang lain. Kecuali, jika memang barang atau makanan yang ia temukan memang sudah dibuang oleh pemiliknya yang artinya barang atau makanan itu telah bebas dan bisa ia ambil.
Melihat buah nanas segar yang berwarna kuning tentu semakin membuat perutnya meronta-ronta serta mulutnya yang mengeluarkan air liur karena mengences. Tetapi tetap saja Ogika tidak akan pernah memakan buah nanas itu tanpa persetujuan atau pemberian dari pemiliknya.
Ogika berjalan meninggalkan hamparan kebun nanas itu. Karena terlalu luas, ia cukup terengah-engah dan kepanasan untuk bisa keluar dari kebun nanas tersebut. Sesampainya di pinggir jalan, Ogika menghampiri seorang pria paruh baya yang sedang berdiri di samping motornya dengan memegang ponsel di tangannya.
“permisi pak, bolehkan saya meminta uang bapak. Berapapun pemberian bapak akan saya terima.” Ogika menadahkan tangannya kepada pria itu. “ishhh bau sekali gadis ini, sudah bau jelek lagi.” gumam pria paruh baya itu.
Jika saja pria paruh baya itu orang yang jahat yang dipenuhi dengan nafsu, maka bisa jadi Ogika bisa menjadi korban pelampiasannya. Namun, siapa yang akan mau dan tahan dengan gadis jelek dan bau itu. Terlebih lagi, dirinya dikenal dengan nama gadis kumuh pembawa sial.
Dari semua predikat jelek yang melekat padanya, ternyata tanpa ia sadari, Ogika mendapatkan satu keuntungan yaitu kesuciannya tetap terjaga. Gadis mana yang bisa selamat melanglang buana sendirian pagi dan malam tanpa disentuh orang jahat. Orang gila saja masih ada yang tega untuk menghamilinya. Tetapi tidak dengan Ogika, karena siapapun itu, mereka akan takut mendekatinya karena dirinya terkenal dengan gadis yang dapat memberikan kesialan bagi siapapun yang mendekatinya.
Pria paruh baya itu, menutup hidungnya karena bau yang menyengat yang menghampiri kedua lobang hidungnya. Ia mengambil dua uang logam senilai lima ratus rupiah dan melemparkannya ke jalan raya itu.
“itu untukmu, cepat ambil!” kata pria paruh baya tersebut. Kemudian pria itu dengan cepat menghidupkan mesin motornya dan langsung pergi meninggalkan Ogika dengan kecepatan penuh.
“gila! Bau sekali gembel itu.” umpat pria itu sesaat setelah pergi meninggalkan Ogika. Gadis kumuh itu memungut koin itu satu persatu. Koin itu harus ia ambil dengan bersusah payah karena satu dari koin itu menggelinding jatuh ke dalam got.
Brukk\~
Seseorang telah menabrak Ogika saat ia menungging untuk menggapai koin yang jatuh pada got yang berada dipinggir jalan tersebut.
“Arghhh…” teriak Ogika dan orang yang menabraknya itu bersamaan. Orang yang menabraknya itu masih sangat muda. Dengan seragam putih abu-abu yang ia kenakan, remaja laki-laki itu langsung mendekati Ogika untuk memarahinya.
“hey gadis bodoh, apa yang kau lakukan dipinggir jalan ini. Pergi sana! Disini bukan tempatmu.” Remaja itu menendang Ogika sekuat tenaga berkali-kali untuk melampiaskan kemarahannya.
“Arghhh…” Ogika hanya bisa menangis sambil meraung-raung. “sial! Ternyata dia Ogika.” Setelah menyadari bahwa gadis kumuh yang ia tabrak itu adalah Ogika, lekas remaja itu berlari terpontang panting ketakutan. Remaja itu takut karena tak mau mendapatkan kesialan setelah sepatunya menyentuh tubuh Ogika.
Sangking takutnya terkena efek sial dari Ogika, remaja itu bahkan membuang sepatunya meninggalkan motornya yang tergeletak begitu saja dipinggir jalan.
Sambil menangis Ogika berdiri, ia meninggalkan tempat itu dengan uang logam senilai lima ratus rupiah.
“di mana aku bisa makan dengan uang yang nilainya sekecil ini?” Ogika mengusap air mata yang membasahi pipinya dan mencoba untuk mencari makan demi kelangsungan hidupnya. Karena jika tidak, gadis kumuh itu bisa mati kelaparan.
Ogika terus berjalan menyusuri jalan raya itu. Sesekali ia mendapatkan semburan air ludah oleh warga yang melewatinya. Karena terbiasa, Ogika pun tak menghiraukannya, dibenaknya hanya ada kata makanan hingga dia hanya bisa focus untuk mencari sesuap nasi demi kelangsungan hidupnya.
“ahhh…” Ogika menarik nafas perlahan dan mengeluarkannya dengan lemah. Ia telah berjalan selama dua jam tanpa berisitirahat. Ia menemukan sebuah jembatan yang dialiri oleh sungai desa tersebut. Gadis kumuh itu berhenti untuk istirahat dan duduk memandangi aliran sungai yang tampak sangat tenang itu.
“andai aku bisa terlahir kembali ke dunia ini, maka aku akan memilih untuk tidak terlahir kembali.” Ucap Ogika kepada dirinya sendiri. Ia mencoba turun ke sungai tersebut dan mengambil air di telapak tangannya. Gadis kumuh itu meminum air sungai yang keruh itu dan setelah merasa puas minum ia membasuh kedua lututnya yang luka akibat tertabrak oleh remaja laki-laki tadi.
“eshhh…” rintihnya saat merasakan lututnya yang sakit. Kemudian Ogika melanjutkan perjalanannya untuk mencari makanan.
Matahari telah terbenam sempurna. Uang logam yang bernilai lima ratus rupiah tersebut masih berada ditangannya. Selama seharian berjalan ke sana ke mari tidak ada satupun dari warga yang mau memberinya makan apalagi menolongnya.
Ogika kembali ke hamparan kebun nanas nan luas itu. baginya, di sana lah ia dapat tertidur tanpa ada yang melihatnya. Karena jika ada satu saja warga yang melihatnya tentu ia akan di usir dengan cercaan dan hinaan yang sangat menyakiti perasaan Ogika. Belum lagi jika ada yang sampai tega memukul atau meludahinya. Sungguh hidupnya tak pernah merasakan kesenangan apalagi kebahagiaan.
Ogika terbaring di antara jalan yang sering dilewati para petani untuk mengurusi kebunnya. Lebar dari jalan itu hanya sesiku, karena memang itu bukanlah jalan, melainkan jarak antara baris pohon nanas dengan baris pohon nanas berikutnya.
Badannya sungguh terasa lemas tak berdaya, bahkan nafasnya mulai berhenti sesekali, ia hampir mati kelaparan. Ketika terbaring dan melebarkan tangan kanannya, ia mendapati sebuah sensasi dingin pada kulit tangannya. Gegas Ogika terbangun duduk dan mencari barang yang menyentuh kulitnya itu.
“baiklah.” Kata Ogika yang berkata kepada dirinya sendiri. Ia menemukan sebuah parang yang mengkilap ketika terkena sinar rembulan. Parang itu terlihat sangat tajam karena parang itu adalah alat dari pemilik kebun untuk melakukan aktifitas pertaniannya.
Ogika meletakkan parang itu tepat di lehernya. Ia berencana untuk memotong lehernya sendiri. “begini lebih baik, tidak ada gunanya aku hidup di dunia ini.” Ogika mulai menggores lehernya sampai berdarah dan meneteskan air mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Andi Munawwirah
Untuk sekarang tidak ada, hidupnya sangat susah oleh karena dia ingin bunuh diri. Tapi, nantikan kejutan lainnya di bab berikutnya!
2022-12-24
1
armychim
tidak adakah rumah untuk berteduh setidaknya gubuk Tua...anak kecil berjalan sendrian tanpa tujuan sedih sekali drmu ogika dimana keluarganya
2022-12-24
1