Jam menunjukan pukul tujuh pagi, namun belum ada satu wargapun yang melayat atau ber bela sungkawa.
Aku dan ibu saling tatap. melihat kondisi jenazah Ayah yang sangat memprihatinkan.
Apakah mereka memang tidak berniat datang. walau sekedar membantu mengurus pemakaman Ayah ku?
Se'perih inikah rasanya menjadi orang susah? sampai saat kematian melanda pun orang orang enggan membantu?
Karna hari semakin siang, dan masih tidak ada satupun warga yang datang. aku memutuskan untuk memakamkan Ayah di belakang rumah. karna tidak memungkinkan untuk mengebumikan Ayah di pemakaman umum,
Jika mereka mendadak tuli setelah mengetahui kematian Ayah, apa mereka akan mudah mengijinkan Ayah di kebumikan di pemakaman umum yang memiliki biaya sewa yang tidak sedikit.
Dengan hati yang terasa di cambuk, aku terus menggali pekarangan belakang rumah. yang ada beberapa tanaman singkong yang sengaja di tanam Ayah.
Aku terus menggali menggunakan cangkul milik Ayah yang sudah mulai tumpul.
keringat membasahi tubuh, rasa sakit karna kepergian Ayah, kebencian pada pembunuh Ayah, dan kecewa pada warga yang seolah mendadak tuli dan buta. semua rasa bercampur jadi satu.
Tak terasa liang lahat untuk Ayah pun telah siap. dengan pakaian yang penuh dengan tanah basah, karna semalaman hujan turun. membuat tanah yang ku gali begitu lengket.
"Bu...." ucapku kala ibu masih setia memeluk tubuh Ayah yang sudah tidak bernyawa.
"Bu, Sudah ayo kita makamkan Ayah, kasihan jika terus menunda nya" ucapku berusaha tabah. walau sejujurnya hati ku sakit. sakit sekali.
Ku hampiri Ibu dan jenazah Ayah. yang hanya terbungkus sebuah kain usang.
Ku lihat ke arah pintu depan. masih tidak ada orang yang datang.
"Ayo Bu.." Ucapku mengajak ibu membawa Ayah.
Aku mengangkat bagian kaki Ayah, dan ibu mengangkat bagian kepala Ayah, tubuh Ayah yang memang sangat kurus membuat kami tidak kerepotan Kala menggotong tubuhnya.
Bagaimana tidak kurus, jika kami jarang sekali makan nasi.
Jikapun ada keberuntungan. pagi kita bisa makan nasi, dan malam hanya minum air putih untuk mengganjal perut.
Tubuh Ayah pun sudah berada di dalam Liang lahat, ibu menangis terisak.
sejujurnya aku pun ingin sekali berteriak. tak tega rasanya melihat kondisi Ayah, dia di masukan ke dalam sebuah Liang yang sangat sempit, gelap dan pengap.
Ku lihat ibu menangis tersedu sambil terus memegang Ayah dengan duduk di antara tumpukan tanah.
Tak terasa Air mataku pun mengalir.
Tak kuasa aku melihat semua kekejaman ini.
apakah nyawa dan kematian orang susah seperti kami sangat tidak penting?
Jika Uang memang yang mengukur segalanya? lantas mengapa Tuhan tidak mau memberi kami sedikit rejeki untuk bisa di lihat oleh sebagian orang disini?
Aku pun membujuk ibu. dan mengubur Ayah secara perlahan. Kami membacakan doa terakhir untuk Ayah..
Ibu masih setia duduk di samping makam Ayah. Ku tahu Ibu pasti lebih terpukul dari pada aku?
Ibu telah melalui hidup bersama Ayah bahkan sampai Maut yang memisahkan mereka berdua. tak pernah ku dengar pertengkaran di antara mereka. mereka selalu bisa menguatkan satu sama lain.
jika Ayah mulai rapuh. ibu akan memberikan sebuah senyuman dan semangat untuk hari esok. dan jika ibu mulai rapuh. ayah akan memberikan pundak nya untuk tempat ibu bersandar.
Kisah cinta di antara keduanya. membuat kami masih bisa bertahan dari kelaparan yang melanda.
Aku telah berganti pakaian. ku rapihkan dan ku bersihkan karpet yang terdapat noda darah Ayah, .
"Bu... " ucapku menghampiri ibu, yang masih duduk dan memeluk sebuah kayu sebesar pergelangan tangan sebagai pengganti batu nisan.
"Bu, sudah ayo kita masuk. ibu belum makan dari semalam? ibu makan dulu ya walau sedikit jangan tangisi Ayah terus Bu, kasihan biarkan Ayah tenang" ucapku memegang pundak ibu.
"Kamu makan duluan saja Nak, ibu masih mau disini. ibu masih mau menemani Ayah," jawab ibu sambil terus memeluk kayu.
"Lea tahu ibu sangat bersedih. Lea pun sama Ayah adalah penopang bagi kita berdua. Ayah adalah kekuatan untuk kita. tapi jika kita terus begini? apa Ayah akan bahagia di alam sana? Sekarang Ayah sudah tidak kelaparan lagi Bu, dan tidak lagi cape karna harus bekerja seharian sambil menahan perut yang kosong" ucapku berusaha meyakinkan.
Ibu melihat ke arahku sejenak. dan dia kembali memeluk nisan Ayah.
"Nak, kamu makan duluan nanti ibu menyusul. ibu masih betah disini" jawab nya
Aku pun tak bisa terlalu memaksakan ibu. Ku tahu saat ini dia tengah hancur. aku harus menguatkan ibu dan tetap berusaha tegar. agar kesedihan ibu tidak semakin bertambah.
************
Tak terasa Ayah telah meninggalkan ku dan ibu selama Tujuh hari.
Ibu masih bersedih. dia tidak banyak bicara bahkan sering kali ku dapati ibu duduk dan memeluk nisan Ayah.
Malam itu....
Langit begitu gelap. pertanda ia akan membasahi bumi dengan Air yang ia tampung.
Aku yang baru pulang dari pasar karna bekerja ekstra..
Ya, semenjak meninggalnya Ayah, ibu tidak lagi berjualan malah dia sama sekali tidak keluar rumah. dia lebih sering berada di makan Ayah..
Saat itu aku masih memaklumi. karna ibu pasti sangat bersedih. dan aku harus bekerja keras untuk menutupi kebutuhan kami berdua. jika hanya mengandalkan berjualan plastik tentulah tidak cukup.
aku pun memutuskan untuk menjadi kuli angkat barang di pasar.
pelanggan ku adalah para ibu ibu yang belanjaan nya banyak. dan dalam sehari aku bisa membawa uang 10 sampai 20 ribu dalam sehari.
karna aku memang tidak menargetkan biaya. biarlah mereka yang memberikan upah sesuai dengan keikhlasan mereka.
Malam itu tak ku dapati ibu berada di rumah. ku cari cari sampai ke dapur namun tidak ku temukan. kemana ibu pergi dalam keadaan gerimis begini?
Hingga mataku tertuju pada pintu belakang terbuka. lekas ku langkahkan kaki berjalan ke arah belakang.
dan ku dapati ibu tengah duduk di samping makam Ayah sambil berusaha menutup kuburan Ayah dengan sebuah kain yang biasa di pakai ayah tidur.
Ya Allah, cobaan apalagi ini? aku tidak bisa merasakan kesakitan yang di rasakan oleh ibuku? sesakit apa sebenarnya ibu.
"Bu..." ucapku kala telah berdiri di samping nya.
"Iya Nak," jawabnya tanpa menoleh yang terus berusaha menutup gundukan tanah yang mengubur Ayah. karna angin berulang kali meniup kain yang di pasangkan Ibu.
"Ibu sedang apa?" tanyaku karna tak tahu apa yang ibu lakukan.
"Nak, sini bantu ibu sebentar lagi hujan deras. kasihan Ayah pasti kedinginan. Ayo bantu ibu untuk menyelimuti Ayah mu nak" jawab ibu. yang seketika menjadi cambuk untuk diriku.
Tanpa membantah perintah ibu. aku membantu memasangkan sebuah kain yang biasa di pakai Ayah saat tidur. ku tancapkan tiap sisinya menggunakan ranting kayu.
Kain ini masih tercium aroma Ayah. tak terasa Air mataku mengalir. untung nya malam ini tengah mendung. jadi ibu pasti tidak akan melihat air mataku.
"Bu, Ayah sudah kita selimuti. sekarang kita masuk yu. ibu juga harus ganti pakaian karna sudah basah terkena air hujan." ucapku seraya mengajak ibu masuk.
Awalnya ibu masih menolak. dia khawatir jika kain yang menutupi makam ayah terbang karna angin memang lumayan kencang.
Setelah ibu dan aku selesai berganti pakaian. Aku membawa nasi pagi yang sebelumnya ku hangatkan.
"Bu, ibu makan dulu ya. Lea suapi. Lea ada bawa gorengan kesukaan ibu" ucapku sambil menyendok nasi ke piring.
"Kamu juga makan Nak, biar ibu makan sendiri saja" jawabnya seraya mengambil nasi dan melahapnya.
(Ya Allah, jika memang tidak ada sedikit celah bagi kami untuk merasakan Nikmatnya dunia. maka tolonglah berikan kami sebuah kekuatan untuk menerima semua pahitnya kehidupan..)
Tak kuasa aku melihat kondisi ibu sekarang, dia semakin kurus semenjak di tinggal Ayah.
Ia lebih banyak menghabiskan waktu di makam Ayah...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Niswah
nyesek bangeet,
2023-08-29
0
Mita Jannah
sedih bngt Thor ceritanya 😭😭
2023-05-05
2