Ibu, Kenapa Aku Berbeda?
"Luna!" teriakku kepada putri kecilku yang berumur 5 tahun.
Luna adalah putri pertama ku, sejak lahir Luna memiliki cacat pada telinga sebelah kanannya. Itulah yang membuat pendengaran Luna terganggu. Semua itu karena kesalahanku, saat itu aku yang sedang mengandung Luna berusaha untuk menggugurkannya menggunakan obat-obatan, jamu bahkan memijatnya. Semua itu kulakukan karena aku depresi akan sikap kasar suamiku.
"Luna!" aku kembali berteriak sambil berjalan ke arah Luna yang sedang bermain di halaman depan.
"Eh Ibu," ucap Luna polos sambil tersenyum ke arahku yang sedang berdiri di hadapannya.
“Mainnya sudah dulu ya Nak, sekarang Luna tidur siang dulu," perintahku sambil duduk di hadapan Luna.
"Apa Bu," tanya Luna sambil mendekatkan telinganya.
" Sekarang waktunya tidur siang, mainnya dilanjutkan nanti sore ya," jawabku sambil berteriak.
"Iya Bu," jawab Luna sambil tersenyum.
Saat Luna tertidur pulas di kamarnya aku diam-diam masuk dan duduk di sampingnya. Siang itu kupandangi wajah polos putriku yang masih berusia 5 tahun ini. Kini hanya penyesalan yang selalu aku rasakan setiap melihat wajah putri kecilku.
"Maafkan Ibu Nak, seandainya dulu Ibu tidak berusaha untuk menggugurkan mu ini semua tidak akan terjadi," batinku sambil meneteskan air mata.
Namaku Rani, aku adalah Ibu sekaligus ayah untuk Luna putri semata wayangku. 5 tahun yang lalu tepat saat aku melahirkan Luna suamiku meninggalkanku entah kemana. Bahkan sampai saat ini hubungan kami seolah menggantung tanpa kejelasan.
Sekilas aku mengingat kejadian 5 tahun lalu saat itu aku baru saja melahirkan Luna. Mas Niko yang harusnya bisa menjadi ayah dan suami yang baik untuk kami justru meninggalkan kami tanpa alasan yang jelas. Hatiku saat itu benar-benar hancur, kelahiran seorang anak yang seharusnya menjadi kebahagiaan justru menjadi sebuah duka.
"Kamu mau kemana Mas," tanyaku kepada Mas Niko yang sedang mengemasi pakaiannya.
"Aku mau pergi dari sini, aku capek hidup dengan perempuan miskin dan pembawa sial sepertimu," jawab Niko sambil terus memasukkan pakaiannya ke dalam tas koper.
"Lalu bagaimana dengan aku dan Luna Mas," tanyaku penasaran.
"Aku tidak peduli, kamu dan anak cacat itu hanya bisa membuat ku malu saja!" bentak Mas Niko sambil menoleh ke arahku.
"Aku tahu ini semua salahku, tapi aku mohon jangan tinggalkan kami Mas," jawabku sambil memegang tangan suamiku yang berjalan ke arah pintu.
"Ah!" teriak suamiku sambil menarik paksa tangannya hingga aku terjatuh di lantai.
Sejak malam itu aku tidak pernah melihat ataupun mendengar kabar dari Mas Niko. Aku yang memang seorang anak yatim piatu berusaha merawat merawat Luna seorang diri. Semua aku lakukan demi menyambung hidup kami berdua, Luna yang saat itu masih berusia satu bulan sudah harus aku bawa bekerja sebagai seorang buruh cuci dari rumah ke rumah.
"Ibu menangis," tanya Luna sambil mengusap air mataku hingga mengejutkanku.
"Tidak Nak," jawab ku sambil menggelengkan kepala agar Luna mengerti walau tidak mendengar.
"Ibu aku lapar," ucap Luna sambil memegangi perutnya.
"Kamu mandi dulu ya," jawabku sambil menggandeng tangannya menuju ke kamar mandi.
Setelah selesai memandikan Luna akupun langsung berjalan ke dapur. Luna yang saat itu sudah rapi berjalan keluar rumah untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Tidak berapa lama aku pun menghampirinya sambil membawa sepiring nasi dan telur dadar untuk Luna.
"Luna!" teriakku sambil duduk di lantai yang tidak jauh dari Luna.
“Luna suka telur dadar ya, hampir tiap hari makannya telur dadar terus,” ucap salah satu ibu-ibu yang ada disitu.
“Iya Bu, alhamdulillah Luna tidak pernah pilih-pilih makanan selama ini," jawabku sambil menyuapi Luna.
Gajiku sebagai seorang tukang cuci rumahan memang tidak besar, jadi hanya cukup untuk membeli makanan untuk hari itu dan besok. Untungnya Luna tidak pernah mengeluh ataupun protes dengan apa yang aku berikan setiap harinya. Buat kami yang penting bisa makan saja itu sudah cukup.
“Eh Mbak Rani, kabar Mas Niko gimana sudah 5 tahun pergi tapi kok gak pulang-pulang, apa nggak kangen sama Luna," tiba-tiba seorang wanita menanyakan Mas Niko hingga membuatku terkejut.
“Luna kita makan di dalam ya Nak, tadi Ibu lupa belum matikan kompor, kami permisi dulu Bu,” jawabku sambil menggandeng Luna masuk ke dalam rumah.
Aku menghindari pertanyaan mereka bukan karena aku sakit hati ataupun tersinggung kepada mereka. Namun, aku hanya tidak mau Luna bertanya tentang ayahnya. Karena pertanyaan itu yang akan membuatku terluka nantinya.
"Ibu kenapa kita masuk ke dalam rumah, Luna masih ingin main sama teman-teman," tanya Luna yang ternyata dia tidak mendengar ucapanku tadi.
"Luna main di dalam rumah sama Ibu saja ya Nak," jawabku sambil mendekat ke telinganya.
Luna hanya mengangguk tanda setuju, aku bersyukur Luna tidak mendengar ucapan ibu-ibu tadi. Di kampung itu aku termasuk orang lama, karena sejak menikah dengan Mas Niko aku memutuskan untuk menempati rumah peninggalan almarhum orang tuaku. Jadi disaat Mas Niko tidak memberi nafkah pun aku tidak terlalu bingung dengan sewa rumah.
***
Hingga suatu pagi setelah Luna selesai mandi dan akupun mulai bersiap berangkat ke rumah salah satu tetangga untuk bekerja. Luna tiba-tiba menolak untuk ikut dengan alasan hari ini dia ingin bermain dengan salah satu temannya yang ada di samping rumah. Karena hari itu pekerjaanku tidak terlalu banyak dan jaraknya juga tidak terlalu jauh aku pun mengizinkannya dan mengantar Luna ke tetangga samping rumah sekalian menitipkannya.
"Permisi, Bu saya mau mengantar Luna sekalian mau menitipkannya disini sebentar,katanya dia mau main sama Siska dan yang lain," ucapku kepada sang pemilik rumah.
"Oh iya Mbak Rani, Luna masuk sini Nak," jawab sang pemilik rumah dengan sabar.
"Luna tidak boleh nakal ya, jangan bertengkar dan tunggu Ibu disini sampai Ibu pulang kerja," ucapku sambil sedikit berteriak di telinga Luna.
Setelah mengantar Luna aku pun langsung berangkat ke tempat kerjaku hari ini. Waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan hari ini aku pun bergegas pulang. Namun, alangkah terkejutnya aku saat sang pemilik rumah mengatakan jika Luna sudah pulang ke rumah sejak tadi.
"Luna," ucapku saat melihatnya duduk sambil menangis di depan pintu.
"Ibu!" teriak Luna sambil berlari memelukku.
"Kamu kenapa menangis disini, bukannya tadi Luna main sama teman-teman," tanyaku penasaran.
"Ibu kenapa mereka jahat kepada Luna, apa karena Luna tidak punya Ayah," tanyanya sambil menangis.
"Ya allah apa yang terjadi dengan Luna, kenapa dia bisa berpikiran seperti itu," batinku sambil memeluknya dengan erat.
"Ibu apa benar Luna adalah anak haram, anak haram itu apa sih Bu," tanya Luna sambil terus menangis di pelukanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Putri Rahmania
terima kasih kak🙏
2023-01-16
0
ARA
Aq hadir😊
So far ceritanya bagus.. Semoga Othor selalu semangat hingga finish💪😊👍
2023-01-16
0