Mentari membawa Habiba ke kamarnya, laptop dan printer semua di kamar Mentari.
Sebelum mereka masuk ke kamar, Bintang keluar dengan celana pendek dan kaos oblong berwarna merah, sangat pas di tubuhnya yang tidak terlalu putih.
Habiba segera menundukkan pandangan, dari ekor matanya Habiba melihat juz ama yang Bintang genggam.
Sudut hati Habiba menghangat, bukan karena Bintang memperjuangkan dirinya. Allah mempunyai banyak cara untuk mendekatkan seorang hamba padaNYA.
"Tar..." panggil Bintang, Mentari melirik ke arah Habiba.
"Biba, itu kamar gue. Masuk duluan saja!" Mentari meminta Habiba masuk ke kamarnya, pasti ada hal penting yang kakaknya akan bicarakan.
Habiba mengangguk, berlalu pergi ke kamar Tari memberikan ruang pada kedua saudara itu.
"Bang, kenapa? jangan bilang mau ikut masuk kamar Tari" ujar Mentari songong.
Bintang menelisik penampilan baru adiknya, "Lumayan" ucapnya seraya bersidekap dada. Mentari mengangkat alisnya seolah mempertanyakan maksud kakaknya.
Bintang menarik kedua pipi adiknya, "Nanti ikut abang anterin Habiba" bisiknya kemudian.
"Sip" sahut Tari, lalu masuk ke kamarnya.
Bintang menuju belakang rumahnya, ada kolam renang kecil yang biasa ia gunakan untuk meredam emosi saat di rumah.
Ia duduk di tepi kolam dengan merendam kedua kakinya, di tangannya ada buku hafalan serta ada earphones yang menempel di kedua telinganya.
Satu jam lebih ia duduk di sana semakin menikmati hafalannya, Mulutnya komat kamit dengan suara lirih.
"Apa boleh aku duduk disini?" Pertanyaan itu mengalihkan atensi Bintang.
Seorang gadis bercadar duduk di sampingnya dengan jarak aman dan sangat aman.
"Apa sudah selesai tugasnya?" Tanya Bintang. Habiba mengangguk, padahal Bintang tak melihat anggukannya.
"Ada Mentari yang aku minta mengawasi dari dalam, ada yang ingin aku bicarakan" Seutas senyum menghiasi wajah Bintang, ada yang berbeda dari cara bicara Habiba. Terdengar lebih akrab dan santai.
"Silakan! sebelum aku dan Mentari mengantar kamu pulang" Ujar Bintang.
"Apa sudah hafal?" Tanya Habiba, basa basi.
"Belum" lugas Bintang.
"Aku sudah membaca pesan yang mas Bintang kirim" ucap Habiba. Ia harus mengais udara sebanyak-banyaknya agar masih terus bisa melanjutkan niatnya berbicara pada Bintang.
"Aku salut dengan usaha yang mas Bintang lakukan, juga... hanya dalam waktu dua hari sudah mengerti maksud abah" ingin sekali melirik bahkan melihat wajah Bintang, tetapi ia memutuskan untuk tetap menundukkan kepalanya.
"Maaf..." lirih Bintang. Habiba tersenyum di balik cadarnya.
"Tidak perlu, Itu cara Allah untuk membuat mas Bintang lebih mendekat padaNYA" tutur lembut Habiba.
"Terimakasih..." Bintang hanya menanggapi sedikit, bukan tak ingin, hanya saja dadanya sedang membuncah karena gadis di sampingnya. Lebih tepatnya yang duduk berjarak darinya.
"Aku akan mundur, maaf..." Akhirnya Habiba benar benar mengalihkan pandangan pada Bintang, entah sejak kapan Bintang menatapnya dalam.
"Maaf Habiba, aku tidak pantas untukmu. Aku hanya terlalu mengagumi mu" Jujur Bintang.
DEG
Habiba kembali membuang pandangannya, entah ada rasa apa yang meremas dadanya, ia terdiam beberapa saat.
"Itu hak mas Bintang, dari awal aku tidak pernah meminta!" lirih Habiba, nadanya tegas meski sedikit bergetar.
"Habiba, apa ada sedikit saja harapan di hatimu untukku? aku ragu dan takut membawamu dalam hidupku" Tanya Bintang penuh keraguan.
"Ada" sahut Habiba, lalu berdiri meninggalkan Bintang.
**
Bintang bersama Mentari mengantar Habiba pulang, Bintang sudah mirip supir dari dua majikan cantiknya.
Di tengah jalan Bintang melihat masjid yang tak sengaja ia datangi, akhirnya bertemu dengan mbah Hasyim.
Bintang menepikan mobilnya memasuki kawasan masjid, "Tunggu bentar yah, Aku ada perlu" ucap Bintang lalu keluar dari mobil.
Mentari dan Habiba memperhatikan langkah tegas Bintang.
"Sudah ngomong sama abang gue?" tanya Mentari.
"katanya mau mundur" sahut Habiba.
Mentari menghadap Habiba memegang ke dua pundak "Ngadep gue!" Pinta Mentari memaksa.
"Lo kecewa?" imbuh Mentari.
"iya, sedikit. Gak muna gue Tar" Sahut Habiba.
Mentari tersenyum, Ia tahu meski Habiba selalu menutup tubuh hingga wajahnya, ia tak pernah jaim atau merasa terbaik. Ia sama seperti remaja lainnya, sama seperti wanita lainnya yang mempunyai rasa.
Habiba mampu mengeluarkan rasa itu dengan cara yang luar biasa, elegan.
"Lo tahu? bang Bintang itu badboy" ujar Mentari. Habiba mengangguk paham.
"Tapi ia tak pernah meminta ayah dan bunda melamarkan seorang gadis" imbuh Mentari, Tatapan Habiba sendu merasa istimewa.
"Biasanya seorang vokalis banyak fans Tar..." ucapan Habiba terhenti.
"Gue tahu maksud arah pembicaraan lo, tenang saja abang gur bukan player. Gue jamin!" Sergah Mentari. Habiba hanya menyandarkan tubuhnya di kursi penumpang.
"Lo jealous?" kepo Mentari naik tingkat.
"Belum sampai tahap itu, gue hanya kagum aja. Dia berani langsung nemuin abah, entah ambisi atau bukan, gue gak berani menyimpulkan" Kini giliran Mentari yang mengangguk dengan ucapan Habiba.
Habiba dan Mentari menunggu di mobil sedikit lama, tak terasa waktu makin beranjak. Suara Adzan terdengar dari masjid yang mereka singgahi.
"Kita sekalian sholat maghrib dulu aja Tar" ucapan Habiba langsung disetujui Mentari.
Setelah mengambil kunci mobil dan menguncinya, kedua gadis itu beranjak mengambil wudhu.
Bintang keluar untuk menemui Habiba dan juga Mentari, tetapi kedua gadis itu malah sudah berjalan kearahnya dengan keadaan sudah berwudhu.
Tampak Habiba yang masih membenarkan cadarnya seraya berjalan mendekat.
"Tundukkan pandangan bang" Goda Mentari, melihat Bintang yang menatap lekat Habiba.
Kedua gadis itu masuk melalui pintu perempuan, sedang Bintang masih berdiri di tempatnya.
"Nak Bintang mari masuk, Jodoh tak akan kemana" Bintang tersenyum sedikit malu, sudah mirip ketahuan ngintip di kamar mandi. Padahal hanya kepergok mbah Hasyim.
Bintang sudah duduk di barisan shaf laki laki, begitu pula dengan Mentari dan Habiba yang sudah menempatkan diri di barisan perempuan. Jangan ketuker loh ya!
"Biba kenapa cadarnya di lepas?" Tanya Mentari, Kedua perempuan itu tak lepas dari pandangan jamaah perempuan di sana.
"Itu ada kain pembatas Tar, jadi aku lepas. Disini juga perempuan semua" jelas Habiba.
"Itu laki laki Biba.." tunjuk Mentari ke arah belakang barisan mereka.
Habiba menghela nafas gemas, Tari menunjuk batita laki laki yang ikut ibunya ke masjid.
Setelah selesai sholat, seorang perempuan muda menghampiri Tari dan Habiba, yang sedang mengenakan sepatu mereka.
"Maaf mbak boleh minta tolong?" Ujar perempuan itu.
"eh iya mbak silakan, minta tolong apa ya?" tanya Mentari, kemudian melirik Habiba yang mengangguk.
"emmm" ujar perempuan itu ragu.
"mbak, kenapa?" lembut Habiba.
"boleh tidak, mbak berdua mengusap perut saya" Mentari dan Habiba saling menatap tak paham.
"saya sedang hamil muda, semoga cantik cantik seperti kalian" kedua gadis itu tersenyum, secara bergantian mengusap perut perempuan itu.
"terimakasih ya mba, semoga di mudahkan dalam segala hal" doa perempuan itu tulus.
Secara tiba tiba Habiba memeluk perempuan itu beberapa saat dan berujar "semua perempuan itu cantik, jika hanya fisik para dokter kecantikan mampu melakukannya. Tapi, jika cantik hati seperti mbak itu sulit, kami hanya mengusap, anda malah mendoakan kami".
Perempuan itu terharu dengan penuturan Habiba, Mentari pun sama takjubnya.
Dari jarak beberapa meter ada babang Bintang yang tengah memperhatikan interaksi ketiga wanita itu, tentu bersama mbah Hasyim di sampingnya.
"Pantas di perjuangkan! Ingatlah pinjam namanya untuk kamu usulkan pada sang Maha Cinta" ujar mbah Hasyim. Bintang tersenyum.
"Mintalah yang terbaik!" mbah Hasyim menepuk pelan bahu Bintang yang kokoh.
"Bintang pamit mbah, mau ngantar anak gadis orang. Assalamu'alaikum" Meraih tangan mbah Hasyim menciumnya takzim.
"Walaikumsalam" Balas mbah Hasyim, seraya memberi semangat pada Bintang ala anak muda.
Kini giliran Mentari dan Habiba yang menyaksikan Bintang berbincang dengan mbah Hasyim, meski dari dalam mobil.
Dengan langkah tegap, Bintang berjalan menuju mobil. Ia harus segera mengantar Habiba pulang, hari semakin larut.
Bintang melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia memilih diam menikmati jalanan yang sedikit macet.
Seperti jalan cintanya yang macet.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments