Hari ini Habiba berangkat diantar Fathan, aji mumpung karena kedua kakaknya tengah ada di pondok. Bisa di manfaatkan antar jemput maksudnya.
Habiba tersenyum melihat Mentari yang ternyata mengenakan hijab saat ke kampus. Mentari menghampiri Habiba "Hemm aku berangkat bawa motor Biba, gak di anter abang" Ujar Mentari dengan niat ingin menggoda.
Habiba menggandeng lengan Mentari dan beriringan masuk. 'Astaghfirullahalazim' batin Habiba, merasa tuduhan Mentari itu benar dan apakah benar seperti itu? Jangan dikira Habiba ini tidak galau ya.. terlebih umurnya yang masih belia.
"Abang belum pulang semenjak dari rumah calon kakak ipar kemarin" Habiba kini menatap Mentari. Ucapan Mentari berhasil mengalihkan atensinya.
"Penasaran? " Tanya Mentari lagi, Habiba menggeleng samar.
"Habiba..." Langkah Habiba terhenti, Mentari mencekal pergelangan tangannya.
"Tar keburu dosennya masuk dan kita gak... " Habiba kembali menghentikan ucapannya karena Mentari.
"bagus dong kalau kita gak di perbolehkan masuk. Jadi kakak ipar bisa tanya banyak hal soal bang Bintang" Mentari benar benar menggoda Habiba. Habiba memilih berjalan meninggalkan Mentari yang terus mengekor.
"Mentari makin bersinar guys dengan hijabnya"
"Semakin kesengsem gue sama Mentari"
"Gak sia sia doa gue buat dapetin Mentari"
"Gilak! cantiknya kagak ngotak Mentari"
Desas Desus dari sejumlah mahasiswa, Mentari abaikan, niatnya untuk kuliah bukan cari ayang ayangan, Boleh juga seh kalau ia tertarik. Hadeuh!!
Entah malaikat mana yang bersarang di tubuh Mentari, hingga gadis itu memilih mengenakan hijab ke kampus tanpa pikir panjang.
Habiba berhenti menunggu Mentari, kemudian menarik Mentari ke kelas.
"Tari jangan tebar pesona, tanpa lo tebar pesona tuh cowok cowok dah ileran kaya bayi" Ujar Habiba menasihati. Mentari semakin tersenyum lebar dengan perhatian Habiba.
"Iya kakak ipar, terlebih jika mereka melihat wajah asli kakak ipar" dibuat se sendu mungkin nada bicara Mentari.
"Gue geli tahu Tar, kakak ipar kakak ipar" Ketus Habiba, Habiba meremat pergelangan Mentari.
"idiiihhh gemezin dehhh calon ka... " ucapan Mentari terhenti.
"Tar... gue telen beneran ya" Sungut Habiba, Mentari bahkan berlari masuk ke kelas dengan tertawa.
Mungkin Habiba lupa jika ini di kampus, ia bahkan turut mengejar Mentari yang sudah duduk.
Namanya anak remaja ya, busana itu untuk memperindah fisik dan memancarkan hati. Tapi bukan berarti yang berhijab itu wajib kalem, pendiam. Mereka sama butuh mengekspresikan diri dengan cara mereka.
Habiba mendengar dengan seksama dosen yang mengajar, dosen wanita berhijab dengan pembawaan kalem namun tegas disaat bersamaan. 'Mengagumkan' monolog Habiba.
Habiba dan Mentari kini semakin dekat, Mereka tengah duduk di taman tengah kampus.
"Biba, gue laper" ucap Mentari, memegang perutnya.
"Laper makan Tari" ujar Habiba, Mentari mencebikkan bibirnya.
"Gue puasa Tar, mau gue temenin ke kantin?" tanya Habiba. Ia merasa heran karena Mentari malah memeluknya.
"Semoga bang Bintang lulus syarat nya deh" ucap Mentari membuat Habiba menegang.
"Jangan terlalu berharap. Jodoh akan datang dengan caranya" Habiba mencoba diplomatis, meski hatinya mulai sedikit berharap.
Jika dengan cara aljabar itu akan sulit apalagi Pythagoras.
"Gue terus berharap, karena harapan adalah senjata untuk mewujudkan keinginan" Habiba tersenyum mendengar penuturan Mentari.
**
Bintang pemuda yang sedang dikejar target itu kini berada di cafenya, menyelesaikan masalah cafe yang belum terselesaikan.
Resya sudah memberinya kabar, ada orang dalam cafe dan perusahaannya yang bermain harga.
Harga saja buat mainan apa lagi hatiku bang. Sakittt!!
Ketenangan Bintang sungguh sedang dipermainkan, ia harus mengurusi cafenya dan satu sisi ia harus menyelesaikan hafalannya.
KLUNTING
Sebuah pesan masuk kedalam ponsel Bintang.
Habintang
Utamakan istighfar jika kamu mengalami banyak hal yang harus kamu selesaikan secara bersamaan
kutunggu hafalannya
Babang Bin sudah pasti cengar cengir dengan pesan dari Habiba, nekad sekali Habiba menantang.
Bintang sudah melayang layang sampai mentok ke plafon.
Bintang
Tunggulah juga kedatanganku
Habiba tak membalas pesan balasan Bintang, hanya membacanya.
Entah mengapa gadis itu benar benar mengirimkan Bintang pesan yang melecut semanagatnya yang sempat koma sejenak.
Bintang kini berhadapan dengan kedua pegawainya, di tambah mbak Dian di ruangan Bintang.
"Baca!" Titah Bintang melemparkan salinan salinan daftar harga resmi dari DEZ suplier.
Dito dan Zaki pucat pasi melihat berkas yang mereka palsukan, terlebih aura dingin sang bos yang semakin mengintimidasi.
Mbak Dian saja sampai bergidik ngeri melihat Bintang yang sangat serius. Laki laki humoris yang kini menunjukkan sisi lainnya yang tegas.
"Andri dan Nisa sudah di pecat oleh atasan bu Resya, kemungkinan mereka akan dipidanakan" Dingin dan datar. "Angkat wajah kalian" Titahnya kemudian.
"Ma ma maaf mas Bin, kami.. kami khilaf" ujar Zaki tergagap. Ia tak ingin mengelak karena bukti sudah di depan mata. Karena yang masih jauh itu masa depan.
"Kalian telah menyia nyiakan kepercayaan gue... Merugikan gue!" Hardik Bintang emosi.
"Maaf mas Bin" Dito semakin pucat dibuatnya.
"Bereskan barang barang kalian, jauh jauh dari cafe gue!" Tegas Bintang tanpa melihat kearah wajah kedua pegawainya itu.
Bintang mengangkat tangan kala mbak Dian mendekati, ia tahu maksud mbak Dian.
Kerenlah Bintang sudah mirip cenayang.
Satu masalah terselesaikan, kini ia fokus dengan hafalannya. Namun lebih sulit ketimbang menghafal lirik lagu.
Hari semakin larut Bintang melajukan motornya membelah jalanan yang mulai sepi. "Arrrhhhhh" teriaknya dari atas motor yang melaju kencang.
Bintang menghentikan laju motornya di sebuah masjid, ada sebuah pengajian disana. Ia menunggu sampai pengajian itu selesai.
"Assalamu'alaikum" ucapnya pada pria sepuh yang tadi memberikan kajian, meraih tangan tua itu dan menciumnya takzim.
"Walaikumsalam" jawabnya lembut.
"Mari masuklah" Tutur lembutnya menuntun Bintang mengikuti langkah memasuki masjid.
"Ada masalah apa?" Tanya kiyai tersebut.
"Maaf mbah Kiyai.."
"panggil saja mbah Hasyim" Potong mbah Hasyim.
"Bagaimana cara saya menghafalkan surah Ar-Rahman dan Al Mulk dalam waktu tujuh hari?" Tanya Bintang pada akhirnya.
"Siapa namamu?" tanya mbah Hasyim.
"Bintang" mbah Hasyim mengangguk dengan senyum
"Nak Bintang sudah makan?" Bintang menggeleng.
"Sudah isya?" Bintang kembali menggeleng.
"Mau makan dulu atau isya dulu?" Tanya mbah Hasyim kemudian.
"Isya dulu mbah" jawab Bintang pasti.
Setelah isya, Bintang di ajak mbah Hasyim pulang kerumahnya, ia di suguhkan beberapa makanan sederhana.
Di luar dugaan Bintang makanan itu rasanya sangat berbeda, benar benar nikmat dan ingin nambah bila tak malu.
"Nak Bintang menghafal kedua surat itu untuk apa?" Bintang ragu untuk mengatakan kebenarannya.
"Itu syarat agar saya bisa meminang anak dari seorang Kiyai, mbah" jujur Bintang, mbah Hasyim tersenyum, dan sangat menyejukkan.
"MasyaAllah syarat yang luar biasa bagus nak Bintang" Jawab mbah Hasyim.
"Jika nak Bintang memenuhi syarat itu dan kalian tetap tidak berjodoh?" tanya mbah Hasyim. Bintang hanya bergeming.
"Nak Bintang masih sangat muda, bagus sudah memperjuangkan seorang gadis. Anak seorang kiyai lagi. Luar biasa" Entah sebuah pujian atau bukan Bintang merasa tertampar dengan ucapan mbah Hasyim.
Mbah Hasyim tersenyum hangat, Bintang merasakan ketulusan dari wajah tua itu.
"Mintalah pada pemilik gadis itu, Allah!"
DEG
Tamparan penuh wejangan, Bintang malu bahkan sangat malu. Hafalan surahnya hanya untuk seorang gadis, bukan karena Lillahita'ala.
Kepalanya semakin menunduk, bahkan hatinya goyah terombng ambing.
"Bersyukurlah karena melalui gadis itu Allah membuka sudut hati nak Bintang" masih dengan senyum tulusnya yang menjalar hangat.
"Pulanglah renungkan!" Titah mbah Hasyim lembut. Bintang mencium takzim punggung tangan sang kiyai, dan kembali pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments