Mentari sudah meninggalkan Bintang, membiarkan kakaknya menyelesaikan urusannya bersama Habiba.
Dari sudut ia berdiri, dapat terlihat jika Habiba sempat melirik keberadaannya, itu berarti Habiba melihat Bintang.
Hati Bintang mendadak panas, seorang laki laki yang semenjak tadi hanya duduk di dalam mobil, kini keluar memanggil kembali nama bidadarinya "Habiba".
Senyum tulus lelaki itu makin membuat Bintang gelisah, di tambah usapan lembut di pucuk kepala Habiba yang tertutup hijab.
Gerah, panas, emosi meliputi hatinya. Bahkan minuman penyegar dalam iklan tak mampu menyegarkan pikirannya.
Pengen nyamperin Habiba, gak mungkin. Bidadarinya sudah memasuki kampus dengan sedikit tergesa. Mungkin telat batinnya.
Nyamperin laki laki tadi yang lebih dewasa darinya, merasa enggan, entah kenapa. Mau nantang gelud takut malu, Bintang tidak jago bela diri hanya sekedar bisa bisaan. Jadi sadar diri.
Melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, ia harus menemui perwakilan suplier minuman.
" Ahhh Sial!! " Umpatan lirih Bintang, ini masih waras karena ia seorang diri dan tak ingin dianggap gila oleh mahasiswa mahasiswi di sekitar Bintang.
Cepat ia merogoh saku dan mengambil benda pipih. Mengetik sebuah pesan, setelah memastikan pesan itu terkirim ia memilih melajukan motornya ke kantor suplier minuman cafenya.
Brummm Brummm
Bintang sudah berada di parkiran, Ia merapikan penampilannya. Melepas jaket yang menutupi, tampak dewasa dengan setelan celana kain slim fit warna hitam, kemeja biru langit dan sneaker hitam. Jangan lupakan surai kecoklatan, dengan model jaman now.
Dengan langkah tegap Bintang memasuki area kantor, ia diminta untuk menemui bagian administrasi yang mengurusi harga barang.
Seorang wanita muda sopan menghampiri Bintang, tersenyum ramah.
"Selamat pagi pak" Sapa wanita itu ramah.
"Iya, selamat pagi. Saya Bintang dari ABIN cafe" Sahut Bintang seraya memperkenalkan diri.
"Saya Resya, silakan duduk!" Bintang duduk, tanpa basa basi menyodorkan surat jalan barang.
"Apa benar itu harga dari sini?" Tanya Bintang" Wanita bernama Resya dibuat terkejut dengan nada tegas Bintang.
"se.. sebentar" gugupnya.
Resya berdiri mengambil map salinan berisi daftar harga.
"Ari, tolong print out semua pembelian ABIN cafe beserta harga lengkap sesuai tanggal" Titah Resya pada seorang pegawai pria bernama Ari.
"Siap bu Resya" ujarnya segera mengerjakan tugas dari atasannya.
Resya pun menyadari ada kejanggalan dari surat jalan yang Bintang serahkan.
"Mohon tunggu sebentar pak Bintang" Tuturnya lembut, Bintang hanya mengangguk.
"Silakan diminum pak" wanita itu meletakkan sebotol minuman ringan di meja Bintang.
"Terimakasih bu Resya" jawab Bintang sopan.
Resya ini cantik dan juga cerdas, ia memeriksa surat jalan untuk ABIN cafe. Dari kertasnya saja ia sudah tahu ada perbedaan antara yang perusahaan gunakan dan yang kini di genggaman.
Sesekali Resya melirik wajah tenang Bintang, 'mempesona' batinnya. Bintang masih duduk tenang sesekali menyeruput minuman yang telah disuguhkan.
"Permisi bu... " ucap seorang laki laki bernama Ari.
"Sudah Ri?" Resya mengambil salinan yang Ari sodorkan. "Terimakasih Ri, silakan lanjutkan pekerjaan" Titah Resya, Bintang kagum dengan kesopanan Resya dan cara menghargai bawahannya.
"Bagaimana bu Resya?" Tanya Bintang, ia melihat Resya menghela nafas panjang.
"Sepertinya ada yang bermain pak" Tepat sesuai dugaan Bintang.
"Boleh di jelaskan?" Bintang tak ingin gegabah menuduh dan sejenisnya, ia harus bermain cantik agar tidak ada yang dirugikan.
'Cantik' ah bukan saat yang tepat mengingat bidadari yang menghancurkan rasa percaya dirinya.
"Pak Bintang..." Panggilan Resya tak ia tanggapi.
"Pak..." Ulang wanita itu berulang kali, akhirnya Bintang sadar dari lamunannya.
Resya gugup di tatap Bintang yang melamun, sudah Ge Er karena Bintang menatapnya lekat tapi yang di pikiran adalah wajah gadis di halte bus. HABIBA.
**
POV HABIBA
Hari ini aku diantar mas Reza, kakak pertamaku. Aku turun dari mobilnya, sebenarnya aku sudah melihat mas Bintang dari dalam mobil. Mentari bahkan sampai membalikkan wajah tampannya agar melihat ke arahku.
Ah aku tidak tahu ada rasa aneh apa dalam hatiku, kini yang aku tahu mas Bintang tangah memperhatikanku setelah Mentari masuk. Mungkin lebih tepatnya memperhatikan interaksiku bersama mas Reza.
Jujur ada kekhawatiran jika mas Bintang salah menanggapi lelaki yang sedang bersamaku.
Mas Reza turun, ia kembali memanggilku. "Belajar yang benar, sudah dikasih izin susah payah sekolah di Universitas umum. jangan kamu sia siakan" Ujar mas Reza, aku setuju dengan itu.
Aku mengangguk dengan ucapan masku itu, "Satu lagi.. " ucapnya menggantung. "Jangan lirik lirik laki laki yang belum mahram. Dari tatapan dan wajah kecewanya,, apa dia laki laki itu? " mas Reza mengatakan tanpa sedikitpun melirik apa lagi menunjuk keberadaan Bintang.
Pintar sekali masku ini dan aku hanya mengangguk patuh. 'astaghfirullah' benar ucapan mas Reza.
Aku memutuskan masuk ke kelas menyusul Mentari. Dan berusaha menyingkirkan rasa khawatir ku. Benar saja andai Bintang berani menyakiti mas Reza, aku akan menolak lamaran nya. Ah dan pikiranku terlalu jauh!
"Biba.. " Itu Mentari yang melambaikan tangannya. Aku mendekat dan tersenyum padanya. "Manis banget senyumnya" celetuk Mentari seakan melihat senyuman ku, meski memang ia benar.
Mentari memandang ku penuh selidik, aku sungguh tidak lupa bahwa gadis di depanku ini adalah adik Bintang juga kawan baikku.
Bintang, iya Bintang laki laki yang katanya sedang memperjuangkanku. Entahlah!
"Natap guenya biasa aja Tar" Ujarku gemas. "Yang tadi nganterin gue itu..." sengaja aku menggantungkan ucapanku. Melihat Mentari semakin menyipitkan matanya membuatku semakin gemas pada adik laki laki itu. Ahhh!
"Ayok... keburu dosennya masuk" lihat reaksinya yang cengo' membuatku ingin tertawa. Namun tak mungkin ku lakukan ini banyak mahasiswa.
"Biba... Siapa cowok itu?" Akhirnya pertanyaan itu muncul juga. Idiiih aku memang masih suka nakal.
"Cakep tahu... Buat gue aja ngapa, lo sama abang gue" Lah ini Mentari malah komen fisik mas Reza.
"Husssh ngawur lo... dah punya istri" Aku masih menarik tangan Mentari, tiba tiba ia menghentikan langkah kami, menatapku dalam.
"Waduh lo mau di poligami gitu?" Padahal Mentari itu cerdas, tapi sering eror gini.
"O yaaa jangan lupa nanti malam pakai hijabnya" Ujarku mengingatkan. Bukan untuk memaksa, tapi aku tinggal di area pesantren.
Mentari tersenyum "Gue gak bisa ikut, takut juga kalo abang gak di terima" ucapnya.
Jujur aku juga takut, dulu ada gus muda yang melamar saat aku masih sekolah di Madrasah Aliyah, abah menolaknya.
Ada santri abah yang cukup famous karena suara emasnya saat mengaji, abahpun menolak. Kini lelaki biasa yang mengaku badboy, aku ragu untuk menerimanya. Entah dengan abah, keputusan ada di abah dan uma.
"Gue aja gak tahu Tar..." Ujarku. Meninggalkan Mentari yang masih berdiri di tempatnya.
Ku lalui pagi ini dengan mood sedikit buruk, di tambah kantuk yang menyerang karena tak bisa tidur semalaman.
Setelah selesai kelas ku buka ponselku, ada sebuah pesan masuk. Pesan dari pagi yang ku abaikan.
+62***********
Aku akan tetap datang malam ini, meski kamu bersama laki laki lain
Aku bahkan sampai tersenyum hanya dengan pesan seperti itu.
Aku tunggu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments