Pagi ini terasa manis, entahlah padahal babang Bintang baru saja membuka mata.
Melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul o4. 05 sini hari.
"Gilak! gue baru merem dia jam kurang. Tapi mata gue seger banget. Jadi rindu Habiba" Gumam Bintang, kembali memeluk bahkan mencium gulingnya.
Ini babang Bin sudah mirip risol isi sosis, gulung gulung ketutup selimut,,, eh lebih mirip ke akang ocong yak!
Bintang memasuki kamar mandi, membersihkan diri. 'ah tumben banget gue mandi pagi buta gini' monolog Bintang.
Akhirnya selesai dan keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melingkar dipinggangnya.
Tepat setelah memakai kaosnya, Bintang mendengar suara adzan subuh berkumandang. Lekas ia mengganti kaos dengan kemeja lengan panjang. Mencari sarung yang hanya ada beberapa di dalam almarinya.
"Buset celana gue ternyata antik banyak yang gak kejait" monolog Bintang menggeleng heran dengan isi lemarinya, lalu terkekeh.
celana sobek sobek koq antik, otak Bintang ini yang antik.
Bintang sudah kembali keluar dari dalam kamar mandi, wajah basah dan lengan kemeja yang sudah tergulung. Ya, Bintang sudah selesai wudhu. Senyumnya terukir sempurna, melihat penampilan rapi di depan cermin.
Babang sudah wudhu bukannya gelar sajadah lalu melaksanakan sholat malah ngaca dulu.
Akhirnya Bintang menggelar sajadah dan melaksanakan sholat subuh setelah mendengar nasihat othor.
Dalam sholatnya hatinya berdebar hebat, jauh lebih kuat dari saat menemui abah Ahmad.
Tanpa terasa sudut matanya dengan lancar meneteskan air mata, bahkan dadanya kini semakin sesak.
Kedua tangan yang sudah terangkat, mulut yang tak mampu mengucap seuntai doapun. Hanya air mata yang seolah memanjatkan syair syair dari hatinya. Nama Habiba pun tak terlintas dalam benaknya. Hanya Bintang sang penerima doa yang tahu, mungkin saja Bintang tak tahu apa yang ia rasakan.
Bintang menemui bunda Sara di Kerajaan sang bunda. Dapur.
"Mimpiin Habiba kamu? jam segini dah nongol" Celetuk bunda Sara melihat putranya memeluknya.
"idddiiih bunda... berharap ayah ya yang meluk, bukan Bintang" Seloroh Bintang, memeluk bunda Sara dan mengecup pipi sang bunda sebelum beralih di samping bunda.
Ini Bintang pura pura gak tahu apa gimana? pasti yang diharapkan ayah Hendra lah. Supaya tampak romantis kaya drakor.
Bunda beralih dari wajan ke Bintang, memindai wajah Bintang yang tampak tenang.
"kenapa?" tanya bunda Sara pada akhirnya. Bintang malah tersenyum kalem, serasa bukan Bintang.
"Bunda masak apa?" Bukannya menjawab Bintang malah mengalihkan pertanyaan bundanya.
"Gak usah basa basi, langsung ngomong aja" sergah bunda yang sudah kembali asyik dengan masakannya.
"Bunda, Mentari hari ini ngampus gak?" Tanya Bintang masih basa basi.
"Minta di lamarkan anak orang, ngomong aja muter-muter. Gak malu sama motornya?" Ucapan bunda sukses menyentil sudut hati Bintang.
"Tegas jadi laki laki itu, kamu takut sama bunda?" Bintang menggeleng mendengar pertanyaan bunda.
"Bunda mana tahu kalo kamu geleng geleng" imbuh bunda Sara,, Bintang menghembuskan nafas panjang.
Cup
Sebuah kecupan mendarat mesra di pipi sang bunda "Buktinya bunda tahu kalo Bintang geleng geleng" Bintang berlalu meninggalkan sang bunda.
Kini Bintang sudah berada di depan kampus Mentari, setelah berdebat lama hendak mengantarkan sang adik.
Tahulah Bintang ingin menemui doi, gadis bercadar yang mencuri kewarasannya. Makin gak waras nih babang Bintang.
Jeng Jeng Jeng
Sebuah langkah yang mengalihkan dunianya, Habiba baru saja memasuki gerbang kampus.
"Bang, serius lo sama Habiba?" Akhirnya Mentari menanyakan nya karena pandangan Bintang tak lepas dari Habiba.
"Bang? awas ya macem macem sama Habiba! Tari masukin kandang macan" ujar Mentari yang sia sia. Bintang malah berlari menuju arah Habiba.
Mentari menghembuskan nafas kasar, memilih menunggu Habiba di lorong arah kelas mereka.
Habiba menghentikan langkahnya, matanya sempat beradu pandang sekian detik dengan pemuda bernama Bintang.
"Assalamu'alaikum Habintang" Sapa Bintang dengan hati membuncah.
"Walaikumsalam" Habiba kini menundukkan pandangannya.
Jangan tanyakan soal jantung ya? itu kalo jantung mereka di jejerin, beuuuh dah kaya radio rusak!!
"Bisa bicara sebentar?" Tanya Bintang. "Di cafe kemarin" lanjut Bintang karena Habiba masih bungkam.
"Saya ada kelas mas sebentar lagi" sahut Habiba jujur.
"selesai jam berapa?" Bintang lama lama kaya interview pegawai baru.
"Jam satu" Bintang tersenyum lega.
"Oke.. Tunggu mas Bintang di cafe yang kemarin ya, setelah selesai kuliah" Ujar Bintang.
Percayalah, Habiba sedang senyum senyum geli di balik cadarnya. Bintang menyebut dirinya 'mas'.
Habiba memgangguk samar "InsyaAllah".
" Semangat ya! Assalamu'alaikum " Ujar Bintang melangkah, dan hanya beberapa langkah ia kembali.
"Senyumlah, karena hanya aku yang tahu senyumanmu" Imbuh Bintang dan benar benar berlalu.
Habiba tanpa sadar mengikuti arah kaki Bintang, "walaikumsalam"...
"Astaghfirullahalazim" Habiba mengelus dadanya berkali kali, jantungnya sangat sulit untuk diatur.
'Yaa Allah ampuni hambamu ini' batinnya.
Ia memilih menuju kelasnya, membuang wajah Bintang yang membayang di pelupuk mata.
Belum sempat membuang wajah Bintang dari pikiran, kini giliran Mentari yang membuat wajah Bintang makin melekat.
"Biba,,, gue mau ngomong" Mentari menghampirinya. Tanpa ba bi bu Mentari menarik lembut pergelangannya menuju taman depan kelas.
Mentari menatap lekar Habiba, gadis di depannya tampak tenang. Mungkin dengan tersenyum dibalik cadarnya, terlihat jelas dari matanya yang menyipit.
"Tari... katanya ada yang mau diomongin?" akhirnya Habiba membuka suara.
"Gue mau tanya soal lamaran bang Bintang?" kata katanya membuat Habiba terkekeh kecil.
"Beneran abang gue ngelamar lo?" imbuh Mentari, sungguh ia tak mampu menahan rasa penasarannya.
Yang ditanya malah mengangguk ringan.
"Wow abang gue nekat.. Eh Biba, lo gak tahu abang gue badboy?" Mentari masih saja menyelidik.
Ini kayaknya Mentari pengen jadi detective, dan Habiba kasus pertamanya.
"Tari..." Tangan Habiba menggenggam tangan Mentari. "Emangnya lo mau punya kakak ipar kaya gue?" Pertanyaan yang mampu membuat Mentari membelalakkan mata.
"Gue kasian sama lo Biba. Rugi lo mau sama abang gue, enak di dia" ucap Mentari.
Bener bener ya Mentari adik lucknut, abangnya sendiri di turunin pasarannya.
"Koq gitu?" Jangan salah, pertanyaan Habiba ini penuh selidik. Sebenarnya ia masih ragu.
Mentari kembali menarik tangan Habiba, dosennya sudah tampak menuju kelas.
"Tari..."
"Hemm... abang gue minta no ponsel lo. boleh?" Tanya Mentari.
"Kasih ajah, nanti temenin gue ketemu mas Bintang di cafe pojok sana" tutur Habiba. Mentari menghentikan langkah seketika.
"Ogah gue,,, kambing nganggur" sahut Mentari. "Gak usah ketawa Biba" imbuh Mentari yang mendengar lirih ketawa temannya.
"Seenggak pengennya lo jadi ipar gue Tar.. " Goda Biba.
Mentari memutar bola matanya jengah "Gue kasihan sama lo Habiba Arwa, bukan sama bang Bintang" kesal Mentari.
**
Habiba kini menuju cafe tempatnya bertemu Bintang, benar saja Mentari tak menemaninya.
Habiba memasuki cafe, melihat sekeliling cafe. Ia tak menemukan Bintang di sana, ia memilih duduk tepat di tempat kemaren.
Gadis bercadar itu sudah duduk nyaman, mengotak atik ponselnya. Sebuah notif dari nomor yang tidak ia kenal.
+62***********
(Habintang tunggu mas sebentar, agak terlambat)
Entah mengapa Habiba malah tersenyum sesaat. Sudah sangat paham siapa yang mengirim nya pesan. 'Yaa Allah gak pantes banget hamba ini, ampuni hamba' batinnya.
Bintang berlari memasuki cafe, matanya jeli menangkap sosok istimewa di antara para pengunjung cafe.
"Habiba Maaf"...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments