POV BINTANG
Gue ngikutin Habiba masuk ke ruang kelas, gue memilih nunggu di tepi taman yang langsung menghadap ke kelas bidadari gue itu. Nah setelah seribu purnama yang memang lama sekali akhirnya kelas bidadari gue bubar juga. Bukan karena ada SATPOL PP, Tapi emang dosennya pengen b*ker. Iiih.
Eh gue lihat adek gue, si Mentari keluar dari kelas yang tadi bidadari gue masukin. Ah! Gue berharap bisa manfaatin si Mentari untuk ngorek informasi tentang Habiba. Kan secara mereka sekelas, encer juga otak gue. Ah gak nyangka! Gak dosa kan manfaatin adek sendiri?
Gue masih bergeming memperhatikan interaksi antara Mentari dan Habiba, karena saking fokusnya gue sampe gak denger ocehan Shanum. Sepupu gebleg gue, eh jangan salah gue menyayangi Shanum sama kaya gue sayang ke Mentari. Dan lupakan Shanum.
Gue menghampiri bidadari gue saat Mentari dan Shanum tengah berpelukan kaya teletubbies. Bodo amat dengan tanda tanya yang segede gaban di kepala mereka. Gue bener bener ngejar tuh cewek, seumur hidup gue baru kali ini penasaran sama perempuan. Meski gue punya beberapa cinta hantu, bukan lagi cinta monyet. Karena cinta gue itu samar samar dan gak jelas kaya makhluk goib.
"Habintang..." Teriak gue gak terlalu keras. Jantung gue sudah maraton hampir keluar lintasan. Gilak! Bidadari gue menghentikan langkahnya, asal jangan berhentiin denyut jantung gue aja. Nikah ajah belum kan apa lagi yang *** ***...
Dan entah keberanian dari mana gue lagi lagi ngejegal langkah nya, rasanya ada hangat menjalar berakar bahkan bersarang di hati. Padahal baru megang lengannya yang tertutup hijab dan baju. Gak berani bayangin kalo sampe... Lupakan!
"Habintang..." Ucapku lembut selembut tatapan matanya. Nampak ia berhenti bahkan mundur selangkah saat aku berdiri gagah di hadapannya. "Bisa kita bicara?" Tanyaku masih dengan nada yang begitu lembut, eh gak ketinggalan senyum peps*dent andalan gue, berharap bidadari gue bakal nyerahin selendangnya tanpa gue minta. Cadar maksudnya.
Sayangnya gue malah hampir pesimis, bidadari gue hanya menunduk. Apa sejelek itu sampe dia takut, atau apa saking kerennya gue sampe dia silau sama ketampanan gue? Huh ganteng pun salah.
"Ma.. Maaf" Lirihnya. Gue harap dia dag dig dug kaya gue. Bukan gue nyumpahin calon istri gue jantungan loh, eitz dah main calon istri aja nih mulut. Bener bener dak sopan. Maksud gue pengen kita serasa seirama sehati sejiwa se...
"Habiba, boleh kita bicara?" Ulangku penuh permohonan. Gilak! nih Habiba gak tau apa ini pertama kali gue mohon sama perempuan selain bunda.
"Mau bicara apa? Apa Kita ada masalah?" Buset.. Baru ngomong standar ajah gue dah girang, berasa ada yang lompat dalam dada gue. GILAK. "Mas.." Imbuhnya, makin nyungsep kaga tuh gue? 'Mas' manisnya, semanis gulali jaman SD.
"Soal perasaan gue" Ujarku langsung tembak. Tanpa gue duga ia memperhatikan wajah gue, sorot matanya tajam mengunci manik mata gue. Aduh! kagak belekan kan gue?. "SIAL" Otak gue malah travelling, ngebayangin wajah imutnya kala terkejut tadi. Ahhh!
"Maksudnya" Bingungkan gue dia malah nanyain umpatan gue yang seharusnya gue simpan rapat di ujung otak.
"Ayo kita bicara di cafe depan sana" Lancangnya jari gue nunjuk arah depan kampus, padahal di sana gak ada cafe. Ini jari emang selalu ngikut sekolah tapi koq... Ahkkhh pengen gue caplok juga.
"Silakan jalan duluan, saya ikuti dari belakang" Doorprize banget gak seh? Bidadari gue bersedia, boleh gak seh gue bawa pulang sekalian? 'Oke Bintang slow, jangaan terlalu absurd'.
"Kenapa gak... " Cukup kata kata gue yang menggantung, jangan sampai perasaan gue ikutan ngegantung. Kan gak lucu.
"Silakan duluan, atau saya tidak mau bicara sama sekali" Putusnya lembut namun tegas. Oke, tanpa menjawab gue jalan beberapa meter di depannya. Salting juga gue, mau jalan kaya peragawan apa jalan model tentara yang gagah berani. Tapi, gue kan gagah, kata nenek dulu seh. Entah sekarang.
Gue berhenti dan diapun berhenti, gue jalan dan diapun turut melangkah kan kakinya. Oke fix! dia bener bener buat gue berbunga bunga. Ya elah karena kalo berkumbang kumbang kesannya gue suka mencrok sana sini. Padahal kan padahal...
"Mau duduk di sebelah mana?" Ujarku mempersilakan dia memilih tempat ternyaman. Meskipun gue yakin tempat ternyamanya ada di singgasana hati gue... Eak eakk.
"Jendela" Ucapnya singkat dan menunjuk arah. Tanpa basa basi gue jalan ke arah tempat yang Habiba tunjuk. Ia pun turut duduk di hadapanku terhalang meja bundar.
"Silakan mas, saya harus langsung pulang" Sopan banget. Eh tunggu, bukankah tadi ia bilang ada kelas? "Mas, kalo untuk berbasa basi saya permisi" Kembali ku dengar nada tegas dari bibir ranumnya. Segera ku tahan tangannya, saat ia hendak berdiri.
SIAL! sumpah dada gue bergemuruh, skin to skin.. Jangan di bayangin terlalu jauh sampai ke ujung surga. Ini hanya sentuhana telapak tangan gue dan punggung tangannya. Sayangnya hanya sekian detik, bidadari gue langsung narik tangannya dan meletakkan di atas pangkunya. Udah mirip interview kerja tau gak.
"Bisa lebih sopan?" Ia bertanya dengan nada tajam dan tegas. Eh gue lupa dimana rasa percaya diriku, gue hanya nurur nurut ajah tanpa menyela.
"Maaf, saya gak sengaja" Ucapku tulus sekaligus bingung. Kata 'saya' meluncur manis dari bibirku yang memang manis. Haaiiisssh!
"Saya suka bahkan otewe cinta sama kamu, boleh lamar?" Haduh Bintang ini kata kata dari mana coba, bisa bisanya meluncur bebas tanpa rem cakram.
Habiba tampak membulatkan matanya, tatapannya bahkan mengunci manik mata gue. Gugup? Sumpah gue malah super gugup. Gimana bisa gue lakuin hal ini sama gadis yang baru gue temuin dua kali. Mungkin bener kata Ardi kalo otak gue gesrek. Ah sial Ardi!
"Mau jadi pacar gue?" lagi lagi dan lagi pertanyaan ini meluncur bebas. Tapi kalo ia mau seh bakal gue nikahin lusa. Kan gue butuh ngurus surat surat ke KUA, MANTAP!
Nampaknya bidadari gue gugup dengan pertanyaan gue yang tiba tiba.
"Apa anda biasa begini dengan para perempuan?" tanya nya lembut dan lugas.
"Saya baru pertama kali ngelamar perempuan" jujur sejujurnya gua tuh.
"Maaf, saya melihat anda tadi pagi di cium Mentari dan ada perempuan yang minta anda lamar. jadi..." Sontak gue tertawa mendengar ucapan bidadari gue itu, ternyata oh ternyata...
"Makasih sudah perhatian" Gue lihat matanya memicing sesaat, mungkin ia heran dengan kata 'makasih' gue.
"Mentari adik gue satu satunya, kami dia bersaudara. Dan Shanum dia sepupu gue anak uwa gue" entah mengapa dengan senang hati gue menjelaskan ke cewek yang membuatku gila karena cinta. ah!
Sekian detik Habiba bidadari gue itu kembali mengunci pandangan gue. Dan gue persilakan dia mencari kebenaran dari sorot mata gue.
Gue hanya memperhatikan setiap gerakannya, dia mengambil sebuah kertas dan bolpoin serta menuliskan sesuatu. Tak lama ia menyodorkan kertas itu di meja, mataku membelalak melihat alamat yang ia berikan.
"Maaf, saya tidak mencari pacar, saya cari suami" ucapan nya sungguh menggetarkan.
"Datanglah temui abah dan uma.. Jika mereka setuju maka sayapun akan setuju" Habiba, wanita ini benar benar menantangku. Dia salah, karena aku akan datang hari ini juga.
"Apa anda takut? jika anda tidak yakin bahkan takut, lebih baik jangan pernah datang" ucapnya sangat tegas, jika gue seorang musuh mungkin gue akan langsung pipis di celana. Pesing dong?
"Saya permisi, Assalamu'alaikum" Habiba langsung berdiri dan pergi.
"Walaikumsalam Habintang" senang sekali dengan nama itu. AH!!!
"KU TERIMA TANTANGAN MU HABIBA"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
💦tiatiandra💦
bagus banget sejauh ini... /Heart/
2024-01-12
0