DEG DEG DEG
Entah mengapa Bintang masih betah berada di kampus Mentari, hatinya pun terasa berdebar nyaman. Kalo berdebar itu gak karuan bang koq ini nyaman. Luar biasa!
'Masa iya gue yang keren harus ke dokter jantung? Apa ke dokter jiwa aja ya, tuh cewek bikin gila soalnya' hadeuh pikiran absurd macam apa ini Bintang. Bisa juga buat FTV kan GANTENG GANTENG SAKIT JIWA.
Ciiiittt
Motor yang belum benar benar keluar area kampus harus dipaksa berhenti mendadak "Bidadari" Siapa lagi kalo bukan babang Bintang yang lantang kaya mahasiswa demo di depan gedung MPR.
"Apa kamu Bidadari yang di halte bus itu?" Tanya Bintang tanpa tedeng aling aling, memasang senyum paling menawan.
"Ma..maaf salah orang" Ucap gadis bercadar itu menunduk.
"Boleh lihat mukanya untuk memastikan? " Gadis itu secara reflek menggeleng tak menyetujui. Ini Bintang bener bener oon apa emang oon beneran seh. Huuuh!
"Permisi, Assalamu'alaikum" Ucapnya hendak meninggalkan Bintang dan keabsurdan yang mendarah daging sampai bernanah.
"Walaikumsalam" Sahut Bintang reflek. Menatap punggung gadis itu yang berjalan beberapa langkah menjauhinya.
PROK PROK PROK applaus untuk babang Bintang yang dengan lancar menjawab salam, dan beberapa detik kemudian ia malah menyusul gadis itu. Lebih parahnya menarik pergelangan tangannya "tunggu... Habiba" Tebak tebak hadiah berbintang, yang di sebut namanya langsung mengangkat wajahnya. Bahkan Bintang hafal bentuk mata bermanik coklat terang Habiba.
"Maaf" Bukan Bintang yang meminta maaf, melainkan Habiba dengan menarik pergelangan tangannya dari genggaman Bintang. Untung saja Bintang memegang pergelangan tangannya bukan telapak tangannya, sehingga mereka tidak saling bersentuhan kulit.
"Mau kemana? Kan gue kangen" Lugas Bintang to the point, meski jantungnya berdebar tak sejalan seirama tapi mulutnya masih fasih melafalkan.
"Maaf mas, saya ada kelas. Assalamu'alaikum" Benar benar pergi tak menanggapi, jangan tanyakan jantung Habiba yang sama berdebar nya. Bintang lah pemuda pertama yang melihat wajahnya selain keluarga intinya. Bahkan pemuda itulah yang dengan lancang memegangnya.
'Astaghfirullahalazeem' jeritan batin Habiba sepanjang langkah menuju kelasnya. Habiba adalah gadis ketiga yang berinteraksi dengan Bintang pagi ini. Dia bahkan melihat jelas kala pemuda itu di cium oleh teman nya. Dan seorang gadis yang meminta untuk dilamar.
Beberapa jam setelah kelas selesai Mentari keluar, melihat kakaknya masih duduk tak jauh menatap lurus pintu kelas yang terbuka. 'Abang tumben nunggu sampai selesai, biasanya ngacir' monolognya heran.
"Mentari" Sergah seorang gadis. "Em boleh minjem catatan kemarin, ada yang terlupa" Imbuhnya lagi. Tepatnya bukan terlupa tapi terlewat karena pagi kemarin Habiba memang telat tak masuk kelas.
"Oke... Eh kenapa nunduk gitu. Aku gak gigit" Seloroh Mentari. "Ihhh manis banget, anak siapa seh inih?" Merasa gemas dengan temannya. Seorang gadis yang tenang dan tegas. Luarrr Biasa Mentari mengaguminya.
"Eh... Shanum" Lirih Mentari kala mendapati Shanum sudah bersama Bintang. Bahkan gadis yang bersama Mentari turut menyadari keberadaan Shanum. "Ini bukunya, aku pergi dulu yah. assalamu'alaikum" Ucap Mentari, menyodorkan buku dan pergi dari hadapan Habiba.
Mentari menghampiri kakaknya yang sedang bersama Shanum, Habiba lebih memilih mengambil jalan lain untuk kelas selanjutnya. Sebenarnya enggan menanggapi kelakuan pemuda yang dianggapnya sinting.
"Eh kak Shanum..." Seru Mentari, Shanum tersenyum manis memeluk Mentari. Bintang malah berdiri berlalu dari hadapan mereka mengejar seorang yang tak lain ialah Habiba. Sang bidadarinya.
"Lah itu bang Bintang kemana Tar?" Tanya Shanum bingung. Saking bingungnya timbul kerutan di kening, mata dan pipi. Sssttt.
"Mana Tari tauk kak" Menggedikan kedua bahu acuh tak acuh. "Kakak belum selesai kelas? Apa ada perlu sama abang?" Tingkat kepo Mentari mulai naik level.
"Nunggu ayang bebeb nih lagi otewe" Ujar Shanum.
"Cih, ayang bebeb.. Ayam bebek baru cocok, serasi" Cibir Mentari dengan senyum smirk.
"Ya elah sirik bener yak bocil" Sungut Shanum tak mau kalah .
"Lah tumben ngobrol sama bang Bintang? Biasanya juga gelut" Jiwa wartawan yang mulai terpancar.
"Dah tadi pagi gelut nya. Nih bekas gantungan kuncinya ajah masih berasa" Telunjuk Shanum sudah nangkring di jidat. Jidatnya mirip kek lapangan golf, hihihi.
Mentari paham betul dengan sifat keduanya yang selalu ribut. Melirik jidat Shanum yang tak ada bekas lukanya. Emang lebay si Shanum sebelas dua belas sama Mentari.
"Liat bang Bintang sendirian, inisiatif lah kakak temenin" Ujarnya bangga "dari pada kakak nunggu di depan. Culik gerandong kan gak lucu Tari" Imbuhnya sukses membuat Tari mencebikkan bibirnya.
"Mana mau gerandong nyulik modelan kaya kakak gini. Yang ada gumoh tuh si gerandong" Cibir Mentari.
"Maksud kamu model alim gitu yah, kaya temen kamu itu yang bercadar" Seloroh Shanum dengan menaik turunkan alisnya yang mirip jalan setapak masuk desa. Ea tuh alis belum di aspal.
"Hemm buset jauh kak, layaknya pluto dan matahari" Mentari merentangkan kedua tangan, bahkan sebelah kakinya turut terangkat. Mentari mau balet apa mau senam? Jangan jangan baca gurindam.
"Habiba itu solehah kalo kakak itu selokan" Celetuknya lagi.
PLAK
Lah tuh kan tabokan manja mendarat mulus di lengan mentari "sakiiit kak... Iiikh" Merasa panas campur perih. Kan kan kan masih enakan panas campur kopi neng.
"Enak? PUAS ngehina kakak? Gini gini gue kakak lo.. Mentari yang tak bersinar" Sungut Shanum pada adik sepupunya itu.
Nah kan, jadi mereka itu sepupuan loh. Ayah Shanum itu abangnya ayah Hendra, yang tak lain ayahnya Bintang dan Mentari.
**
Mentari sampai di rumah dengan perasaan kesal, berulang kali menghembuskan nafas "Aaaarrrggghhh..." Teriaknya seorang diri dalam kamar. "Awas lo ya bang, gue bejek-bejek lo ya pake ulegan bunda" Dengan gigi yang saling beradu. Keselnya Mentari mirip lagi ngunyah karet ban dalem kan kan kan.
Flashback On
Setelah kakak sepupunya yang sama absurdnya dengan sang kakak pulang, Mentari menggantikan tempat duduk yang tadi di duduki Shanum. Memindai cukup lama area kampus tempatnya mencari ilmu. 'Huuuh abang lagi kemana seh?' monolog Mentari. Ingin beranjak mencari kakaknya, tapi mager. Alhasil duduk di pinggiran taman.
Mending kalo duduk berdua, mirip orang kencan. Ini berdua sama bonsai yang tak tinggi, hadeuh!
TRIING
Sebuah pesan dari aplikasi chat hijaunya
ABANG
{Lo balik dulu deh dek. Abang masih lama ada urusan}
Enggan membalas pesan dari sang kakak, lebih memilih mengarahkan kakinya ke luar kampus.
"Mampus gue" Gumamnya.
ENG ING ENG melihat isi dompet yang hanya tersisa Rp. 20.000,00 ( dua puluh ribu rupiah). Gak mungkin kan naik taksi pulang ke rumah? Bisa bisa suruh dorong sampai depan gerbang rumahnya. Ah!
Nyari kakaknya di dalam kampus? Bisa seh kalo mau gempor tuh betis, ngelilingi kampus seluas cintaku padamu. Mau naik ojol? Bunda gak di rumah, yang mau nombokin bayar kang ojol siapa?
Jangan nyaranin nelpon si babang, sudah di telepon berkali kali dan... selalu gak aktif. Mungkin bener kata neneknya Ardi, mungkin Mentari keluar gak ngitung hari pasaran. Eh! Jadi inget neneknya Ardi.
O ya jadi kalo di Jawa tempat Othor itu masih ada hari pasaran ( PON, WAGE, KLIWON, MANIS dan PAHING) biasanya buat hitung hitungan weton, hari keberuntungan dan acara acara penting.
Dengan berat hati dan langkah, Mentari memutuskan naik bus umum. Eh lumayan kan uangnya masih nyisa sepuluh ribu. Meski harus berjalan kaki sekitar 500 meter untuk sampai ke rumah. Ada sih tukang ojek tapi ia lebih memilih jalan kaki. Bukan karena apa apa, ia ingin membeli cimol dekat lapangan rumahnya. Lebih baik gempor dan bisa makan cimol.
Yes, dan kang cimol pun sudah berada di tempat biasa mangkal. Beruntung juga karena semua masih panas mengepul dan tidak ada antrean sama sekali. Serasa spesial gak seh beb.
Cukup lima ribu rupiah, masih ada sisa lima ribu. Lumayan kan bisa masuk ke celengan ayam, hemm.
Mentari berjalan santai sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan, pemandangan yang tak indah karena kanan kiri hanya berjejer rumah dan mobil di pinggir jalan.
Buuughh
Cimol kesukaan yang ia perjuangkan dengan berjalan kaki bercecer di jalan, seorang anak laki laki kecil menyerempetnya dengan sepeda. "Yah yah yah cimol gue.." Suara penyesalan, ketidakihlasan dan... "Lima ribu gue.. " Kan kan kan makin terasa nyesek gak seh. Sudah jalan kaki biar hemat, keserempet sepeda, gak jadi makan cimol hilang deh lima ribunya.
Mungkin masih harus bersabar demi cimol cimol. he.
Flashback Off
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments