Setelah bertemu dengan dokter Mentari dan Nina pun berpamitan karena harus masuk kelas. Mentari dan Nina menitipkan tas milik Ibu Rita pada suster yang berjaga. Mereka berdua berjanji akan kembali setelah mengikuti kuliah nanti. Namun saat mereka berdua akan pergi terdengar suara ponsel Ibu Rita dari dalam tasnya.
"Itu Sus di angkat saja." Pinta Mentari.
"Kakak saja yang angkat." Tolak suster tersebut.
Dengan malas Mentari pun mengangkat panggilan yang tertera tanda love di layar ponsel.
"Ha lo.." Jawab Mentari ragu.
"Halo. Siapa kamu? Dimana istri saya?" Bentak suara di balik telfon.
"Maaf Tuan. Saya Mentari. Istri anda di rumah sakit masih belum sadar. Tadi istri anda pingsan saat di cafe." Cerocos Mentari tanpa jeda.
"Apa?! Baiklah saya akan segera ke sana. Kirimkan alamat rumah sakitnya."
"Baik Tuan. Tunggu..." Jeda Mentari.
"Ada apa lagi?" Jawab orang yang adalah suami dari Bu Rita.
"Saya sebutkan saja Tuan. Saya tidak nyaman jika harus menggunakan ponsel istri Anda. Ruang X Rumah sakit Xx di jalan xx." Jawab Mentari.
"Baiklah. Terima kasih."
Panggilan pun terputus. Mentari memasukan kembali ponsel milik Ibu Rita.
"Ini sus Nanti akan ada suami Ibunya. Kami permisi." Pamit Mentari.
Tanpa menunggu jawaban dari susternya Mentari dan Nina pergi begitu saja mengingat waktu kuliah telah mepet. Sampai di tempat parkir Nina mereka masuk kedalam mobil dengan cepat. Tanpa babibu Nina pun segera menginjak pedal gas. Beruntung jalanan tidak begitu ramai dan jarak rumah sakit dengan kampus mereka pun tak jauh.
Sampai di kampus beruntung sekali dosen mata kuliah belum sampai barulah setelah lima menit mereka duduk dosen pun datang. Mereka berdua pun mengikuti perkuliahan dengan serius. Karena bagi mereka apapun yang terjadi selama jam kuliah bisa di bicarakan setelah jam mata kuliah selesai.
"Gw anter lu balik ya." Nina.
"Eit's! Ga perlu. Gw masih bisa nebeng mobil mewah itu." Tunjuk Mentari pada mobil Gadis yang sudah terparkir di area parkir kampus.
"Eh, tumben dia jemput?" Nina.
"Tuan belum datang." Mentari.
"Mantap! Ya udah gw balik ya bye..." Nina.
"Bye..." Mentari.
"Bye Kak Gadis.." Ucap Nina melambaikan tangannya.
"Bye Nin.." Teriak Gadis dari dalam mobil.
Mentari pun segera masuk ke dalam mobil Gadis. Gadis segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Karena walau bagaimanapun dirinya masih merasa sayang dengan mobil barunya.
"Dek, Nina mau tunangan ya?" Gadis.
"Hm... Lusa dia minta anter ke butik tantenya." Mentari.
"Tunangannya kapan?" Gadis.
"Minggu depan." Melati.
"Acaranya di rumah atau di gedung?" Tanya Gadis lagi.
"Di rumah. Emang kenapa?" Melati.
"Mas Rizki ngajakin Kakak." Gadis.
"Kalo gitu Tari nebeng ya." Ucap Mentari semangat.
"Hm... Tapi Ayah?" Gadis.
"Huh... Seperti biasa Kakak pergi naik ojek aja nanti Tari tunggu di halte." Mentari.
"Semoga kita bisa pergi ya Dek." Gadis.
"Bisa kok tenang aja." Melati.
Sampai di rumah terlihat mobil Wibisana sudah terparkir di dalam membuat kedua kakak beradik yang baru saja datang membulatkan matanya bersamaan. Kemudian Mentari juga Gadis sama-sama membuka layar ponselnya dan ternyata benar saja Ibu Sarah sudah memberitahukan mereka berdua. Hanya saja ponsel mereka masih dalam mode senyap.
Mentari segera membungkuk kemudian turun ke bawah setelah sebelumnya memundurkan jok yang di tumpanginya. Beruntung badannya mungil membuat dirinya dengan mudah bersembunyi. Gadis pun memarkir mobilnya langsung masuk ke dalam agar Mentari bisa turun tanpa terlihat oleh Wibisana.
"Untung badan lu tipis Dek.." Gerutu Gadis.
"Berisik." Melati.
Gadis dan Melati pun sama-sama membuka pintu kemudian keduanya pun sama-sama menutup pintu agar terdengar hanya satu pintu terbuka. Untung saja Melati belum menegakkan badannya ketika terdengar suara Bas Ayah mereka menyapa Gadis.
"Bagaimana mobil barunya?" Wibisana.
"Ayah! Gadis suka Yah." Jawab Gadis menghambur kedalam pelukan Sang Ayah.
"Terima kasih." Ucap Gadis lagi dalam pelukan Wibisana.
"Apapun untukmu sayang." Wibisana.
Ces... Dada Mentari terasa begitu terhenyak. Namun seperti itulah kenyataan dalam hidupnya saat Ayahnya dan Gadis saling berbagi rindu Mentari pun mengambil kesempatan untuk masuk ke dalam. Mentari dengan cepat merubah raut wajahnya agar Ibunya tidak bersedih.
"Kalian ketauan?" Ibu Sarah.
"Tentu tidak. Anak mu ini kan pandai berkamuflase." Jawab Melati.
"Ibu sangat panik. Kalian tak ada yang menjawab pesan dari ibu satupun." Ibu Sarah.
"Tenang Ibu ku semuanya baik-baik saja." Ucap Melati menenangkan Ibunya dengan membawa Ibu Sarah kedalam dekapannya.
Ibunyalah yang membuatnya kuat berdiri dan menghadapi ketidak adilan sang Ayah.
"O...ya. Besok Nenek sama Kakek datang." Ibu Sarah.
"Benarkah?" Mentari.
"Hm... Kapan Ibu berbohong?" Ibu Sarah.
"Ketika Ibu mengatakan jika Ayah baik." Mentari.
Deg....
Hening seketika. Wibisana pun mendengar dengan jelas apa yang dikatakan putri ke duanya. Begitu juga dengan Gadis. Langkah Wibisana dan Gadis terhenti. Ibu Sarah pun tak dapat menjawab apapun ketika telinganya mendengar pernyataan dari putrinya dan manik matanya melihat sosok yang di bicarakan putrinya.
"Nyatanya Ayah memang baik. Ibu kenapa tegang gitu sih wajahnya. Tari tau Ayah baik. Jika Ayah jahat Ayah tidak akan mengijinkan kita tinggal di rumah semewah ini bukan Bu?" Melati.
Ibu Sarah menarik sudut bibirnya tipis kemudian menarik Melati untuk masuk.
"Kata Nina Kak Gadis beruntung punya Ayah sebaik Tuan Bu. Tak perlu minta Tuan akan memberikan apapun untuk nya." Oceh Mentari lagi.
Begitulah panggilan Mentari untuk Ayahnya. Karena Mentari merasa dirinya hanyalah seorang anak dari pelayan di rumah mega tersebut.
"Kamu pun beruntung sayang." Jawab Ibu Sarah pelan.
"Iya Bu sampai Ayah datang nanti." Mentari.
"Maksudmu?" Ibu Sarah.
"Tari selalu berfikir jika Ayah sedang pergi jauh Bu. Dan Tari akan selalu menanti kedatangannya. Tari rindu. Ingin memeluk Ayah seperti Kak Gadis memeluk Tuan." Mentari.
Tes.. Air mata Bu Sarah pun tak terbendung lagi.
"Ibu jangan menangis. Kita sama-sama saling menguatkan untuk menanti kedatangan Ayah. Jika kita bersedih Ayah juga pasti sedih." Ucap Mentari memeluk Ibu Sarah.
Deg...
Manik mata Mentari menangkap sosok Wibisana dan Gadis di belakang ibunya. Mentari bisa menangkap manik mata Gadis yang berkaca-kaca.
"Tari ke kamar dulu ya Bu. Gerah mau mandi." Pamit Mentari.
Ibu Sarah pun hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelah Mentari berlalu Gadis segera menghambur ke dalam pelukan sang Ibu dan menangis tersedu.
"Semua akan baik-baik saja." Ucap Ibu Sarah lirih.
Wibisana pun pergi meninggalkan mereka tanpa berkata apapun. Hatinya merasa tersayat ketika mendengar Mentari menyebutnya dengan sebutan Tuan. Ini kali pertama Wibisana mendengar putrinya yah putri yang selama ini tak di anggapnya menyebutnya dengan sebutan Tuan.
🌹🌹🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
susi 2020
😘😘😘
2023-06-25
0
susi 2020
😲😲
2023-06-25
0
Tri Winarni
baru baca sdh Bombay Thor sedih amat🙏💪👍👍👍
2023-06-24
0