Uang Nafkah atau Titipan ?

Bab 4

Hari sudah mulai gelap. Mas Adi juga sudah kembali dari pekerjaannya yang melelahkan.

Aku duduk di samping Devano, membantunya mengerjakan tugas sekolah. Sedangkan mas Adi duduk di atas sofa sambil menonton televisi.

"Oh ya dik, uang yang mas minta sudah kamu sisihkan kan."

Mas Adi tiba tiba bertanya tentang uang yang dimintanya tadi pagi.

Aku menghela nafas panjang. Apa aku harus menceritakan padanya tentang apa yang terjadi di rumah ini tadi pagi. Apa aku harus memberi tahu mas Adi kalau ibunya datang dan marah-marah meributkan uangnya. Apa mas Adi akan percaya?.

"Hey, kamu ini mas ajak bicara malah melamun terus, kenapa sih." Mas Adi mencolek ku karena aku tak kunjung bicara.

"Uangnya aku kasih ke ibumu."

Aku mencoba bercerita apa adanya.

"Lho, memangnya kenapa, kan setiap bulan memang kita selalu ngasih uang ke

ibu." Mas Adi melirikku dengan raut wajah yang heran.

Aku bingung harus mulai bercerita dari mana. Aku takut mas Adi malah berbalik marah padaku dan menuduhku menjelekan ibu nya.

"Tuh kan kamu bengong lagi. Sana gih ambil uangnya, mas mau pakai besok pagi."

Aku bangkit dari sisi Devano dan duduk bersebelahan dengan mas Adi.

"Mas, kalau aku ceritakan semuanya, apa kamu akan percaya."

"Memangnya kenapa. Apa yang mau kamu katakan." Ia menatapku dengan serius.

Aku mengirup udara sebanyak mungkin dan mulai menceritakan apa yang terjadi tadi pagi di rumah ini. Dari A sampai Z, tak ada yang aku lewatkan. Bahkan aku juga memberi tahu mas Adi bahwa tangan ku terkilir karena didorong oleh ibu sampai aku tersungkur ke lantai.

Tapi, apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Bukannya membela ku dan menanyakan keadaanku, ia malah menuduhku memfitnah ibunya.

"Kamu jangan mengarang cerita ya. Ibu tidak mungkin berbuat seperti itu padamu. Apalagi kamu ini menantunya. Bahkan saat ibu berkunjung ke rumah ini, ibu selalu membawakan makanan untuk kita. Ia juga tak pernah sekali pun berlaku kasar padamu ataupun Devano. Kamu jangan menjelekan ibu seperti itu. Mas tidak suka."

Mas Adi mencoba membela ibunya. Ibu memang tidak pernah bersikap kasar saat sedang berkunjung, karena ia hanya datang saat mas Adi gajian saja. Mana mungkin ia kasar, karena ia juga takut kalau mas Adi tidak memberikan jatah uang pada nya.

"Tapi mas, memang seperti itu kejadiannya. Aku memberikan uang nya asal kepada ibu karena tuduhannya terhadap ibuku membuatku sakit hati."

"Cukup dik."

Mas Adi mencoba menghentikan ucapan ku. Tapi aku malah melanjutkannya dan membuatnya emosi.

"Bahkan tanganku ini, apa ini tidak cukup membuktikan perlakuan kasar ibumu yang serakah dan haus uang itu." Aku memegang tanganku dan menunjukan padanya.

"Cukup Inara."

Mas Adi bangkit dari sofa sambil berteriak. Membuat Devano terkejut dan menghampiriku karena ketakutan. Ia memelukku erat karena baru kali ini papa nya marah besar sampai berteriak seperti itu.

"Nak, kamu bereskan buku mu dan masuk ke kamar tidur ya. Mama mau bicara dulu dengan papa." Aku menenangkan Devano dan menyuruhnya tidur agar ia tidak ketakutan.

"Mas kamu jangan berteriak dihadapan Devano. Lihat, dia jadi ketakutan."

"Jangan mengalihkan pembicaraan Inara. Kamu benar-benar keterlaluan telah menjelekkan ibuku seperti itu." Ia menunjuk wajahku dengan penuh emosi.

"Jangan menunjukku mas. Aku bicara sesuai fakta. Bahkan kalaupun kamu tidak percaya, aku tidak peduli. Karena pada kenyataannya ibumu memang serakah."

PLAKK...

Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Aku memegangi pipiku yang terasa panas sambil berderai air mata. Rasa perih dan sakit di hati ini berpadu menjadi satu.

"Keterlaluan kamu, yang kamu panggil serakah itu ibuku, ibu kandung yang telah melahirkan ku. Sangat tak tahu diri jika kau berani menjelekkan ibuku seperti itu lagi Inara. Aku banting tulang mencari uang untuk menafkahi mu dan keluarga kita. Tapi kau malah berlaku seperti wanita yang tak tahu diri seperti ini."

"Nafkah, nafkah yang mana yang kau maksudkan mas. Setiap kali kau memberiku uang, bahkan sebelum aku memakainya, kau sudah terlebih dahulu menagihnya kembali untuk keperluan pribadi mu yang tidak penting dengan nominal yang tak kira-kira."

Aku menyeka air mataku dan melanjutkan ucapan ku. "Aku bahkan tidak pernah memakainya untuk membeli barang-barang layaknya wanita pada umumnya. Aku seringkali mengirit uang belanjaan karena kebutuhan yang semakin meningkat, sedangkan pemasukan darimu semakin berkurang."

"Jadi, jika ada yang harus dipanggil 'tak tahu diri' itu bukan aku mas ,tapi kamu." Aku menunjuk wajahnya kasar.

Mas Adi termenung. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Ia berbalik dan melangkah meninggalkan ku di sofa lalu pergi keluar dengan mengendarai mobilnya.

Aku menangis dalam keheningan malam. Sampai tak sadar aku pun terlelap dan tertidur di sofa sambil memeluk bantal kursi.

Terpopuler

Comments

Ganuwa Gunawan

Ganuwa Gunawan

lanang ga tau diri ..duit udah d kasih kok ya d minta lgi..

2023-02-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!