Ini Tidaklah Penting

"Terimakasih sudah mengantarkan aku pulang."

"Sama-sama, selamat beristirahat."

Bianca tersenyum dan mengangguk, ia lantas keluar setelah sempat melirik anak disisinya.

"Maaf, aku sudah sangat merepotkan mu."

Bianca mengangguk, ia melambaikan tangannya dan membiarkan mobil itu melaju pergi meninggalkannya.

"Huh, lelah juga meski hanya beberapa jam saja."

Bianca berbalik dan membuka pagar rumahnya, tapi seketika itu Bianca terkejut melihat sosok Melvin yang ada dibalik pagar tersebut.

"Melvin, kamu disini."

"Apa maksudnya?"

"Maksud apa?"

"Siapa mereka?"

Bianca melirik luar sana, apa mungkin Melvin melihat pemilik mobil itu.

"Siapa mereka, apa maksudnya semua ini, kamu sudah menikah dan punya anak?"

Bianca mengernyit, apa lagi maksudnya, jahat sekali pertanyaan Melvin kali ini.

"Kenapa diam, kamu membohongi ku, kamu sengaja menipu ku?"

"Apa maksudnya, bisa sekali kamu menuduh ku seperti itu."

Melvin mengangguk, ia lantas mengeluarkan ponselnya, ia menunjukan rekaman video yang telah di pindahkannya dari kamera.

"Apa ini?"

"Untuk apa bertanya padaku?"

Bianca menggeleng, ia diam menonton videonya, memang ada dirinya di sana, bersama dengan lelaki yang tadi mengantarkannya, ada anak itu juga.

"Mama dan Papa?"

Bianca menoleh sekilas, ia menutup videonya dan mengembalikan pada Melvin.

"Apa yang mau kamu jadikan alasan?"

Bianca menghembuskan nafasnya tenang, ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi salah satu kontaknya.

"Aku sedang bicara dengan mu," ucap Melvin kesal.

"Diamlah, kamu tidak akan percaya pada omongan ku."

Melvin berniat merebut ponsel Bianca, tapi dengan cepat Bianca mundur mengindari tangan Melvin.

"Bianca."

"Diam, atau kamu tidak akan mendapatkan penjelasan apa pun."

Melvin berpaling, menjengkelkan sekali wanita itu, kali ini Melvin benar-benar kesal padanya.

"Pak, tolong kembali ke rumah ku sekarang, sebentar saja, ada yang lupa aku katakan."

Setelah sesaat menunggu, Bianca menutup sambungannya, ia kembali menatap Melvin yang sudah sangat jelas raut kekesalannya itu.

"Apa kamu seperti ini, curiga dan menuduh begitu saja?"

"Aku tidak menuduh begitu saja, semua sudah jelas."

"Benarkah, jadi kamu lebih percaya pada rekaman itu, padahal aku ada disini."

"Jangan banyak bicara, jelaskan saja."

"Aku sudah tidak mau menjelaskan apa pun, kamu sudah begitu saja menuduh ku, kamu juga kesal padaku tanpa perkataan apa pun sebelumnya, kamu fikir aku masih mau menjelaskan."

"Bianca."

"Dengar aku baik-baik, aku memang masih 19 tahun, aku masih tidak sedewasa kamu, tapi aku tidak pernah berbohong untuk hal sekecil apa pun."

Melvin diam, tapi sekarang Melvin sudah terlanjur kesal padanya, jadi biarkan saja Melvin lanjutkan sampai mendapatkan penjelasan tentang semuanya.

"Ada apa, Bianca?"

Keduanya menoleh bersamaan, rupanya mobil itu telah kembali, Bianca mengangguk saat lelaki itu keluar dengan menggendong anaknya.

"Ada apa, apa ada masalah?"

"Benar, memang ada masalah, dia yang bermasalah, jelaskan sama dia, apa kita ini Suami dan Istri?"

Melvin dan lelaki itu saling lirik, mereka bertahan dalam tatapan satu sama lain, Melvin semakin kesal saja saat lelaki itu justru tersenyum padanya.

"Memangnya siapa dia?"

"Aku siapa, itu tidaklah penting, yang jelas sekarang, apa hubungan kalian?" tanya Melvin yang mulai emosi.

"Mama, aku mau tidur."

Bianca menoleh, ia lantas menggedong anak itu, Melvin mengepalkan tangannya, mereka begitu kompak membuatnya kesal.

"Siapa aku, dengar baik-baik, aku adalah Papa dari anak itu, dan aku adalah atasan Bianca di Cafe yang biasa ia datangi."

Melvin mengernyit, tidak, itu pasti bohong, bukankah sejak tadi mereka begitu kompak.

"Kenapa, bisa sekali kamu mencurigai Bianca sampai seperti itu."

"Dan kalian fikir aku percaya, kalau memang kalian hanya atasan dan bawahan, kenapa anak itu memanggilnya Mama."

Lelaki itu menghembuskan nafasnya sekaligus, ia mengulurkan tangannya pada Melvin.

"Aku Rasya, dan ini anak ku Marten."

Melvin menyipitkan matanya, Marten, Melvin masih ingat Bianca datang untuk menemui Marten, jadi anak itu yang dimaksudnya.

"Kamu tidak mau menjabat tangan ku?"

Melvin menepisnya begitu saja, ia masih perlu sedikit penjelasan agar bisa percaya sepenuhnya.

"Marten, ditinggalkan Mamanya sejak lahir, dan sejak bayi dia selalu ikut dengan ku ke Cafe, disana dia selalu bertemu Bianca dan teman-temannya, sejak itu mereka dekat dan Marten merasa memiliki Mama saat sedang bersama Bianca."

Melvin melirik Bianca yang tengah menimang anak itu, apa benar seperti itu keadaannya.

"Aku sempat melarangnya memanggil Mama, tapi Bianca sendiri yang mengizinkannya, Bianca menerima dipanggil Mama, hingga sampai saat ini."

Melvin tak bergeming, ia mulai merasa malu sekarang, tapi tetap saja Bianca juga salah dalam hal ini.

"Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa datang ke Cafe besok, kita bisa bicara banyak disana, sekarang aku harus pulang karena anak ku sudah harus tidur."

Melvin tetap diam, apa yang harus dikatakannya, Melvin merasa salah karena tuduhannya itu.

"Marten, ayo kita pulang."

"Aku mau tidur sama Mama."

"Besok saja, sekarang Mama lagi ada urusan lain, kamu harus nurut gak boleh bandel."

Marten mau saja pindah pangkuan, dua orang itu melangkah pergi meninggalkan Bianca dan Melvin, sekarang hanya tinggal mereka berdua saja di sana.

"Kalau memang masih mau marah, silahkan pulang saja, dan kembali setelah kemarahan mu itu hilang."

Bianca berlalu begitu saja, ia malas berdebat, semua sudah jelas, apa pun sisa pemikiran Melvin, biar jadi urusannya sendiri saja.

"Berani kamu meninggalkan ku?"

Melvin berdiri di hadapan Bianca, ia menghalangi jalan Bianca untuk masuk rumah.

"Bii, aku minta maaf."

"Tidak perlu, tapi sekarang biarkan aku masuk."

Melvin menggeleng, ia memeluk Bianca begitu saja, tak ada respon apa pun karena Bianca hanya diam saja.

"Aku tahu aku salah, tolong maafkan aku, kalau kamu mau marah, kamu maki saja aku, tapi jangan diamkan aku, aku mohon."

"Aku bukan dirimu, kita berbeda."

"Kamu mau memaafkan aku, kita tidak perlu seperti ini lagi."

"Seperti apa, sejak kemarin kamu yang gak jelas marah-marah."

"Aku minta maaf, aku minta maaf, aku minta maaf."

Bianca tersenyum, biarkan saja Melvin seperti itu, Bianca juga sudah kecewa dengan tuduhan Melvin.

"Aku mohon maafkan aku, aku akan lakukan apa pun asalkan kamu mau memaafkan aku."

"Benarkah?"

"Iya, aku janji."

"Lepaskan pelukan kamu."

"Tapi kamu jangan pergi dari aku."

"Lepaskan."

Melvin melepaskan pelukannya, ia mundur mendekati pintu, Bianca tidak boleh masuk sebelum memaafkannya.

"Kamu kenapa?"

"Kamu gak boleh masuk sebelum maafkan aku."

Bianca tersenyum seraya berpaling sesaat, aneh sekali Melvin ini, mungkin memang seperti itu sifat Melvin yang sebenarnya.

"Bii."

"Aku gak marah, ngapain sih?"

"Tapi aku sudah menuduh mu."

"Tapi sekarang semua sudah jelas, aku tidak berbohong."

"Makanya, kamu maafkan aku."

Bianca kembali tersenyum, ia mengangguk perlahan, siapa juga yang marah padanya.

"Kamu serius?"

"Kamu harus janji gak akan tuduh aku seperti itu lagi, kamu juga harus janji, keadaan apa pun yang membuat kamu marah sama aku, jangan berani marah sebelum kamu dapatkan penjelasannya, mulai hari ini dan seterusnya."

Melvin mengangguk pasti, itu akan diturutinya, Melvin akan selalu percaya padanya, ini adalah kesalahan pertama dan terakhirnya.

"Kamu mau maafkan aku?"

"Iya, aku mau."

Melvin maju dan kembali memeluk Bianca, kali ini Bianca membalas pelukan itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!