Bianca melihat sekitarnya, malam ini ia dibawa ke tempat yang dituju Melvin, tapi sepertinya Bianca tahu untuk apa tujuan kedatangan mereka sekarang.
"Pak Melvin."
Keduanya menoleh bersamaan, Bianca melirik Melvin, lelaki itu tersenyum seraya melambaikan tangannya.
"Siapa dia?" tanya Bianca.
"Dia Sekretaris aku di Kantor."
"Dia tujuan mu sekarang?"
Melvin mengangguk, ia lantas membawa Bianca menghampiri Agit di sana.
"Baiklah, Bapak benar-benar membawa gadis ini."
"Tentu saja, aku tidak pernah berbicara asal."
Agit tersenyum dan mengangguk, tentu saja ia tahu tentang itu, Agit mengulurkan tangannya pada Bianca, tanpa ragu Bianca pun menjabatnya.
"Agit."
"Bianca."
Agit mengangguk, jabatan itu dilepas, Bianca melihat perhiasan di sana.
"Baiklah, mana Suami mu?" tanya Melvin.
"Dia belum kesini, tadi ada orang tauanya ke rumah, sehingga dia harus pulang dulu."
"Sayang sekali kita tidak bisa bertemu."
"Ya mau bagaimana lagi, silahkan Pak."
Melvin mengangguk, ia melihat-melihat perhiasan di sana, memang bagus-bagus, Melvin juga melirik Bianca yang tampak memperhatikan perhiasan itu juga.
"Ada yang kamu suka?" tanya Melvin.
Bianca menoleh dan menggeleng, tentu saja Bianca suka dan tidak ada yang bisa dipilihnya karena memang semua indah dimatanya.
"Kamu mau?"
"Tidak, kamu beli buat siapa?"
"Buat Mama."
"Oh, dia sedang berulang tahun?"
"Tidak, hanya saja sudah lama aku tidak memberinya hadiah."
"Oh, baiklah."
Melvin mengangguk, ia melirik Agit di depannya, wanita itu tersenyum seraya mengangguk.
"Model terbaru yang mana ya?" tanya Melvin.
Agit membawa beberapa model perhiasannya, itu adalah keluaran terbaru di tokonya.
"Yang ini, Pak."
"Ada sepaket juga?"
"Iya, tentu saja, mungkin mau harga yang lebih dibawah, Bapak bisa ambil yang paket ini."
"Benarkah, bukannya kalau satu paket akan lebih mahal harganya."
Agit hanya tersenyum saja, Melvin mengangguk, ia melirik Bianca, mengikuti arah pandangnya, Bianca telihat sedang menatap salah satu kalung diantara perhiasan yang ditunjukan.
"Yang ini berapa?" tanya Melvin seraya meraihnya.
Bianca menoleh, kenapa Melvin malah membawanya, padahal Bianca masih ingin melihatnya.
"Bagus gak?"
Bianca mengangguk, Mika pasti senang diberikan kalung itu, cantik dan sederhana.
"Mama, suka gak ya?"
"Pasti suka dong, bagus gitu, iya kan Bu?" tanya Bianca.
Agit mengangguk seraya tersenyum, Melvin mengangkat keluang tersebut dari kotaknya, ia berjalan ke belakang Bianca dan memasangkannya begitu saja.
"Hey, kenapa seperti ini?" tanya Bianca.
"Diamlah, aku mau lihat sebentar."
Bianca melirik Agit yang tampak tersenyum padanya, Melvin akan membuat Bianca ngiler saja dengan kalung itu.
"Bagus gak?" tanya Melvin pada Agit.
"Bagus sekali, semakin cantik."
Bianca melirik kalungnya, itu memang bagus, dan Bianca juga menginginkannya, tapi uang di kantongnya tak akan cukup untuk membayarnya.
"Mama, pasti suka juga, aku lepas lagi ya."
Bianca diam, padahal biarkan saja kalung itu tetap di lehernya, Bianca tidak akan menolaknya jika Melvin memberikan kalung tersebut.
"Bii."
"Hah .... Oh, iya, ya sudah lepas saja, kenapa harus gitu tinggal lepas saja."
Melvin tersenyum dan melepaskan kalungnya lagi, ia lantas menyimpannya, dan mengambil perhiasan yang satu paket.
"Ini lebih bagus kayaknya buat Mama."
Bianca mengangguk saja, semua juga bagus, tidak perlu banyak memilih seperti itu, Melvin repot sekali.
"Coba ini," melvin memberikan cincinnya.
"Mana cukup, itu kegedean," ucap Bianca percaya diri.
"Tapi ini cukup buat Mama."
Bianca diam, bodoh sekali dia, kenapa justru berbicara seperti itu.
"Baiklah, ada yang dibawah ini ukurannya?" tanya Melvin.
"Ada Pak, ini turun satu nomor, dan ini turun dua nomor, modelnya sama, hanya saja kalau yang ini satu."
Melvin menerimanya, ia menggesernya ke hadapan Bianca, sekarang Bianca lebih diam karena tidak mau salah bicara lagi.
"Coba dulu," ucap Melvin.
"Aku yang coba?"
"Ya iya, masa aku."
Bianca mengangguk, ia meraih keduanya memakaikan di dua jemarinya sekaligus.
"Cukup keduanya?"
"Gak, lihat saja, ini kebesaran."
"Berarti turun dua nomor ya."
"Iya."
"Baiklah, berarti kalau yang ini pasti cukup buat Mama."
Melvin melepaskan salah satunya, Bianca turut melepaskan satu cincin lagi, senang sekali jadi Mika, bisa dibelikan perhiasan mahal.
"Cincinnya di tukar sama yang ini bisa, aku rasa jari Mama tidak jauh beda dengan dia, jadi aku ambil yang lebih kecil satu nomor dari ini."
"Bisa, Pak."
"Oke, aku ambil ini."
Bianca menelan ludahnya, Melvin memilih perhiasan yang satu paket, juga kalung yang sempat dipakaikan pada Bianca.
"Kamu mau cincinnya?" tanya Melvin.
"Ah tidak, tidak, aku tidak biasa memakai perhiasan."
"Benarkah?"
"Tentu saja benar."
Melvin mengangguk, ia menyudahi pilihannya, dan membiarkan Agit menghitung tagihannya.
"Aku kesana duluan ya."
"Kenapa?"
"Aku haus soalnya."
"Oh ya sudah, tapi jangan jauh."
"Iya, Bu, mari."
"Oh iya, silahkan."
Bianca lantas berlalu meninggalkan keduanya, bodoh sekali kenapa Bianca menolak tawaran cincin itu, padahal Bianca menyukainya juga.
"Tidak tidak, tidak Bianca, jangan matre kamu ini."
Bianca menggeleng seraya memukul kepalanya dua kali, menjengkelkan sekali keinginannya itu.
"Silahkan, Pak."
"Yang ini sekalian ya."
"Cincin ini?"
"Iya, dia pasti menginginkannya, sekalian aku pesan buat dua bulan lagi."
"Pesan?"
Melvin mengangguk, ia berbicara panjang lebar tentang cincin seperti apa yang diinginkannya, Melvin juga tak sungkan untuk menyebutkan cincin untuk pernikahannya.
"Bapak serius?"
"Siapkan dua cincin yang sempurna, satu bulan lagi aku akan kembali kesini, dan cincin itu harus bisa aku lihat, tidak masalah meski belum 100%."
"Baik, Pak, nanti saya kabari."
Melvin mengangguk, ia mengeluarkan debitnya dan memberikan pada Agit.
"Apa wanita itu benar-benar sempurna?"
"Menurut ku, tapi tidak menurut mu, aku suka yang seperti itu, kecil menggemaskan."
Agit hanya bisa tersenyum mendengarnya, baiklah, Agit hanya bisa mendukung saja, dan mendoakan agar tidak ada lagi kegagalan dalam urusan percintaan bosnya itu.
"Terimakasih, Pak."
"Sama-sama, jangan lupa pesanannya, harus selesai dalam dua bulan."
"Akan saya usahakan, sepertinya itu terlalu rumit."
"Tidak mau tahu."
Keduanya tersenyum, Agit kembali mengangguk, ia akan usahakan hasil terbaiknya nanti.
"Baiklah, aku permisi."
"Silahkan, sekali lagi terimakasih banyak."
"Laris ya."
"Amin, sukses buat pendekatannya."
Melvin tersenyum dan mengangguk, ia lantas berlau dan mencari Bianca di luar sana.
"Kemana anak itu."
"Anak yang mana?"
Melvin menoleh, Bianca memberikan satu cup minuman pada Melvin.
"Aku tidak tahu kamu sukanya apa, tapi coffee ini enak menurut ku, kamu harus mencobanya."
Melvin menerimanya, ia bukan orang yang suka coffee, tapi tidak masalah itu bisa jadi satu perkenalan tambahan.
"Terimakasih, tapi aku tidak suka coffee, lain kali tidak perlu belikan lagi."
"Baiklah, tapi kamu mau meminumnya."
"Tentu saja."
Bianca tersenyum, keduanya menikmati minuman tersebut, Bianca melirik tas yang dibawa Melvin.
"Kamu jadi beli semua?"
"Tentu saja, kalau aku sudah suka, semua akan aku bawa."
"Jangan boros, aku tahu kamu kaya, tapi jangan berlebihan juga."
"Iya, aku tahu itu, ayo kita pulang, kamu berikan ini sama Mama ya."
"Kenapa aku?"
"Karena kamu yang memilihnya, kamu yang mencobanya."
Bianca mengangkat kedua alisnya, benarkah seperti itu, tapi sudahlah, itu bukan masalah besar.
"Mau?"
"Ayo."
Melvin tersenyum, keduanya lantas memasuki mobil, Melvin melajukan mobilnya menuju rumahnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments