Besok, Aku Bawa

Bianca telah ada di dalam mobil Melvin saat ini, keduanya telah berjalan cukup jauh untuk bisa sampai ke parkiran.

"Kamu tinggal dimana?" tanya Bianca.

Mesin mobil yang semula menyala dan siap melaju, kembali dimatikan Melvin, ia merubah posisi duduknya jadi menghadap Bianca.

"Oh, maaf, aku tidak bermaksud mengganggu fokus mu."

Melvin tersenyum dan mengangguk, Bianca lagi dan lagi dibuat kesulitan mengontrol detak jantungnya akibat tatapan Melvin.

"Kamu mau berbicara banyak hal?" tanya Melvin.

"Tidak, lupakan saja, mungkin kamu lelah dan mau segera sampai rumah."

"Itu tidak benar, kita bisa berbincang disini sampai kapan pun kamu mau."

"Apa kamu tidak bisa berhenti menatap ku?"

"Bukankah seperti ini etika berbicara dengan seseorang?"

Bianca diam, tapi rasanya terlalu membuat salah tingkah, Bianca tidak biasa ditatap seperti itu oleh seorang lelaki.

"Apa kamu keberatan, kalau kamu keberatan, kita bisa langsung pulang."

"Tidak, aku hanya tidak biasa saja dengan tatapan seperti itu."

"Kalau seperti itu, mulai sekarang kamu harus mulai membiasakan diri dengan tatapan seperti ini."

Bianca diam, ia tersenyum menatap balik lelaki di depannya.

"Berapa usia mu?" tanya Melvin.

"19, dua bulan lagi baru 20."

"Benarkah?"

"Ya, tentu saja benar, aku memang baru 19 tahun."

"Lalu, untuk apa kamu ikut acara ini, kamu masih bisa mencari yang lain di luar sana?"

"Entahlah, yang jelas, aku mau menemukan pangeran ku, dan mungkin disini aku bisa menemukannya."

"Dan kamu menemukan ku, apa itu berarti aku pangeran yang kamu inginkan?"

Bianca tersenyum, semoga saja memang seperti itu, dan semoga saja Melvin seperti apa yang diinginkannya selama ini.

"Aku mencari pasangan untuk menikah, bukan untuk pacaran."

"Ya, itu memang seharusnya."

"Tapi kamu masih 19 tahun."

"Aku bukan 15 tahun, aku sudah bisa menikah, lagi pula sisa umur 19 tahun ku hanya tinggal 2 bulan lagi."

"Dan kamu siap menikah?"

"Berapa usia mu sendiri?"

"24, dan 2 bulan lagi pun tepat 25."

Bianca diam, benarkah seperti itu, apa mungkin jika mereka lahir di tanggal yang sama.

"Bukankah aku sudah cukup untuk menikah?"

"Ya, tentu saja."

"Tapi, aku mau menikah dengan mu."

Bianca kembali diam, bukankah mereka tidak saling mengenal sebelumnya, bagaimana kalau ia bukanlah wanita yang seperti diinginkan Melvin.

"Kamu akan menolak ku?"

"Tidak, hanya saja, sebaiknya kita saling mengenal dulu."

"Jadi, kamu mau mengajak ku berpacaran?"

"Tidak, kita saling mengenal dulu, mungkin saja kenyataannya aku bukan wanita yang kamu inginkan, dan bisa jadi sebaliknya juga kan?"

Melvin mengangguk, entah kenapa ia begitu enggan berpaling dari Bianca, ia bertahan dengan tatapannya terhadap wanita itu.

"Baiklah, sepertinya memang masih banyak hal yang harus kita bicarakan, tapi sekarang sudah malam, aku akan kena marah orang tua mu jika terlambat mengantarkan mu pulang."

Bianca melirik jam di pergelangan tangannya, benar juga sudah jam 11 malam, Bianca pasti akan kena omel orang rumah.

"Dimana rumah mu?"

"Dekat Rumah Sakit depan sana."

Melvin mengangguk dan berpaling, ia lantas menyalakan kembali mobilnya, dan melaju pergi.

"Besok hari libur, apa kamu ada acara di luar rumah?" tanya Melvin.

"Sepertinya iya, aku akan ke Cafe Mentari."

"Untuk apa?"

"Ada, aku diundang kesana."

"Apa aku boleh ikut?"

"Silahkan saja, itu kan tempat umum, siapa pun boleh datang."

"Jam berapa, aku akan datang bersama mu."

"Jam 4 sore."

"Lalu dari pagi sampai siang, kemana kamu?"

"Ada di rumah, aku bantu Ibu buat bikin kue."

Melvin mengangguk tanpa berkata lagi, saat ini matanya sudah sangat mengantuk, dan sebaiknya ia fokus menyetir.

"Belok kanan, rumah ku yang pagar hijau."

Melvin mengikutinya, ia mencari pagar hijau yang dimaksud.

"Itu memang rumah ku," tunjuk Bianca.

Melvin melihatnya, ia menghentikan laju mobilnya, tidak terlalu buruk, meski tidak semewah rumahnya, tapi itu rumah minimalis yang pantas.

"Ya, aku memang bukan anak penusaha sukses, aku hanya anak dari pembuat kue saja."

Melvin menoleh, Bianca telah membuatnya ingin menatap dua mata itu lagi.

"Tapi tenang saja, aku ikut acara ini, bukan mencari lelaki kaya yang bisa aku habiskan hartanya."

Melvin tersenyum, benarkah seperti itu, dan semoga saja memang benar.

"Baiklah, aku harus masuk, dan kamu juga harus pulang."

"Apa aku harus mengantarkan mu masuk?"

"Mungkin itu lebih baik."

Keduanya tersenyum, mereka lantas keluar dan berjalan mendekati pagar saat tangan Bianca terangkat, pagar justru terbuka lebih dulu.

"Bagus kamu ya," ucap seorang wanita dibalik gerbang itu.

"Ibu, kenapa belum tidur?"

Melvin diam, jadi wanita itu adalah pembuat kue yang dimaksud Bianca tadi.

"Apa pantas seperti ini, keluyuran sampai tengah malam seperti ini bersama laki-laki?"

"Ibu ...."

"Kita bersama baru beberapa jam saja, kita baru bertemu malam ini," sela Melvin.

"Siapa kamu?"

"Melvin," ucapnya seraya mengulurkan tangan.

"Ibu, dia lelaki yang memilih ku diacara tadi."

Sesaat wanita itu diam, sampai akhirnya ia menjabat tangan Melvin.

"Mayang," ucapnya.

Melvin mengangguk dan mencium punggung tangannya hormat, Mayang melirik putrinya yang justru tersenyum melihat hal itu.

"Aku yang membuatnya terlambat pulang malam ini," ucap Melvin seraya melepaskan jabatan tangannya.

"Aku minta maaf, tapi aku tidak berbohong jika putri mu ini, tetap baik-baik saja."

Mayang tak bergeming, ia melirik mobil mewah Melvin di sana, apa benar lelaki itu memilih putrinya, tapi bagaimana mungkin, Mayang sadar jika putrinya jauh dari kesan berkelas.

"Ibu," panggil Bianca.

Mayang mengerjap dan melirik keduanya bergantian.

"Baiklah, terimakasih sudah mengantarkan anak ku pulang, tapi sebaiknya kamu juga pulang karena memang sudah waktunya istirahat."

Melvin mengangguk, ia melirik Bianca di sampingnya, mungkin saja ia akan bisa merindukannya setelah berpisah, dan jika itu terjadi maka Melvin tidak akan merubah keputusannya untuk memilih Bianca.

"Jangan menatap putri ku seperti itu, tidak sopan sekali kamu."

Melvin menunduk sesaat, baiklah ia telah melupakan keberadaan Mayang di dekatnya.

"Sekarang kamu pulang, dan jangan seperti ini lagi."

"Baik, sekali lagi tolong maafkan."

"Ya sudah, tidak masalah, pergilah."

"Iya, aku permisi dulu," ucap Melvin pada Bianca.

"Hati-hati."

Melvin mengangguk, ia kembali melirik Mayang, dan salam padanya sampai akhirnya ia memasuki mobil dan melaku pergi.

"Apa benar yang kamu katakan?"

"Ibu, apa aku pernah berbohong, malam ini aku sudah menemukan pangeran impian ku, bukankah dia terlihat baik?"

Mayang tersenyum dan mengangguk, Bianca merasa begitu senang dengan malamnya itu, ia berputar girang dan meraih kedua tangan Mayang.

"Aku akan menjaganya, aku tidak akan biarkan dia pergi."

"Bianca."

"Aku menyukainya, Ibu."

Bianca kembali berputar tanpa melepaskan tangan Mayang, ia begitu gembira atas pertemuannya dengan Melvin.

"Lucu sekali," ucap Melvin.

Rupanya lelaki itu kembali menghentikan mobilnya beberapa jauh dari rumah Bianca, ia masih bisa melihat dua wanita itu di sana melalui spion mobilnya.

"Sampai seperti itu reaksinya."

Bianca masih saja bertingkah di sana, ia terlihat begitu bahagia, melompat tak jelas dan berputar seperti sedang berdansa dengan Mayang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!