"Benar, Albi. Lebih mudah melawan musuh yang jelas terlihat dari pada musuh yang sedang bersembunyi. Itu akan sangat bahaya."
Albi terdiam sejenak memikirkan apa yang mama juga Sela katakan. Namun, dia langsung mengusap kasar wajahnya selang beberapa saat kemudian.
"Masalahnya, hasil pekerjaan itu tidak pernah aku bawa ke kantor, Ma. Hasil pekerjaan itu aku tinggalkan di rumah. Mana mungkin ada pengkhianat di rumah kita."
"Ap--apa? Di--di rumah kita?"
Mama Albi terlihat sedang sangat syok dan terlalu kaget. Tentu saja itu tidak benar adanya. Tentu saja dia hanya sedang berpura-pura saja. Maklum, semua itu sudah ada di dalam genggaman mereka berdua.
Sela dan mama Albi saling pandang untuk beberapa saat. Sepertinya, mereka sedang memikirkan sesuatu. Albi yang melihat hal itu berusaha untuk tidak menghiraukan keduanya. Karena saat ini, dia sungguh sedang sangat pusing.
"Al, jangan pikir air yang tenang tidak ada buaya. Justru, saat air tenang, kamu harus lebih waspada lagi jika ingin masuk ke dalan air."
"Apa sih yang mama maksudkan. Jangan main kata-kata istilah. Aku sungguh sangat pusing sekarang. Aku tidak bisa mencerna apa yang mama katakan lewat bahasa istilah, Ma."
"Maksud mama, jangan pikir di rumah kita ini tidak bisa ada penjahat yang datang. Kamu lupa, di rumah ini tidak hanya ada kita berdua sebagai keluarga, Al. Tapi juga ada orang lain seperti, bibi, mang Toha, pak Mamat, dan juga ... istri kamu."
"Dina gak mungkin melakukan hal bodoh itu, Ma. Dia memang agak barbar sedikit. Tapi aku yakin, dia tidak mungkin melakukan hal yang membuat aku rugi. Apalagi rugi besar seperti saat ini."
"Eh ... mana kita tahu apa yang bisa dia lakukan buat kamu, Albi. Sudah mama katakan, air yang tenang jangan pikir tidak ada buaya lho, Al."
"Mama kamu mungkin ada benarnya, Al. Kita juga tidak tahu bagaimana hati manusia. Iya, kan? Sebaiknya, selidiki saja dulu semua orang yang bisa kita curigai. Oh iya, ruang kerja kamu punya rekaman cctv-nya kan? Bisa tuh kita lihat siapa saja yang masuk ke dalam ruang kerja kamu itu."
"Iya, Al. Mama kuat menaruh curiga buat istri kamu itu. Hubungan kalian kurang baik juga kan sekarang? Mana tahu dia melakukan hal ini untuk membalas kamu yang dia anggap tidak pernah bisa membahagiakan dia di rumah kita ini."
Albi tidak berucap lagi. Kata-kata mamanya bak racun yang menjalar secara perlahan, namun sangat fatal dengan menyerang organ yang paling penting bagi tubuh.
Albi pun tidak membuang waktu lagi. Dia langsung saja beranjak menuju ruang kerja tempat di mana dia bisa melihat rekaman cctv untuk ruang kerja tersebut.
Satu jam Albi di sana. Dia baru menemukan rekaman di mana Dina masuk ke ruangan tersebut dengan membawa sapu dan pel. Tidak ada kejadian yang janggal di sana. Hingga akhirnya, Dina tidak sengaja membereskan file-file yang berserakan di atas meja tersebut.
Hanya itu yang Dina lakukan, tidak ada yang janggal di rekaman itu. Hingga akhirnya, rekaman tiba-tiba mati secara mendadak. Hal itu tiba-tiba membuat Albi berpikiran yang tidak-tidak buat istrinya. Karena rekaman itu tiba-tiba menghilang saat Dina masih ada di ruangan tersebut.
"Sial! Apa yang terjadi dengan rekaman ini?"
"Tidak. Aku tidak percaya Dina melakukan hal ini padaku. Jika terbukti dia yang melakukan semua ini, aku tidak akan memaafkan dia. Selamanya tidak akan pernah. Jangan harap dia bisa hidup tenang jika benar dia pelakunya."
Suara kesal itu terdengar sampai ke luar ruangan. Mama Albi juga Sela yang mendengarkan semua itu langsung tersenyum penuh kemenangan. Meski mereka belum sampai kepuncak kemenangan, tapi selangkah demi selangkah, mereka sudah hampir berhasil.
Albi yang terlalu kesal pun langsung membanting semua barang yang ada di dekatnya. Semua barang yang bisa dia jangkau dengan tangan, semuanya dia banting.
"Aku tidak akan memaafkan mu, Dina. Tidak akan. Jika kamu terbukti mengkhianati ku, maka siap-siap saja kamu."
"Agh!"
Albi langsung memukul meja dengan keras. Selanjutnya, dia terdiam dengan tatapan tajam lurus ke depan. Tangan terkepal erat.
Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia langsung mengutak-atik benda pipih itu dengan lincah. Lalu ... sebuah panggilan tersambung di sana.
"Halo, Mas. Ada apa? Aku bentar lagi pulang kok."
Terdengar suara lemah lembut seperti biasanya di ujung sana. Hal itu tidak membuat Albi yang kesal merasa tenang. Mendengar suara itu, dia malahan semakin bertambah kesal lagi.
"Ke mana saja kamu, Dina!? Kerjaan kamu keluyuran melulu. Gak tahu pulang ke rumah apa kamu, hah! Gak tahu aku sedang pusing?"
"Ada apa sih, Mas? Kenapa kamu marah-marah padaku? Bukankah kamu tahu ini hari jumat. Aku akan ke panti asuhan jika hari jumat tiba, Mas. Aku juga udah izin padamu, bukan?"
"Pulang sekarang! Aku sedang pusing. Ingin kamu ada di rumah sekarang juga."
"Tapi, Mas .... "
"Medina! Dengar apa yang aku katakan! Pulang sekarang! Ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu di sini. Mengerti!?"
Lalu, panggilan itu langsung terputus tanpa menunggu Dina menjawab apa yang Albi katakan. Medina yang sedang berada di tengah-tengah anak-anak panti itupun berusaha tetap tenang seperti tidak ada hal buruk yang telah terjadi.
Padahal, hatinya saat ini sedang sangat sakit. Ada luka di sana yang sedang menganga akibat bentakan yang Albi berikan barusan.
Sejak beberapa bulan terakhir, hubungan keduanya memang sangat tidak baik. Hanya Dina saja yang berusaha tetap bertahan karena dia masih menganggap Albi sebagai suaminya. Sementara Albi sepertinya tidak begitu.
Karena hasutan demi hasutan yang mamanya berikan, Albi mendadak tidak memperdulikan Dina lagi. Hanya bicara seadanya. Sering menyalahkan Dina atas kesalahan kecil. Bahkan, sering menyalahkan Dina atas kesalahan yang sama sekali tidak Dina lakukan.
Hal itu sungguh menyiksa buat Dina. Tapi, atas nama cinta, dia tetap bertahan meski rasanya terlalu sakit.
Sebuah tangan langsung menyentuh bahu Dina dengan lembut. Seketika, sentuhan itu menyadarkan Dina dari lamunan akan kehidupan rumah tangga yang membuat sakit hatinya saat ini.
"Kenapa melamun, Dina? Ada apa dengan kamu sekarang?"
"Aku ... eh, nggak kok, Bu Nuri. Gak melamun."
Dina berbohong dihadapan bu Nuri, ibu pengurus panti yang selama ini sudah dia anggap sebagai ibu kandungnya. Karena memang, Dina tidak punya ibu sejak kecil.
"Ibu cukup tahu kamu, Dina. Akhir-akhir ini, ibu lihat kamu seperti sedang menyimpan beban berat di dalam hatimu. Kamu punya masalah? Jika ingin cerita, ibu bisa dengarkan apa yang ingin kamu katakan."
"Itu .... "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ🏡 ⃝⃯᷵ᎢᶬKristin⒋ⷨ͢⚤
walaupun aku belum berkeluarga..
tapi setidaknya dalam suatu hubungan ada nya kepercayaan, untuk saling melengkapi gitu loh 😔
2023-02-25
0
Cantik Jelita
Harusnya Alby selidiki Lebih jauh dong jangan asal menyimpulkan
2023-02-25
0
𝓓𝓮𝓪
🙀🙀🙀🙀kalo ada buaya gimna
2023-02-25
0