"Hah, apa aku bisa ya di bimbing sama Regaz? Tapi, kenapa bukan dia aja yang ikut olimpiade? Udah kelas tiga, masih aja di suruh gini," gumam Candy di sela langkahnya yang lambatnya.
Dia merasa jarak antara ruang guru dan kantin sangat jauh kali ini. Perutnya sudah perih karena menahan rasa laparnya sejak tadi. Langkahnya juga sangat berat, sampai-sampai ia mengira akan pingsan di koridor sekolah. Sampai akhirnya suara sayup yang ia yakini berasal dari ruang musik menarik perhatiannya, membuatnya berhenti bergumam dan mempertajam indera pendengarannya.
Ruang musik seharusnya kedap suara, terlebih dengan pintu yang tertutup rapat. Namun, ia yakin suara denting piano yang ia dengar berasal dari ruangan itu. Rasa penasaran dalam dirinya, membuatnya tanpa sadar menuntun kakinya menuju ruangan itu. Membuat suara yang di dengarnya semakin jelas.
Candy membuka pintu ruang musik yang memang tidak terkunci, dan kini matanya benar menangkap sosok seorang cowok yang duduk membelakanginya, tengah asik memainkan jarinya diatas tuts-tus piano. Tampak tak terusik oleh kedatangan gadis itu.
Candy sendiri tak berkata apapun. Entahlah, sepertinya ia terhanyut dalam lagu yang dimainkan cowok di hadapannya itu. Lagu indah yang entah bagaimana ia bisa merasakan kesedihan di dalamnya. Padahal ia tak dapat melihat bagaimana ekspresi cowok yang memainkan lagu itu.
Alunan nada itu terhenti, ketika cowok itu sepertinya menyadari keberadaan seseorang di sekitarnya. Menyadari hal itu Candy melangkah mendekati cowok itu.
"Ah, aku ganggu, ya? Maaf," ujar Candy seramah mungkin. "Tapi, permainan piano kamu bangus banget," katanya lagi.
"Hei, kenapa diam saja?" Tanya Candy bingung.
Merasa diacuhkan, Candy menghela napasnya dan berniat berbalik untuk ke luar ruangan. Namun, baru saja ia berjalan beberapa langkah sebuah suara menerpa indera pendengarannya.
"Lo lihat?!"
Candy berhenti, ia memutar badannya kembali—menatap cowok yang sedang duduk memunggunginya. "Ya?" Ujar Candy bingung.
Cowok itu berbalik, sekarang ia duduk menghadap pada Candy yang berdiri beberapa langkah darinya. Netra cokelat Candy berbalas tatap dengan Netra sekelam malam milik cowok yang duduk di bangku piano.
Untuk sesaat, Candy terdiam menatap seraut wajah datar yang balik menatapnya. Perasaannya berubah bergejolak ketika ia sadar siapa yang duduk di hadapannya kini.
"Kamu, Regaz," ujar Candy dengan suara kecil.
"Gue tanya, tadi lo lihat?!" Cowok itu berdiri, dan berjalan mendekat pada Candy—ia bertanya penuh dengan penekanan.
"Iya-eh? M-masud aku ..." Candy mulai mundur teratur ketika Regaz mendekat ke arahnya dengan raut wajah menyeramkan. Tunggu, apakah ini Regaz yang selama ini ia kagumi selama dua tahun belakang? Tapi, kenapa ia harus setakut ini?
Langkah kaki Candy tertahan oleh pintu yang terletak di belakangnya. Sementara Regaz, cowok itu menarik sudut bibirnya membentuk senyuman sinis. Ia mengukung cewek yang dengan lancang melihat sisi kerapuhannya. Selama ini, hanya tempat inilah yang aman untuk Regaz mendinginkan kepalanya. Namun sekarang, seekor tikus kecil dengan beraninya masuk ke kandang singa.
"Denger," Regaz mendekatkan wajahnya. Hal itu membuat Candy memejamkan matanya erat, ia takut. Candy bisa merasakan helaan napas panas di pipinya, sampai suara lirih berbisik di telinganya. "Awas aja kalo lo berani ngomong ke orang-orang tentang tadi," bisik Regaz.
"Nggak! Aku nggak akan ngomo-umph," ucapan Candy terpotong oleh tangan besar yang menangkup mulutnya kasar.
"Gue belum selesai ngomong! Jadi jangan coba-coba potong omongan gue! Kalo lo berani ngomong ke orang-orang tentang tadi," Regaz tersenyum manis, sangat manis. Sampai Candy di buat merinding oleh senyuman itu. "Gue mampusin lo saat itu juga!" Desisnya seraya mendorong tubuh Candy, sebelum ia meninggalkan ruangan itu.
Candy terdiam. Kedua tangannya berkeringat dingin dan gemetar. Kakinya yang lunglai luruh ke lantai. Air matanya ikut terjun deras, ia menangkup mulutnya agar isakannya tak terdengar.
Dan saat itu juga rasa kagumnya selama dua tahun belakang ini pada sosok Regaz—tak bersisa sedikitpun. Hanya rasa takut yang ia rasakan. Lalu, untuk olimpiade? Ia harus apa?
oOo
Matahari telah kembali ke perpaduannya. Candy membuka pintu cokelat sampai yang berderit, sepatunya sengaja tidak dilepas karena rumahnya masih beralaskan tanah kering. Ia lanjut melangkah ke dalam.
Hari ini benar-benar melelahkan. Tiga ulangan dalam satu hari, di tambah kejadian di ruang musik. Otaknya benar-benar panas digunakan untuk berpikir, dan matanya benar-benar berat usai menangis tadi. Dan sekarang hidupnya juga merasa terancam. Gadis itu menghela napasnya lelah.
"Kamu udah pulang?" Sebuah suara menyambutnya dari arah dapur.
Wanita paruh baya yang memakai daster berwarna hijau itu terlihat sibuk dengan adonannya. Candy berlari untuk menyalami tangannya.
"Sudah, Bu," kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman, untuk menyamarkan rasa lelahnya. "Sini adonan kuenya. Biar Eli yang terusin," Eli adalah sebutan Candy ketika di rumah.
Rutinitasnya sehabis berkutat dengan pelajaran sekolah adalah berkutat dengan adonan. Candy bukan seorang ahli masak. Ia hanya membuat jajanan warung yang biasa di titipkan ke kantin sekolah waktu pagi.
"Sudah, mandi dulu sana."
Bukannya menunjukkan adonan yang biasanya sudah di siapkan oleh Ibunya, wanita paruh baya itu justru melepas tas besar di punggungnya. Tangan yang sudah mengkeriputnya mendorong Candy ke kamar mandi.
"Nanti, Bu. Candy lapar, mau makan dulu."
"Lapar?"
Candy membalas dengan anggukan. Delapan jam selama di sekolah membuat perutnya keroncongan minta diisi. Di tambah tadi ia melewatkan jam istirahatnya. Juga, ia tidak selalu di beri uang saku seperti anak pada umumnya. Terlihat, sistem ekonomi keluarganya yang kurang.
Sadar dengan kebutuhan anak semata wayangnya, Ibunya menarik kursi yang berada di dekat kompor.
"Ya sudah makan dulu. Hari ini Ibu dapat rezeki. Kita bisa makan tahu, Eli."
Mata Candy berbinar mendengarnya. Tahu?
"Woah, pasti enak."
Menilik dalam sehari-hari lauk mereka hanya bawang yang di goreng dengan garam. Tahu sudah tergolong mewah bagi mereka. Candy tidak pernah menuntut untuk di sajikan ini itu. Diberi kesempatan untuk bernapas hari ini saja ia sudah sangat bersyukur.
Dalam sekejap sepiring nasi lengap dengan lauk yang Candy idam-idamkan tersaji di hadapannya.
"Bagaimana sekolahmu?" Tanya Ibu di sela kegiatannya.
"Baik, Bu. Tadi Eli, kerjain tiga ulangan harian."
Matanya ganti menatap sosok yang sudah mengkeriput di hadapannya. Gurat kelelahan itu benar-benar tidak bisa di sembunyikan. Terpaan rasa bersalah tanpa segan menghantamnya kuat.
Candy pernah mengajukan diri untuk putus sekolag dan membantu Ibunya bekerja. Sekolah itu mahal, meskipun ia mendapat beasiswa berupa keringanan UST. Candy tidak tega melihat Ibunya banti tulang demi perut mereka diusianya yang sudah menua itu.
Tapi, Ibunya tetaplah Ibunya. Beliau sosok keras kepala dan tidak mudah digoyahkan jika sudah berkeinginan. Izin untuk putus sekolah tidak Candy dapatkan.
"Oh, iya," ia melepaskan sendoknya dan beralihkan merogoh sakunya. "Tadi dari penjualan kue dapat 55 ribu. Kata Mbok Lim, laku semua."
Ia memberikan uang hasil penjualan kue yang di titipkan kemarin pada Ibu kantin. Ibunya menerima dengan senyuman.
"Laris, ya?"
"Iya dong. Siapa dulu yang buat? Elisa."
Ia terkekeh saat elusan hangat mampir di kepalanya. Di saat-saat begini energi yang habis menguap terisi kembali. Keresahan hatinya terhapus. Candy membisikkan harapan diam-diam. Ia tidak meminta banyak. Cukup biarkan Ibunya bernapas sampai ia bisa meraih kesuksesan dan membahagiakannya.
\=\=\=\=\=\=
-TO BE CONTINUED-
A/N: Yo Wasap Gaes ...
Jan lupa tinggalkan jejak, semoga suka..
I Purple U
Bhubhay^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
zkdlinmy
bagus nih ceritanya, sejauh ini bikin penasaran
2021-05-13
0
Shen
ada bawangnya hiks
2020-11-01
1
Dekta
bagus ceritanya thor...
saling dukung ya 😊
2020-10-31
1