Aku hanya bisa menunduk dengan lesu, sampai ibu memelukku dengan erat dan mengusap lembut kepalaku.
"Talita maafkan ayah dan ibu karena membuatmu seperti ini, kamu tenang saja ibu sudah mendaftarkan sekolahmu sebelumnya dan sudah menyiapkan rumah nenek disana untuk kamu tinggali, nanti kamu hanya perlu melakukan daftar ulang saja" ucap ibuku memberikan ketenangan,
"hmm iya ibu, aku tidak papa, aku memang tidak sepenuhnya menerima tapi mau bagaimana lagi tidak ada pilihan lain untukku, kalian jangan khawatir aku bisa menjaga diriku sendiri" ucapku sambil segera masuk kedalam taxi yang sudah disiapkan ayah.
"Ayah percaya kamu memang anak yang bisa diandalkan" ucap ayah sambil menepuk bahu kananku.
Aku lambaikan tanganku dan kulemparkan senyum pada mereka sebagai tanda perpisahan, setelah taxi yang kutumpangi melaju perlahan meninggalkan kediamanku hati ini kembali merasa hancur, hidupku sudah tidak semenyenangkan dulu lagi, semenjak kepergian kakak semua benar benar berubah secara perlahan, entah takdir apa yang sedang Tuhan rencanakan bagi aku dan keluargaku, aku menarik nafas panjang di dalam taxi hingga tak terasa sudah sampai di terminal bus, aku turun dengan mendorong koper berwarna hitam pekat milikku, kulihat sekeliling mencari tempat dimana aku bisa mencari bus tujuanku ke desa, masih aku ingat ayah mengirimkan rincian alamat di pesan wa ponselku, aku membukanya dan segera mencari bus yang dikatakan oleh ayah dalam pesannya, setelah ketemu aku langsung masuk dan berjalan di dalam bus mencari kursi yang kosong, sayangnya saat itu bus sudah padat dan hanya tersisa dua kursi kosong di sana, yang satu ada di samping seorang pria tua bertubuh gemuk yang tengah tertidur pulas dan mengorok begitu kencang, seketika aku merasa jijik dan muak melihatnya, tidak ada niatan sedikitpun untuk memilih duduk di samping pria tua seperti itu.
"Aishhhh menjijikan, kenapa juga aku harus naik bus seperti ini" ucapku dalam hati,
lalu ku tatap ke arah tempat duduk yang paling belakang nampak ada satu kursi kosong di dekat jendela aku pikir itu tempat yang tidak terlalu buruk, meski disampingnya ada seorang pria memakai masker dan hoodie hitam juga kacamata hitam sedikit terlihat misterius namun lebih baik daripada harus duduk di samping pria tua yang gendut dan berisik itu, segera aku duduk di sana agar tidak didahului orang lain.
"Permisi, apa tempat ini kosong?, bolehkan aku duduk di sini?" ucapku bertanya dengan sopan,
"duduk saja" jawab pria itu dingin,
karena pria itu sudah memperbolehkan akupun langsung duduk tanpa segan lalu mulai berbenah mencari posisi ternyaman untuk duduk di sana, sebab ini bukanlah perjalanan yang sebenar melainkan membutuhkan waktu hampir 8 sampai 9 jam lamanya hingga aku sampai di desa Simorangkir, dari namanya saja semua orang pasti sudah bisa menebak bahwa desa itu sangat jauh dari perkotaan tapi tidak terlalu pelosok juga.
Beberapa saat kemudia bus mulai melaju dijalanan, beberapa jam di perjalanan tidak ada masalah bagiku, aku nyaman dan baik baik saja sampai saat menjelang malam perutku mulai terasa tidak nyaman, kepalaku pusing dan rasanya sangat mual mungkin karena aku telat makan semenjak aku berangkat aku belum mengisi perutku lagi, dan aku juga lupa tidak membawa cemilan sama sekali aku hanya membawa pakaian dan beberapa barang penting itupun berada dikoperku, di dalam tas kecil yang aku pegang hanya ada ponsel, alamat tujuan dan dompet saja, aku bingung harus meminta bantuan pada siapa.
Aku berpikir apa yang harus aku lakukan disaat kritis seperti ini, baru saja beberapa jam aku pergi seorang diri, sekarang sudah mual dan tidak bisa menjaga diri.
"Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan, mag ku kambuh lagi, aku harus memakan obatnya, aishhh sial aku kan tidak membawa obat obatan" ucapku menggerutu kecil.
Tidak disangka ternyata gerutuanku tadi terdengar oleh pria berhoodie di sebelahku sampai tiba tiba dia memintaku untuk membuka tanganku, aku merasa heran dan bingung tapi masih tetap mengikuti perintahnya sebab dia berkata dengan sangat dingin tanpa disadari aku refleks langsung mengikuti perintahnya itu.
"Kau, berikan tanganmu" ucap pria itu memerintah,
"hah?, aku?, untuk apa?" tanyaku beruntun dan bingung,
"aku bilang ulurkan tanganmu" ucap pria itu bernada dingin.
Segara aku ulurkan tangan dan dia menaruh sebutir obat mag ditanganku, beberapa saat aku merasa aneh dan sangat kebingungan, apa sebenarnya yang dia maksud dengan menaruh obat mag di telapak tanganku.
"Aihhhh....obat?, untuk apa?" ucapku terheran sambil melihat obat yang ada di telapak tanganku.
"Apa kau idiot?, tentu saja untuk kau makan" ucap pria itu spontan.
Aku sangat kesal mendengar ucapan dari pria asing yang menyebalkan itu, ini adalah pertemuan pertama antara aku dan dia, kita sama sekali tidak saling mengenal dan bisa bisanya dia mengataiku idiot, bagaimana aku tidak kesal dengan sikapnya yang begitu sombong dan sangat mendominasi.
"Hei.... beraninya kau mengataiku idiot, ini aku kembalikan obatnya padamu" ucapku kesal sambil menarik tangan pria asing itu dan mengembalikan obat yang dia berikan sebelumnya,
"dasar gadis idiot sudah sakit begitu masih menjaga gengsi" ucap pria itu dengan suara yang kecil tapi aku masih bisa mendengarnya,
"jangan kau kira aku tidak mendengar ucapanmu barusan yah, camkan ini baik baik, pertama aku tidak bisa menerima apapun dari orang asing, kedua aku tidak suka kau mengataiku seenaknya dan ketiga aku tidak butuh obat dari orang seperti mu" ucapku dengan kesal sambil menahan mual di perutku.
Setelah aku berkata demikian pria yang hampir seluruh wajahnya tak terlihat itu malah dengan santainya menyilangkan kedua tangan dan memasukkan kembali obat tersebut ke dalam saku hoodienya, tak sedikitpun dia menyikapi atau bahkan mendengarkan ucapanku barusan, aku sungguh kesal dibuatnya.
Ingin rasanya aku membanting kepala pria tersebut ke depan kursi yang ada dihadapannya, untunglah aku tengah menahan sakit dan mual di perut sehingga tak ada tenaga untuk melakukan semua itu.
"Huuuuuhhh...benar benar menyebalkan, mana perutku sakit sekali, aduhhh kenapa semakin mual begini" gumamku dalam hati,
"owwweeekkk...oweeekkk ......." suaraku yang hampir saja muntah karena tidak kuat menahan mual.
Pria itu menatapku, dengan kacamata hitam yang dia kenakan aku jelas tidak bisa melihat bagaimana ekspresi matanya saat melihatku yang hendak muntah dan kesakitan.
"Jangan berani muntah di sampingku atau aku akan melemparmu keluar jendela" ancam pria itu,
"hah?...kenapa bisa ada pria sekejam dirimu di dunia ini" ucapku dengan mengerutkan alis.
Namun lagi lagi pria sialan itu tidak menggubris perkataan ku, benar benar tidak habis pikir mengapa ada pria model seperti itu di sampingku, sungguh menyesal aku memilih duduk disampingnya, ingin marahpun percuma itu hanya akan menghabiskan tenagaku.
Aku terus menahan mual dan sakit di perutku sampai supir bus menghentikan lajunya disebuah restoran pinggir jalan, aku merasa lega akhirnya bus berhenti sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya, aku langsung turun terburu buru dari bus dan segera memuntahkan semua isi dalam perutku di pinggir jalan begitu saja, sudah tidak peduli lagi bagaimana pandangan orang lain yang melihatku, yang terpenting bagiku aku sedikit merasa lega setelah memuntahkannya meski kepala ini masih merasa pusing dan tetap perutku tidak nyaman, aku berjalan perlahan dengan terhuyung lalu duduk di bangku yang berada di depan restoran itu, saat hendak mengambil ponsel aku baru menyadari tasku tertinggal di dalam bus, segera aku berjalan dan naik ke dalam bus mencari keberadaan tasku namun aku tidak menemukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments