Untungnya bagi Jessica, setelah kejadian malam itu, Demian sudah tidak pernah datang ke Elixir lagi.
Tiga minggu kemudian berlalu seperti biasa. Walau awalnya Jessica merasa agak bersalah karena sudah mencuri dengar masalah yang terjadi antara Demian dan Angela, perasaan itu perlahan-lahan memudar dari benaknya. Sekarang, Jessica kembali menyibukkan dirinya hanya untuk bekerja.
Terima kasih pada pengalaman tertangkap basahnya hari itu pula, Jessica sudah berhenti mencaritahu kelanjutan kisah cinta Angela yang dulu sangat membuatnya antusias. Mungkin karena sekarang Angela sudah memiliki kekasih yang selalu menempelinya, atau mungkin karena Jessica agak kecewa Demian dikalahkan malam itu. Yang mana pun alasannya, Jessica sudah menutup mata pada urusan Angela.
Rasanya agak mengecewakan ketika Demian ditolak oleh Angela, Jessica terkadang memikirkan kejadian itu sesekali ketika ia menjemur pakaiannya di pagar balkon. Ia mengingat bagaimana malam itu ia berlari tergopoh-gopoh menuju kamar, mengunci jendela dan meninggalkan segala pekerjaannya di luar.
Semuanya kacau berantakan.
Jessica tidak menyangka malam itu akan menjadi malam terakhir ia melihat Demian. Maksud Jessica, karena sekarang alasan Demian berkunjung ke cafenya sudah tidak ada, pria itu sudah pasti tidak akan kembali lagi.
"Pria tampan datang dan pergi...," Jessica bergumam sedih. Ia membungkuk dan menatap kepada gang kecil yang berada di bawah balkonnya. "Aku harap dia menemukan kebahagiaannya sendiri di luar sana."
Selepas bernostalgia dan meratapi ketiadaan Demian di cafenya, Jessica kembali ke kamar dan memulai mempersiapkan dirinya untuk pergi malam ini.
Iya, malam ini, Jessica perlu menghadiri acara reuni yang dibuat oleh teman dari sekolah menengahnya. Acara itu berlokasi di pusat kota Vegas, di tempat para hotel dan casino berdiri melingkupi kota dengan bayangan megahnya. Di antara bangunan raksasa itu pula, reuni mereka akan diadakan di sebuah pub dan bar terkenal bernama Lumon.
"Aku harap acara ini tidak akan berlangsung lama," keluh Jessica. Ia memakai sebuah short dress hitam dan sebuah blazer berwarna senada. Setelah mempersiapkan dirinya, ia turun menuju cafe dan berpamitan pada Ethan, sobat sekaligus asistennya yang biasa menggantikan Jessica.
"Hati-hati di jalan, Jesse," nasihat Ethan. "Selalu berada di keramaian dan jangan memisahkan dirimu sendirian di tempat yang sunyi dan gelap, oke?"
"Apa kau ibuku?" Jessica tertawa. "Tenang saja, aku hanya datang untuk unjuk gigi. Aku tidak akan menetap lama di sana, dan pastinya..." Jessica tidak punya alasan untuk berada di tempat gelap gulita.
Setidaknya, begitulah yang Jessica percaya.
*
Di Lumon, Jessica bertemu dengan delapan orang alumni dari sekolah menengahnya. Delapan orang terbilang cukup banyak, Jessica mengira setidaknya hanya akan ada lima atau empat orang yang hadir di sana. Selama reuni itu berlangsung, Jessica yang memilih duduk di sudut meja, memilih menyimak setiap obrolan yang bersahutan dengan senyuman.
Jessica tidak mempunyai niat untuk ikut bernostalgia atau sekedar menyahut lelucon yang keluar dari bibir teman-temannya. Tidak, karena jujur saja, Jessica bukan tipe gadis yang cukup aktif dalam bicara. Jessica, jika bukan karena ingin mempromosikan Elixir ke circle-nya, lebih memilih menetap di rumah.
"Jessica, apa kabarmu sekarang? Kudengar kau membuka sebuah cafe di Almond street." Seseorang tiba-tiba melempar topik ke arah Jessica seperti melempar bara api. Jessica seketika menegapkan tubuhnya, mengatur jawabannya dengan kecepatan kilat.
"Cafe? Aku baru mendengar ini?" Seorang alumni yang Jessica ingat bernama Samuel menyahut.
"Itu karena kau sibuk, pak Lawyer."
"Ahahaha..., yah, aku bukan orang yang biasa nongkrong di cafe." Samuel--dari sikapnya yang terlihat ceria dan selalu kikuk, sebenarnya adalah pria paling menjengkelkan dipertemuan ini. Daripada memamerkan karir pengacaranya yang gemilang, Samuel sengaja merendahkan dirinya dan berharap orang-orang di seisi meja itu meninggikannya.
Tcih!
"Jadi, Jesse, apa nama cafenya. Apa kami boleh berkunjung ke sana sesekali?" Miura--gadis Asia-America itu kembali menanyai Jessica.
"Mana mungkin aku melarang kalian mampir." Oke, pikir Jessica. Sekarang adalah saatnya marketing. "Nama cafeku adalah cafe Elixir. Seperti yang dikatakan Elina barusan, cafeku berada di Almond Street. Kami buka dari senin hingga sabtu, mulai jam delapan hingga jam sembilan malam. Kalian sangat ditunggu di sana. Aku akan sangat senang bila aku melihat kalian benar-benar datang."
Jessica menutup ucapannya dengan cengiran jenaka, 'Pastikan kalian semua datang dan memberikan publikasi menyangkut Elixir di sosial media kalian!'.
"Kami akan berusaha datang." Miura menimpali tak kalah ceria, seolah-olah ia peduli pada ucapan panjang lebar Jessica.
kepalsuan memenuhi meja itu dengan kentara. Jessica merasa pipinya encok karena terlalu banyak mengembangkan tawa dan senyuman yang tak bermakna.
Ketika topik pembicaraan kembali berotasi pada Samuel, Jessica yang bosan melempar pandangannya ke arah luar.
Di Lumon yang dilingkupi oleh dinding-dinding kaca, pemandangan jalanan di luar menjadi transparan. Jessica bisa melihat kendaraan dan manusia berlalu-lalang melewati jendela. Sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Di antara para manusia itu pula, sebuah siluet familiar tertangkap mata Jessica.
Seorang pria jangkung dengan kemeja flanel hitam melenggang melewati Lumon. Rambut ikalnya yang berantakan mengingatkan Jessica hanya pada satu orang, Demian.
'Tunggu, jika itu Demian...' Jessica--tanpa tau alasan mengapa ia begitu antusias melihat sedikit bayangan Demian--seketika berdiri. Ia, tanpa pamit, langsung mengejar siluet Demian yang termakan oleh keramaian.
Jessica terus mencari keberadaan pria itu kesana-kemari. Namun, seperti mengejar hantu, Jessica tidak menemukan sosok itu.
"Aneh," keluh Jessica pada dirinya sendiri. "Memangnya apa yang terjadi kalau aku bertemu dengannya?"
Bahkan bila mereka bertatap muka, Jessica seratus persen percaya ia akan kehilangan lisannya. Bagaimana bisa ia bicara kepada pria yang bahkan tidak pernah menatapnya?
Tidak kecuali malam itu.
Lupakan saja.
Jessica mengembuskan napasnya. Antusiasme absurd yang muncul hanya dari sekilas bayangan Demian membuat Jessica malu pada dirinya sendiri. Sejak kapan ia menjadi fangirl dari pria yang tidak ia kenali dan tidak mengenalnya sama sekali? Apa perilaku ini wajar?
Sementara ia melenggang di trotoar jalan yang senggang dan beraroma seperti kotoran kucing dan asap rokok, langkah Jessica memelan ketika ia mendengar sebuah erangan kesakitan.
Tepat di antara dua bangunan yang berdiri berdampingan, sebuah gang kecil terbentang dengan pencahayaan yang temaram. Suara itu datang lebih jelas dari sana.
Jessica mengira suara itu bersumber dari gelandangan yang biasa bersembunyi di dalam kegelapan. Namun, ketika visinya menajam, Jessica menyadari erangan itu datang dari seorang pria yang meringkuk di tanah. Darah keluar dari bibir dan hidung pria itu. Wajah babak belur dan sayu. Di depan pria yang tergeletak tak berdaya itu juga, seorang pria berdiri angkuh dengan kemeja flanel familiar di mata.
Itu adalah Demian Bellamy.
Tidak seperti penampilannya yang selalu urak-urakan, dia hadir di dalam kegelapan itu seperti monster haus darah yang dirumorkan.
Menjauh!
Aku harus menjauh!
Secepat kilat, Jessica menyeret kakinya menjauh dari sana. Instingnya menjerit seperti alarm kebakaran yang berdengung di telinga dan kepalanya.
Penampakan Demian saat itu bagaikan penampakan malaikat maut yang menyapa korbannya. Jessica tidak menyangka, pria yang ia kejar siluetnya, sekarang adalah pria yang ia takuti keberadaannya.
Huft, Jessica. Hampir saja kau mengantar ajalmu dengan cuma-cuma.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments