Celia menggigit bibir yang terus gemetar. "Kak, aku bukan Celine yang dulu lagi. Aku tidak mau hidup sebagai dia. Anggap saja Celine memang sudah mati. Jangan cari aku lagi setelah ini."
Jangan cari aku lagi. Anggap sudah mati?
Levin mengepalkan kedua tangannya yang bertumpu pada tembok dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia juga terlihat mengeraskan rahangnya dan menatap tajam Celia yang sedang tertunduk. "Apa kau bilang?"
Celia menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan kemudian menatap manik Levin dengan dalam. "Kak, akan lebih baik kalau aku tidak pernah muncul lagi di hadapan kalian. Aku sudah menghapus semua kenanganku di masa lalu. Berpura-puralah tidak mengenalku. Akan lebih baik kalau kita menjalani hidup masing-masing seperti sebelumnya."
Aura dingin seketika menguar dari tubuh Levin. Dia nampak berusaha menahan diri agar tidak lepas kontrol setelah mendengar ucapan Celine. "Apa kau tidak merindukan mama?"
Air mata Celine kembali menetes. Tentu saja dia sangat merindukan Jelsyn. Wanita itu, sudah seperti ibu kandungannya. Selain dia, tidak ada lagi orang yang memperlakukannya dengan baik setelah ibunya meninggal.
"Mama akan baik-baik saja tanpa aku, lagi pula, ada kau dan Jen sebagai anaknya. Aku tidak mau merusak kebahagian kalian dengan kedatanganku lagi di keluarga kalian, jadi lebih baik mereka menganggap aku sudah tiada." Nada bicara Celine nampak bergetar dan air matanya kembali menetes.
Deru napas Levin semakin berat dan tatapannya semakin tajam dan dingin. "Beri aku satu alasan kenapa kau tidak mau kembali. Jika kau tidak bisa memberikan alasan kuat padaku, jangan harap aku melepasmu."
Celine meremas kedua tangannya semakin kuat. Dia tidak bisa mengeluarkan suaranya, meskipun mulutnya sudah terbuka. Setelah menunggu cukup lama, tapi tidak juga mendengar jawaban dari Celine, Levin kembali membuka mulutnya.
"Kalung ini tidak akan aku berikan padamu sebelum kau menjawab pertanyaanku." Levin akhirnya berjalan ke sofa meninggalkan Celine yang terdiam membeku di belakang pintu.
Saat melihat Levin sudah duduk di sofa sambil menatap ke arahnya, Celine memberanikan berbicara dengannya. "Baiklah, simpan saja kalung itu. Aku tidak akan mengambilnya lagi. Lagi pula, itu milik ibumu, kau lebih berhak memilikinya," ucap Celine, "Kedepannya kita sudah tidak memiliki urusan lagi jadi aku harap kita tidak saling mengganggu." Setelah mengatakan itu Celine membuka pintu lalu pergi.
Levin yang tidak menyangka kalau Celine akan pergi begitu saja tanpa meminta kalungnya nampak tertegun dengan mata melebar. Dia bahkan terdiam selama beberapa detik sebelum menyusul Celine. Dia kemudian berjalan cepat ke arah luar dan menyusul langkah Celine yang terlihat sudah mau sampai di depan lift.
Sebelum dia berhasil mengejar Celine, pintu lift terbuka dan Celine pun begegas masuk. "Celine tunggu!"
Terlambat, pintu lift sudah tertutup. Levin langsung mengumpat. Dia kemudian menekan tombil tanda panah bawah di lift sebelahnya. Erzio dan Jeniffer yang bersembunyi di tembok dekat lift nampak ternganga setelah mendengar ucapan Levin. Mereka dengan jelas mendengar Levin memanggil Celine pada Celia.
Setelah Levin masuk ke lift sebelahnya, Erzio dan Jeniffer akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka berdua nampak menatap tidak percaya ke arah lift dengan wajah terkejut.
"Kak, apa kau mendengar kak Levin memanggilnya dengan nama Celine? Apa kakakku sudah mulai gila? Apa kita harus memberitahu mama kalau kakak mulai depresi?" ujar Jeniffer sambil mengguncang bahu Erzio dengan kuat.
"Jen, tolong pukul aku. Mungkin saja ini cuma mimpi," ucap Erzio tanpa menoleh pada Jenifer.
"Aaww, sakit Jen!" pekik Erzio saat merasakan pukulan kuat di bahu kanannya.
"Kau yang menyuruhku untuk memukulmu, kenapa sekarang kau marah?" ujar Jeniffer dengan wajah cemberut.
Erzio kemudian menoleh pada Jeniffer. "Kau itu pria atau wanita? Kenapa tenagamu besar sekali?"
"Maaf Kak. Aku terlampau bersemangat," ucap Jeniffer dengan wajah bersalah.
"Lebih baik kita segera kembali. Jangan sampai Levin tahu kalau kita mengintipnya sedari tadi."
Di lantai bawah, Levin terlihat berlari kecil ke arah loby. "Celine!" panggil Levin ketika melihat Celine membuka pintu taksi.
Sayang sekali, Levin harus menelan kekecawaan karena Celine mengabaikan panggilannya dan memilih pergi menaiki taksi tersebut. Levin nampak hanya berdiri sambil menatap taksi yang membawa Celine pergi dengan tatapan penuh kemarahan.
*******
Erzio masuk ke dalam ruangan Levin setelah pekerjaannya selesai. Seperti biasanya, mereka akan pulang bersama setelah jam kantor berakhir. Dia terlihat berjalan menuju dinding kaca yang berada di belakang meja kerja Levin saat melihat Levin sedang berdiri sana.
"Vin, aku lihat belakangan ini kau tidak fokus dalam bekerja. Kau terlihat sering malamun. Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?" Erzio bertanya pada Levin setelah dia berdiri di sampingnya.
Setelah kejadian malam itu, Erzio tidak pernah berani bertanya pada Levin mengenai kejadian malam itu. Dia juga tidak pernah membahas ataupun menyinggung soal Celia ataupun Celine. Dia sengaja menuggu Levin sendiri yang bercerita padanya, tapi ternyata sudah seminggu berlalu, Levin belum juga mau bercerita.
Dia justru semakin tertutup dan lebih banyak diam. Dia bahkan beberapa kali keluar kantor untuk urusan tidak jelas tanpa mengajaknya, padahal biasanya, apapun itu, Levin selalu mengajaknya pergi bersama. Wajahnya juga terlihat seperti memiliki masalah yang berat. Beberapa kali, Erzio memergoki Levin merokok di apartemennya, padahal dari dulu dia sangat membenci bau asap rokok.
"Celine, tidak mau mau kembali ke Indonesia. Sudah seminggu lebih dia menghindariku," jawab Levin akhirnya setelah terdiam selama 5 detik.
Selama seminggu ini, Levin mencari di mana keberadaan Celine. Beberapa kali dia datang ke tempat Celine bekerja, tetapi Celine tidak pernah terlihat. Saat berhasil menemukannya, dia sedang bersama dengan Jefry. Levin tidak memiliki kesempatan sedikitpun untuk berbicara dengan Celine sampai sekarang.
Erzio mengernyit mendengar nama Celine di sebut. "Vin, Celine sudah meni...."
"Celia adalah Celine. Aku sudah memastikannya sendiri," potong Levin cepat, "dia juga sudah mengakui dirinya Celine."
Erzio seketika menoleh pada Levin dengan wajah terkejut. "Gilaaa... Bagaimana bisa? Lalu kejadian kebakaran itu?"
Levin bergeming. Dia masih setia menatap ke arah pemandangan luar dengan wajah datarnya. "Aku belum sempat bertanya. Dia sudah tidak mau berhubungan denganku ataupun keluargaku lagi. Sepertinya, dia sangat membenciku."
Meskipun kecil, tapi Erzio bisa mendengar helaan napas dari Levin. "Vin, ada baiknya kalau kau melepasnya. Bukankah selama ini kau mencarinya karena ingin memastikan kalau dia hidup dengan baik atau tidak setelah kepergiannya?"
"Aku tidak bisa melepasnya. Dia belum memberitahukan padaku alasan kenapa dia tiba-tiba menghilang dan hidup sebagai Celia."
"Vin, seharusnya kau sadar, dengan dia menghindarimu dan dia tidak mau bertemu denganmu, itu artinya dia sudah tidak mau diganggu olehmu lagi. Biarkan saja dia menjalani hidupnya. Dia juga terlihat baik-baik saja. Kau tidak perlu mengkhawatirkan dirinya lagi, sudah ada Jefry yang menjaganya."
Pupil mata Levin mengecil dan sorot matanya menjadi dingin. "Bagaimana kalau malam ini kita ke club untuk menghilangkan penat? Josep mengadakan pesta di tempat waktu itu."
Setelah berpikir selama beberapa saat, akhirnya Levin menyetujui ajakan Erzio. Dia memang butuh hiburan. Malam harinya, mereka langsung menuju club malam yang dimaksud oleh Erzio. Mereka terlihat menuju ruangan VIP yang sudah dipesan oleh Josep. Ketika dia akan naik ke lantai atas, dia tidak sengaja melihat Celine sedang duduk tidak jauh dari meja bartender sendirian.
Baru saja dia akan menghampiri Celine, terlihat beberapa pria mendekatinya. Akhirnya Levin mempercepat langkahnya ketika beberapa pria terlihat mulai berlaku kurang ajar pada Celine. "Lepaskan aku! Menjauh dariku!" Celine menghempaskan tangan salah satu pria yang tadi berhasil memegang tangannya.
"Biar aku temani, Nona. Bagaimana kalau malam ini kita bersenang-senang," ucap pria yang berdiri di sebelah kanan Celine.
Ketika salah satu pria itu ingin menyentuh tangannya, Celine berteriak. "Jangan ganggu dia!" Suara tinggi Levin membuat Celine dan 3 pria itu seketika melihat ke arahnya.
"Kau kekasih wanita ini?" tanya salah satu pria yang berkumis tipis.
"Pergilah dari sini. Sebelum kalian mendapat masalah," sahut Erzio yang berdiri di belakang di samping Levin.
Karena tidak mau terlibat masalah, mereka akhirnya menjauh dari Celine. Dengan rahang mengetat dan tatapan tajam, Levin bediri di depan Celine. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau sengaja ingin menggoda pria lain dengan pakaianmu itu?"
Mendengar tuduhan kejam dari Levin, wajah Celine seketika memerah karena marah. "Itu bukan urusanmu. Jangan pernah mencampuri urusanku lagi. Kedepannya, apapun yang terjadi padaku, jangan pernah muncul di hadapanku lagi," ujar Celine dengan ketus.
"Tentu saja ini urusanku. Kau adalah adikku."
Jawaban Levin menbuat Erzio terngaga. Selama ini, Levin tidak pernah sekalipun mau menganggap atapun menyebut Celine sebagai adiknya. "Aku tidak memiliki Kakak sepertimu," ujar Celine dengan wajah dinginnya.
Ketika Celine ingin melangkah pergi, tangannya ditahan oleh Levin. "Celine, jangan terus-terusan menguji kesabaranku. Ikut aku pulang sekarang juga."
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Edah J
Celine udah diakui jd adik bentar lagi jadi istri😁
2023-01-31
0