Levin tersenyum miring mendengar itu. "Kita perlu bicara. Kau tidak perlu khawatir, tidak akan ada yang berani masuk ke sini sebelum aku keluar dari sini. Kau juga tidak bisa keluar dari sini sebelum aku selesai bicara denganmu."
Celia mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
Levin maju tiga langkah dari tempatnya berdiri, menunduk lalu mengurung Celia dengan cara meletakkan kedua tangannya di tepi meja rias kemudian mendekatkan wajah mereka hingga membuat wajah Celia semakin menegang. Celia bahkan bernapas sangat pelan saat merasakan hembusan napas Levin menerpa wajahnya.
"Apa kau belum mengerti juga maksud dari perkataanku?" tanya Levin dengan suara berat. Dia terus menunduk, menatap wajah Celia yang sedang menunduk juganmenghidari tatapan matanya.
Tentu saja Celia mengerti, hanya saja dia tidak menyangka Levin akan menggunakan pengaruhnya sebagai sponsor hanya untuk berbicara dengannya. Celia mendongakkan kepalanya kemudian menatap berani pada Levin. "Tuan Levin, sebenarnya ada apa denganmu? Kenapa kau selalu menggangguku?"
Belum sempat Levin menjawab, ponsel Celia berbunyi. Keduanya menoleh ke arah tas Celia yang berada di atas meja rias. Levin kemudian bangkit dan berdiri tegak saat Celia berbalik untuk mengambil ponselnya. Dia membiarkan Celia untuk mengangkat telponya lebih dulu.
"Aku harus pergi, Tuan Levin. Kekasihku sudah menungguku." Tanpa menunggu respon dari Levin, Celia beranjak dari duduknya setelah meraih tasnya kemudian berjalan ke arah pintu.
Levin tidak mencegahnya. Dia membiarkan Celia pergi. Dia nampak termenung sesaat sambil menunduk. Saat dia akan berbalik, dia melihat cahaya kilauan di lantai. Levin kemudian membungkuk, meraih benda itu lalu tersenyum penuh arti. Dia memasukkan benda itu ke saku celananya kemudian berjalan ke arah pintu.
Sebelum Levin sempat membuka pintu, pintu tersebut tiba-tiba terbuka. Ternyata Celia yang kembali masuk. Dia mengabaikan Levin dan berjalan melewatinya dan berjalan ke sana kemari sambil menunduk, seperti sedang mencari sesuatu. Wajahnya terlihat panik dan cemas saat tidak menemukan benda yang sedang dia cari.
"Apa kau sedang mencari kalung ini, Celia?" Levin mengangkat tangan kirinya yang sedang memegang kalung yang menjuntai ke bawah dan memperlihatkan pada Celia dengan wajah datarnya.
Celia yang sedang membungkuk di depan meja ruas seketika menoleh ke belakang. Kelopak matanya melebar lalu dia bergegas menghampiri Levin.
"Kembalikan kalungku," ucap Celia seraya menengadahkan tangannya ke arah Levin dengan wajah dinginnya.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" tantang Levin dengan wajah arogannya. Dia sengaja memancing kemarahan Celia karena dia terus saja menghindarinya saat dia akan berbicara.
"Tuan Levin, kalung itu milikku. Aku mohon kembalikan padaku." Nada bicara Celia mulai melembut tidak seperti biasanya yang selalu ketus.
Levin maju selangkah, menatap kalung itu sejenak lalu tersenyum miring. "Benarkah ini milikmu? Apa kau yakin ini milikmu?" tanya Levin dengan seringainya.
Celia berusaha menahan diri agar tidak terpancing oleh Levin. Dia tahu kalau Levin sengaja ingin mempermainkannya. "Itu memang milikku. Ibu angkatku yang memberikan padaku jadi itu memang milikku."
Levin memasukkan kalung itu ke dalam gengamannya kemudian berkata dengan dingin. "Jika kau ingin kalung ini, temui aku di apartemenku. Kapanpun kau bisa datang untuk mengambilnya." Selesai bicara, Levin langsung pergi dari sana.
"Tuan Levin tunggu!" Celia berusaha mengejar Levin, tapi dia sudah meraih pintu.
"Levin, kembalikan kalungku." Levin mengabaikan Celia dan pergi dari sana.
Celia menghela napas kasar kemudian keluar dari ruangan itu. Saat dia keluar, masih banyak orang di panggung belakang, Celia ingin mengejar Levin, tetapi takut menarik perhatian. Dia terpaksa membiarkan Levin pergi.
"Celia, kau ke mana saja? Aku sudah mencarimu sedari tadi." Jefry menghampiri Celia yang sedang berdiri di depan ruangan tata rias.
"Maaf Jef, tadi barangku ada yang ketinggalan di dalam."
Jefry tersenyum lalu merangkul pinggang Celia. "Kalau begitu, ayoo, kita pulang."
*******
Setelah mengantarkan Alea dan adiknya ke apartemen sebelah, Levin dan Erzio masuk ke dalam apartemen Levin. Mereka sengaja meminta Alea dan Jeniffer untuk tidur di apartemen Erzio karena lokasi apartemen Levin dan Erzio lebih dekat dari lokasi fashion show dari pada apartemen Alea, apalagi malam juga sudah larut.
"Vin, kau menemuinya, kan, tadi?" tanya Erzio setelah mereka masuk ke dalam apartemen Levin.
Dengan wajah malas, Levin merebahkan tubuhnya di sofa. "Kau mengikutiku?"
"Aku hanya khawatir kau akan membuat masalah, apalagi ada Jefry di sana. Jangan sampai dia tahu kalau kau menemui Celia diam-diam." Erzio ikut duduk di samping Levin dengan wajah lelah.
"Aku tidak peduli dengannya. Biarkan saja dia tahu," ucap Levin dengan acuh tak acuh.
Levin nampak sedang berpikir. Saat dia keluar dari ruangan rias tadi, dia sempat melihat Jefry sedang berdiri tidak jauh dari ruangan itu. Levin rasa, Jefry pasti tahu kalau dia bertemu dengan Celia di dalam ruangan itu.
"Kerjasama kita bisa hancur kalau sampai dia tahu kau berusaha mendekati kekasihnya, Vin. Dia tidak akan diam kalau sampai tahu kau terus mengganggu kekasihnya."
Levin tidak menggubris ocehan Erzio dan memilih meraih ponselnya dan menghubungi Seseorang. "Halo, Ma." Levin kemudian bangun dari tidurnya dan berjalan ke arah jendela.
"Aku ingin menanyakan sesuatu pada mama."
Erzio memicingkan matanya sambil memasang telinganya untuk mendengar pembicaraan Levin, tetapi suara Levin perlahan mengecil dan tidak lama setelah itu, dia mengakhiri panggilan telponnya kemudian berjalan ke arah sofa kembali.
"Apa kau bertanya pada mama mengenai kalung itu?" tanya Erzio setelah melihat Levin duduk di sofa dengan raut wajah dinginnya.
"Vin, kau tuli ya? Aku bertanya padamu!" Erzio merasa kesal melihat Levin yang mengabaikan pertanyaannya.
Levin kemudian berdiri. "Temani aku minum."
Erzio mengerutkan keningnya dengan wajah heran, meskipun begitu, dia tetap mengikuti Levin menuju pintu luar. Baru saja mereka akan keluar dari loby, Celia terlihat baru saja turun dari mobil. Tatapannya langsung tertuju pada Levin yang sedang berdiri tidak jauh dari pintu loby.
Celia dengan wajah sungkan menghampiri Levin dan Erzio. "Aku ingin berbicara denganmu."
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Kalian bicaralah," ucap Erzio sambil menoleh pada Levin.
Levin terlihat mengangguk. Setelah berpamitan pada Celia juga, Erzio melangkah pergi menjauh dari mereka berdua. Bukan ke kembali ke apartemennya, melainkan bersembunyi di belakang tembok di dekat sofa yang ada di loby. Erzio nampak mengamati mereka berdua dari kejauhan.
"Kak Zio..! Apa yang kau lakukan di sini?" Erzio terlonjak kaget mendengar suara keras dari arah belakang.
Erzio menoleh ke belakang sambil meletakkan jari telinjuknya di bibir. "Sssttttttt, kecilkan suaramu, Jen."
Jeniffer terlihat bingung melihat tingkah aneh Erzio. "Ada apa? Kau sedang melihat siapa?" tanya Jeniffer sambil menatap ke arah di mana Erzio tadi melihat.
"Sini cepat." Erzio menarik tangan Jeniffer agar bersembunyi di belakangnya lalu kembali menatap ke arah Levin.
"Kenapa kau mengintip kak Levin?" tanya Jeniffer yang juga ikut menatap ke arah kakaknya, "bukankah itu kak Celia?"
"Iyaa, benar."
"Lalu kenapa kau bersembunyi di sini? Kenapa tidak menghampiri mereka berdua?"
Erzio menoleh ke samping sebentar. "Jangan ganggu mereka atau Levin akan marah padamu."
Jeniffer mengerutkan keningnya. "Memangnya kenapa? Apa ada sesuatu diantara mereka berdua? Aku lihat belakangan ini kak Levin sering kali menghampiri wanita itu. Apa kak Levin tertarik dengannya?" cecar Jennifer seraya menatap ke arah kakaknya dan Celia.
"Itu karena Levin penasaran dengannya. Levin bilang dia mirip sekali dengan Celine. Dia bahkan berkata dengan yakin kalau Celia itu memang Celine," jawab Erzio tanpa menoleh pada Jeniffer.
Mendengar itu seketika Jeniffer memekik. "Apa? Kau bilang mirip siapa?" tanya Jeniffer dengan mata membesar.
"Kecilkan suaramu Jen atau Levin akan mendengarnya nanti," ucap Erzio sambil menoleh pada Jeniffer. Dia kemudian bertanya dengan serius pada Jeniffer, "Dulu kau sangat dekat dengan Celine, bukan? Coba perhatikan dengan seksama, apa menurutmu dia mirip Celine?"
Jeniffer kembali menatap ke arah Celia selama beberapa detik. "Mirip apanya? Mereka sama sekali tidak mirip," jawab Jeniffer dengan wajah tidak suka. "hanya warna bola matanya saja yang sama, lainnya sangat berbeda dengan kak Celine. Wajah mereka pun tidak mirip sama sekali."
"Kita sudah tidak bertemu dengannya selama 10 tahun Jen, mungkin saja wajahnya sudah berubah," ucap Erzio.
"Kalau dia memang kak Celine lalu kenapa dia tidak mengenali kita semua? Lagi pula, kak Celine itu lemah lembut, sangat pendiam dan juga pemalu, berbeda sekali dengan wanita itu, jadi tidak mungkin dia kak Celine."
Erzio manggut-manggut. "Aku juga merasa dia bukan Celine, tapi kenapa Levin begitu yakin kalau Celia adalah Celine?"
"Aku rasa kakak mulai frustasi karena tidak bisa menemukan kak Celine, maka dari itu, dia mulai depresi dan mengatakan hal yang tidak masuk akal."
Saat mereka berdua sedang berdebat, terlihat Levin dan Celia berjalan ke arah lift kemudian masuk ke dalam lift setelah pintunya terbuka.
"Ke mana mereka akan pergi?" tanya Jeniffer dengan wajah penasaran.
"Ke mana lagi kalau bukan ke apartemen kakakmu." Erzio kemudian berdiri dengan tegak, "ayo cepat, kita harus segera naik juga. Aku sangat penasaran apa yang akan mereka lakukan."
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Edah J
Gak coba vc sama mamanya Levin😁✌️
supaya liat Celia sudah
pasti mamanya lebih jeli✌️
2023-01-31
0