“Aaahh, maafkan aku. Aku tidak sengaja.” Emilia reflek
meminta maaf bahkan sebelum mengetahui siapa yang dia tabrak karena berjalan
cepat tanpa melihat kearah depan dengan baik.
“Hmm,” Hanya deheman yang menjadi jawaban permintaan maaf
Emilia.
“Aahh, tuan Julian. Maafkan aku, aku tidak melihat tuan
disini.” Emilia membungkukkan badan berkali-kali meminta maaf pada direktur
tempatnya bekerja. Mungkin tuan Julian sedang menuju toilet lelaki yang
letaknya di sebelah toilet perempuan, makanya bisa tabrakan dengan Emilia tanpa
sengaja.
Pria bernama Julian itu tidak menjawab atau mengatakan
apapun. Dia berjalan lurus melewati Emilia dan masuk ke dalam toilet pria.
“Huft, dia selalu arogan dan sikapnya tidak bersahabat dari pertama
aku bekerja.” Emilia bergumam sendiri dan masuk kedalam toilet wanita.
Gumaman Emilia ternyata terdengar oleh Julian yang belum
menutup rapat pintunya. Pria itu menghela napasnya dan berjalan menuju wastafel
untuk mencuci tangannya.
Sebenarnya, begitu melihat Emilia berjalan menuju ke toilet,
Julian reflek ingin berjalan menuju ke toilet agar bisa berpapasan dengan karyawan
perempuan yang langsung memikat hatinya sejak pertama kali bertemu. Saat itu
Julian baru saja di tempatkan di kantor cabang yang ada di Indonesia, setelah
sebelumnya pria itu menempati posisi penting di kantor pusat yang berada di
Italia. Emilia yang sudah bekerja sebagai manajer marketing di perusahaan itu,
mendapatkan kesempatan untuk sering bertemu dan rapat dengan Julian. Seiring berjalannya
waktu, Julian mulai merasakan benih-benih cinta pada perempuan yang sangat
sederhana namun memiliki prinsip yang tegas dan kuat.
Sayangnya, pernyataan cinta Julian pada Emilia harus
dipendam dalam-dalam karena Emilia sudah menerima lamaran dari pria yang bukan
pacarnya. Ya, Julian tahu kalau lamaran itu terjadi karena factor paksaan dari
keluarga Emilia. Tapi, biar bagaimanapun, Julian tidak akan pernah berniat
merebut apa yang sudah menjadi keputusan orang lain. Terlebih lagi, dia sendiri
belum menyatakan cinta pada Emilia dan Emilia juga belum mengetahui kalau
sebenarnya Julian menyukainya.
Saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Emilia sudah menunggu
di kafe tempat dimana dia dan Roy berjanji untuk bertemu sepulang bekerja. Tidak
dapat dipungkiri, kalau jantung Emilia berdegup kencang menunggu pria yang akan
menjadi suaminya itu. Pria yang bahkan tidak pantas disebut sebagai seorang suami
karena sikap dan sifatnya yang membuat Emilia jijik mendengarnya. Dulu Emiilia menyetujui
saja permintaan neneknya untuk menikah dengan Roy, karena Emilia berkeyakinan
kalau Roy adalah tipe pria yang ideal untuk menjadi seorang suami.
Sikap pria itu yang santun pada neneknya, tidak pernah
keberatan jika Emilia harus bekerja lembur bahkan saat harus masuk kerja di
akhir pekan. Emilia seolah menemukan pria yang membuatnya yakin untuk melepaskan
masa lajangnya dan juga karirnya. Namun, itu adalah Emilia yang dulu. Setelah mimpi
menyeramkan itu, bahkan Emilia tidak yakin kalau itu disebut mimpi. Mimpi itu
lebih tepatnya adalah kehidupan di masa depan dan kini dia dilemparkan kembali
ke kehidupan saat ini untuk memperbaiki dirinya.
“Emilia, apakah kamu sudah menunggu dari tadi?” Suara Roy
dari kejauhan yang menyapanya, membuyarkan lamunan Emilia. Baru saja Emilia ingin
menjawab pertanyaan Roy, tiba-tiba dia mengurungkannya karena melihat seseorang
dibelakang Roy ikut masuk dan tersenyum lebar padanya.
“Lia, lama tidak berjumpa. Aku tadi kebetulan bertemu dengan
Roy di luar dan ternyata kalian akan bertemu disini. Jadi, aku sekalian mampir
saja. Apakah aku tidak mengganggu kalian?” Perempuan yang berselingkuh dengan
suaminya, sekaligus sepupunya, Netta, tersenyum penuh ceria pada Emilia dan
Roy.
“Tentu saja tidak. Ini kan tempat umum. Siapapun berhak
untuk masuk. Bukan begitu, Emilia?” Tanya Roy pada Lia yang tersenyum getir.
“Iya, tentu saja.” Jawab Emilia. “Topeng yang kalian mainkan
ternyata sudah dimulai dari sekarang. Aku tidak akan pernah bodoh lagi
menganggap semua itu hanya pertemanan biasa. Netta, aku kecewa padamu.” Ucap Emilia
dalam hati.
Roy duduk disebelah Emilia sedangkan Netta duduk dihadapan
Roy. Mereka bertiga masih ingin menikmati sensasi minum kopi di kafe dengan
suasana yang nyaman dan menenangkan.
“Oya, ibuku sudah tidak sabar untuk bertemu kamu. Sepertinya
kalian akan akrab karena kalian memiliki persamaan satu sama lain.” Ucap Roy,
masih dengan sikap santai dan sesekali tersenyum lebar. Emilia tidak tertarik
dengan ucapan Roy, dia justru tertarik dengan ekspresi yang ditunjukkan Netta. Sepupunya
itu tampak diam sambil tersenyum terpaksa. Ekspresi yang mengartikan kalau dia
tidak nyaman dengan situasi yang ada sekarang dan tidak ingin mendengarnya.
Emilia tergoda untuk memancing respond Netta lebih jauh.
“Oh begitu. Oya, setelah kita menikah, kemana kita akan berbulan
madu? Lalu, kita akan tinggal dimana?” Emilia bertanya pada Roy dengan senyum
lebar, seolah-olah dia tertarik dengan pernikahan ini. Lagi-lagi ekspresi Netta
tampak kesal dan bibirnya menyeringai sinis. Perempuan itu tidak pandai menutupi
perasaan yang ada didalam hatinya.
“Oh itu, aku belum memutuskan kita akan berbulan madu
dimana. Tapi, aku sudah mengambil cuti untuk hari pernikahan kita dan liburan bulan
madu. Kamu mau kemana, aku terserah kamu saja.” Ucapan manis Roy inilah yang
membuat Emilia mabuk kepayang dan lupa akan jati dirinya.
“Baiklah. Apakah kita bisa pergi sekarang?” Emilia bertanya
pada Roy dan Netta dengan senyum lebar seolah dia tidak mengetahui siasat licik
dua orang yang ada didekatnya ini.
“Tentu saja, lebih cepat lebih baik. Aku akan membayar kopinya.
Kalian tunggu disini saja.” Roy pun bergegas menuju meja kasir untuk membayar
tagihan kopi mereka bertiga.
“Lia, aku iri padamu.” Tiba-tiba Netta berkata yang membuat
Emilia cukup kaget mendengarnya.
“Iri? Kenapa kamu iri?” Emilia tersenyum dalam hati.
“Aku iri karena kamu mendapatkan calon suami yang mapan karirnya,
keluarganya pun sangat menerima kamu, dan Roy adalah lelaki yang sangat diidolakan
banyak wanita.” Ucap Netta sambil mengaduk-aduk dan menatap kopi machiattonya
dengan sendu. Emilia tersenyum tipis mendengar ucapan sepupunya.
“Bagaimana hubungan kamu dengan Bram? Bukankah kalian sudah
berpacaran cukup lama?” Emilia memanfaatkan kesempatan ini dengan mengorek
urusan pribadi Netta.
“Bram tidak seperti Roy yang berani untuk serius melangkah
ke jenjang selanjutnya. Dia masih fokus ke pekerjaannya dan tidak mau menikah
dalam waktu dekat ini. Padahal, aku ingin sekali segera menikah dan memiliki
anak.” Jawab Netta lagi.
“Kalau begitu, kamu putuskan saja hubungan kamu dengan Bram
dan mulai menjalin hubungan dengan lelaki lain. Mudah kan?”
“Itu tidak semudah yang kamu katakana, Lia. Aku dan Bram sudah
berhubungan sangat jauh dan … aku rasa, tidak aka nada pria yang mau menerima wanita
yang sudah tidak perawan seperti aku.” Jawab Netta, sambil mengerutkan
bibirnya.
Emilia sesungguhnya sangat terkejut. Bram yang terlihat lugu
itu ternyata sudah berhubungan jauh layaknya suami istri dengan Netta. Memang,
jangan pernah menilai seseorang dari tampilan luarnya saja.
“Ayo, kita langsung menuju rumah ibuku.” Roy datang dengan
wajah cerianya dan mengajak Emilia dan Netta untuk keluar dari kafe.
“Aku boleh ijin menumpang di mobil kamu? Karena hari ini aku
sedang tidak membawa mobil.” Netta bertanya dengan wajah memelas pada Roy. Roy menatap
Emilia untuk meminta persetujuannya.
“Tentu saja, kenapa tidak?” Jawab Emilia.
“Ah benarkah? Terima kasih banyak. Kalau begitu, ayo kita
segera keluar. Ibu kamu pasti sudah tidak sabar untuk bertemu calon menantunya.”
Netta mengedipkan satu mata pada Emilia dengan senyum bersahabat. Namun, siapa
sangka dibalik topeng ramahnya, tersimpan kebencian yang teramat sangat yang
ada di dalam hati Netta untuk Emilia.
Netta sangat membenci Emilia sejak merea masih kecil karena
Emilia selalu mendapatkan juara kelas dan di setiap lomba yang diikutinya. Semua
orang memujinya, begitu juga dengan kedua orangtua Netta yang merupakan om dan
tante Emilia. Namun, tidak dengan Netta yang selalu kalah dalam segala hal. Netta
mendekati Emilia hanya agar bisa ikut terkenal dan ikut menjadi pusat perhatian
saja.
Emilia tersenyum sinis melihat senyuman yang diberikan Netta.
Tentu saja Netta tidak melihat ekspresi yang diberikan Emilia. Roy berjalan
dibelakang dua perempuan. Tanpa sepengetahuan mereka, seorang pria menenggak
kopi dalam satu napas. Rahangnya mengeras dibalik topi baseball yang
dikenakannya. Dialah Julian yang mengganti setelan jas kerjanya dengan kaos dan
jaket juga topi casual. Pria itu telah berada didalam kafe saat Emilia masih
duduk sendiri menunggu calon suaminya, Roy.
Emilia duduk di sebelah Roy yang mengemudikan mobil,
sementara Netta duduk di kursi penumpang tepat di belakang Roy. Emilia bisa
melihat dari sudut matanya kalau Roy sesekali melirik kearah Netta duduk dari
kaca spionnya. Namun, daripada cemburu, Emilia justru menyeringai sinis dan
tersenyum sambil memalingkan wajahnya kesebelah kirinya.
“Aku berhenti didepan saja. Terima kasih, Roy dan Emilia. Maaf
kalau aku sudah mengganggu kalian.” Ucap Netta sebelum turun di tempat yang
ditunjukkan olehnya.
“Hati-hati dijalan, Net. Kamu yakin kamu tidak apa-apa
sendirian kan? Langit menjelang malam, kamu cepat pulang ya.” Ucap Emilia
sambil tersenyum lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments