If I Could Turn Back The Time!
“EMILIA! EMILIA!“ Suara seorang wanita yang sudah hapal sekali di telinga seorang perempuan yang sedang terbaring lemah tak berdaya di atas tikar depan tv, membuat perempuan bernama Emilia itu mengurungkan niatnya untuk memejamkan mata sejenak setelah membersihkan rumah. “Seharusnya kamu jadi istri itu tahu diri! Jangan hanya diam dirumah asyik menonton tv, sementara suami sibuk bekerja dari pagi sampai malam. Kamu hanya enak-enak menghabiskan gaji anakku saja!” Sonia yang baru saja datang kerumah anaknya, mendapati Emilia yang sedang berbaring didepan TV yang sedang menyala. Yang Sonia tidak tahu adalah, sang menantu, Emilia baru saja menyelesaikan tugasnya mencuci pakaian, memasak, dan membersihkan rumah seperti biasa. Tubuh Emilia yang sedang demam sejak tiga hari yang lalu, diabaikan begitu saja oleh sang suami, Roy, yang merupakan anak satu-satunya dari pasangan Sonia dan Arka.
“Ibu, aku baru saja beristirahat. Badanku juga sedang demam tapi aku memaksakan diri untuk membersihkan rumah sekaligus memasak untuk Roy.” Emilia tidak bermaksud untuk melakukan perlawanan pada ibu mertuanya yang selalu berpikiran negative padanya. Selalu memarahi Emilia dan merendahkannya dihadapan keluarga besar dengan mengatakan kalau Emilia adalah istri pemalas, tidak bekerja, hanya bisa menghambur-hamburkan uang suaminya, dan juga mandul. Sepuluh tahun sudah Emilia dan Roy menikah. Namun, tidak ada tanda-tanda kehamilan itu akan datang.
Emilia merupakan anak yatim piatu dan hanya dirawat oleh neneknya. Kedua orangtua kandung Emilia meninggal karena kecelakaan. Emilia dijodohkan dengan Roy karena neneknya Emilia berhutang banyak kepada keluarga Roy sehingga Emilia terpaksa harus menikah dengan Roy, pria yang tidak dicintainya itu.
Roy terkenal senang main perempuan, minum-minuman keras, dan berjudi. Namun kedua orangtua Roy selalu berusaha menutupi kelakuan anaknya dengan berbagai cara. Bahkan setelah menikah dengan Emilia pun, Roy tidak segan-segan menemui selingkuhannya dan bermain dibelakang Emilia.
“Oh, jadi kamu sekarang sudah berani menjawab semua pertanyaan saya, hmm?” Sorot mata Sonia melebar dan menatap sinis menantu yang tidak diharapkannya ini. Sonia dari dulu tidak pernah menyukai Emilia. Hanya suaminya lah, ayah dari Roy, yang menganggap Emilia sebagai anak perempuan yang pernah hilang. Arka sangat menyayangi Emilia melebihi rasa sayang ke anaknya sendiri. Karena mereka hampir memiliki seorang anak perempuan, adik dari Roy, namun sayangnya anak perempuan mereka itu meninggal saat masih bayi karena sakit demam tinggi.
“Bu-bukan begitu maksudku, bu. Aku hanya mengatakan …”
“Sudah sudah! Semakin kamu berbicara, semakin kesal aku dibuatnya. Kemana anakku? Sudah sore seperti ini apakah dia belum pulang?” Sonia langsung duduk di atas sofa yang ada di ruangan utama. Dengan tertatih-tatih, Emilia mencoba bangkit dari duduknya. Sendi tulangnya terasa linu dan ingin rasanya Emilia menangis meratapi nasibnya. Saat sehat saja, tenaga Emilia nyaris habis untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang entah mengapa tidak ada habisnya. Apalagi saat sakit seperti ini. Roy, seorang pegawai negeri sipil sering pergi keluar kota untuk urusan dinas. Dan, terkadang kepergiannya menghabiskan waktu berhari-hari.
Emilia berusaha berdiri dengan sisa tenaga yang dia miliki setelah habis untuk mencuci dan lain sebagainya. Perempuan malang itu beranjak ke dapur ingin menyuguhkan minuman untuk ibu mertuanya. Sonia, wanita yang diusia lima puluh tahunan, tampak menatap sinis rumah yang ditempati anak dan menantunya. Semua memang tampak rapih dan bersih. Namun, selalu saja ada yang kurang di mata Sonia.
“Kalau saja kalian punya anak, rumah ini pasti tidak akan terasa sepi. Cih! Di keturunanku tidak ada yang mandul. Pasti kamu yang tidak bisa punya anak.” Ucap Sonia dengan wajah sinis menyindir sang menantu. Emilia menarik napas dan menghembuskan pelan dari bibirnya. Ucapan seperti ini sudah seperti ribuan kali dia dengar dari ibu mertua, juga dari orang-orang yang membencinya. Dimata keluarga besar Roy, Emilia hanyalah perempuan tidak berguna dan selalu menggantungkan hidupnya pada Roy.
Padahal, sebelum menikah dengan Roy, Emilia adalah seorang manager di perusahaan terkenal. Posisinya yang sangat strategis dan mapan, membuat Roy sang calon suami yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil merasa tidak percaya diri. Roy meminta Emilia untuk berhenti bekerja setelah menikah nanti. Roy tidak ingin penghasilannya dibandingkan dengan sang istri yang gajinya lima kali lipat dari gaji Roy. Emilia saat itu merasa sangat keberatan tapi sikap neneknya yang terus membujuknya untuk menuruti ucapan sang calon suami, membuat Emilia luluh juga. Emilia pun terpaksa meninggalkan pekerjaan yang sangat disukainya itu dan menjadi seorang ibu rumah tangga tanpa penghasilan sama sekali. Dan, yang lebih parahnya lagi, Roy hanya memberi uang harian padanya sebesar dua puluh ribu saja untuk kebutuhan masak dan lain-lain. Emilia tidak pernah diberikan gaji seluruhnya oleh Roy.
Dengan kondisi yang masih sangat lemas, Emilia membawa secangkir teh manis hangat dan menghidangkannya diatas meja dekat sang ibu mertua.
"Kapan anakku pulang dari tugas luar kota?” Tanya Sonia pada Emilia dengan pandangan sinis.
“Seharusnya hari ini, bu. Karena hari ini adalah akhir pekan.” Jawab Emilia masih dengan posisi berdiri. Layaknya seorang pembantu pada majikannya, sikap Emilia benar-benar patuh dan penuh kepasrahan.
“Cih! Lihat penampilan kamu yang kusut seperti ini. Anakku sangat malang sekali memiliki istri seperti kamu. Harusnya dia menikah dengan pacarnya yang seorang model. Kalau saja suamiku tidak memaksakan kehendaknya untuk memilih kamu, aku malas sekali memiliki menantu seperti kamu!” Semua ucapan kasar dan sinis yang bertubi-tubi diucapkan Sonia, hanya dibalas dengan senyuman getir perempuan yang tiba-tiba merasa kepalanya sangat pusing.
Beruntung sekali, tiba-tiba suara telpon masuk meredakan sesaat hawa panas yang terjadi.
“Lia, kamu bawakan dokumenku yang ada di atas meja kerjaku, sekarang juga! Alamatnya akan aku kirimkan di pesan tertulis.” Suara Roy yang tidak menanyakan kabar terlebih dahulu pada sang istri setelah lima hari berpisah itu, membuat Emilia sudah terbiasa dengan semuanya. Bahkan kondisi Emilia yang sedang sakit itu pun tidak dihiraukan Roy yang sudah mengetahuinya saat Emilia memberitahukan kondisi tubuhnya yang sedang sakit tidak berdaya dirumah sendirian.
“Baiklah.” Hanya satu kata jawaban Emilia dan panggilan tersebut pun dimatikan sang suami. “Setidaknya, aku bisa keluar rumah dan lepas sejenak dari ibu mertuaku.” Gumam Emilia dalam hati.
“Ibu, maafkan saya, mas Roy berkata kalau saya harus membawakan dokumen padanya ke satu tempat sekarang juga. Jadi, saya tidak bisa menemani ibu di rumah saat ini.” Ucap Emilia dengan senyumnya yang terpaksa dibuat.
“Pergilah! Aku juga akan pergi sebentar lagi.” Sonia yang sedang asyik dengan ponselnya sambil tersenyum-senyum sendiri itu, tidak peduli dengan apa yang dikatakan sang menantu. Emilia mengatupkan bibirnya dan beranjak pergi ke kamar untuk bersiap-siap.
Alamat yang diberikan sang suami untuk Emilia datang menyerahkan dokumen, adalah sebuah hotel bintang empat yang berada di tengah kota. Meski tubuhnya masih menderita sakit dan demamnya juga belum turun, Emilia memaksakan diri untuk datang sendiri, tanpa mengirimkan lewat kurir online yang bisa saja dia lakukan. Setelah bertanya pada resepsionis, Emilia ditunjukkan ke sebuah ruangan khusus untuk menerima tamu yang berada di lobi. Pesan yang dikirimkan Emilia pada sang suami dengan mengabarkan kedatangannya yang sudah sampai di hotel, masih belum dibaca juga oleh sang suami.
Saat sedang menunggu kedatangan sang suami sambil duduk di lobi, sudut mata Emilia melihat sepasang pria dan wanita yang sedang berangkulan mesra berjalan keluar dari lift menuju pintu keluar hotel untuk menuju taksi yang sudah berhenti di depan mereka. Jantung Emilia mendadak berdegup kencang dan sakit demam yang dirasanya seperti hilang begitu saja, berganti dengan sesak napas yang membuatnya tidak bisa berdiri dengan tegak.
Pria yang sedang merangkul seorang wanita dengan pakaian seksi itu adalah suaminya, Roy. Emilia tidak mengenal siapa perempuannya. Hati Emilia seperti teriris perih dan ingin berteriak memanggil suaminya, namun apa daya, tenggorokannya seperti tercekat tidak bisa mengatakan apapun. Roy kembali masuk menuju lift setelah mengantarkan kepergian sang perempuan dan dengan santainya tanpa mengetahui kalau istrinya sudah memperhatikan gerak-geriknya sejak tadi. Emilia berjalan dengan langkah gontai mengikuti sang suami namun pintu lift sudah tertutup ketika dia ingin mengejar Roy.
Emilia mencoba menekan tombol lift yang ada di sebelahnya. Dia ingin mengejar sang suami dan mengkonfirmasi apa yang dilihatnya tadi itu. Emilia tahu di lantai mana kamar sang suami menginap dari nomer kamar yang dituliskan sang suami di pesan singkat. Hanya saja sang suami meminta Emilia untuk menunggu di lobi daripada masuk kedalam kamarnya yang katanya milik atasannya.
Emilia bergegas mengejar sang suami tanpa perlu memanggil namanya. Apa yang dilihatnya baru saja, membuatnya semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Dia berusaha untuk berpikiran positif pada sang suami yang tidak pernah dia cintai namun selalu dia hormati dan hargai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments