"Mom ...."
Entah rengekan yang ke berapa kali hari ini yang tertangkap oleh telinga Lily. Namun, ia lebih memilih untuk tidak menghiraukannya.
"Fokus saja mengemudi, Shaka! Ingat! Kau sedang membawa Mommy dan juga nenekmu." Lily melipat kedua tangannya di depan dada, sementara matanya menyipit ketika melihat pantulan wajah putranya di cermin. "Kau tidak suka mengantar Mommy dan nenek?"
Shaka menghela nafas saat menyadari ibunya sedang memperhatikan raut wajahnya. "Bukan begitu, Mom. Aku hanya lupa arah menuju pantai asuhan kakek dan nenek. Itu saja!"
Alasan yang cukup masuk akal! Setidaknya untuk membungkam mulut pedas seorang Lily Stevano.
Bibir Lily terlipat. Menghentikan kalimat-kalimat kekesalannya yang ingin meluncur bebas dari mulutnya. "Tidak masalah! Aku akan menunjukkannya."
Sekali lagi! Shaka menghela nafasnya. Niat awalnya untuk berbicara serius dengan sang ibu justru berakhir seperti ini. Ia harus mengantar neneknya kembali ke panti asuhan. Tempat yang sudah lama sekali tidak pernah ia datangi sejak belasan tahun yang lalu. Tidak seperti Gilbert yang rutin mengunjungi panti asuhan peninggalan keluarga Kencana itu setiap bulannya.
"Mom, kenapa tidak meminta Gil yang mengantarkan kalian?" Shaka bertanya untuk memecah keheningan.
Lily memasukkan kembali ponselnya sebelum menatap sepasang mata sebiru samudera milik putranya itu dari pantulan cermin. "Gil sibuk, Sayang. Sebenarnya, dia menawarkan diri untuk mengantarkan nenek. Tapi saat tahu aku akan ikut, tiba-tiba saja dia menjadi tidak memiliki waktu meskipun untuk bernafas."
Bibir Lily tertawa, tapi sorot matanya jelas menunjukkan hal yang sebaliknya.
"Nikahkan saja dia!" celetuk Ratih, seolah baru saja menyarankan seseorang untuk membeli permen coklat.
Lily dan Shaka sama-sama terkejut. Keduanya menganga mendengar usulan atau mungkin sebenarnya hanya lelucon yang di lemparkan Ratih.
"Nenek, tidak lucu." Shaka yang pertama berhasil mengatasi rasa terkejutnya.
Ratih memiringkan tubuhnya untuk menatap Lily. "Aku tidak bercanda. Nikahkan saja Gil dengan wanita yang ia cintai. Aku pastikan hatinya akan mencair dan sikapnya akan lebih hangat."
"Wanita yang dicintai Gil?" Lily dan Shaka saling melemparkan tatapan. Entahlah! Ingin membantah, tapi takut jika akan melukai hati Ratih. Hingga akhirnya Lily pun mengeluarkan apa yang ada di dalam pikirannya.
"Jika Gil mengatakannya, aku akan melamar gadis itu tanpa bertanya. Tapi ... Jika dia tidak mengatakannya, maka aku juga tidak akan bertanya."
***
Kesibukan terkadang mampu menyamarkan hati yang tengah gelisah dan gundah. Akan tetapi, tidak bisa menghilangkan kerinduan dan memenuhi dahaga cinta yang terpendam.
Gilbert tengah gamang. Antara menyesal dan juga kesal. Ingin sekali rasanya ia berteriak untuk mengeluarkan semua bongkahan batu yang menghimpit dadanya.
"Kakak!" Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan membuat Gilbert sedikit terjengkit.
"Bi!!!" Tanpa sadar Gilbert membentak karena terkejut dengan ulah adiknya itu.
Di lihatnya wajah Berciia yang sudah memerah seperti udang rebus. Sedikit merasa bersalah, tapi juga tidak rela mengalah. Hah! Dilema menjadi seorang kakak dari adik perempuan satu-satunya yang manja.
"Sorry ...." Gilbert menepuk puncak kepala Berciia dengan lembut. Berharap bisa mengurangi kekesalan adiknya. "Kau mengejutkan aku, jadi tanpa sadar aku berbicara keras padamu. Jangan salahkan aku!"
Permintaan maaf macam apa itu? Ya, tapi itulah Gilbert Kafeel. Tidak ingin harga dirinya jatuh begitu saja meskipun di depan sang adik.
Wajah Berciia memberengut sempurna. "Kakak, menyebalkan!"
"Astaga, Bi!" Gilbert mendengus seraya menyandarkan kepalanya di kursi. "Kau itu sudah dewasa. Kenapa masih bertingkah seperti itu? Sekarang katakan! Apa tujuanmu kesini? Aku sibuk."
Seketika raut wajah Berciia berubah. Senyuman perlahan tertarik dari sudut bibirnya yang tipis. "Kak, boleh aku pinjam kartu kreditmu?"
Gilbert langsung menegakkan tubuhnya. Matanya memicing menatap sang adik. "Kau bercanda?"
Berciia menggelengkan kepalanya. "Aku serius, Kak. Aku sudah memintanya pada daddy, tapi tidak diberikan."
"Jadi, maksudmu aku adalah pilihan kedua?" Gil menumpu dagunya di atas meja.
"Pilihan ketiga sebenarnya." Berciia tersenyum tanpa merasa berdosa. "Aku sudah memintanya dari kak Shaka. Sayangnya, dia harus pergi ke panti bersama mommy."
"Ya sudah! Kau tunggu saja Shaka memberikannya padamu." Gilbert sudah mulai membuka berkas yang sejak tadi tergeletak di atas mejanya. Namun, belum sempat ia membaca. Berciia sudah lebih dulu menutupnya. "Berciia!!!"
"Kakak, bagaimana jika kita makan siang bersama?" Berciia sudah memasang wajah imut nan menggemaskan agar kakaknya yang dingin itu luluh.
Bukan main memang putri keluarga Stevano!
Gilbert berdecak kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam laci mejanya. "Ambil ini!" Sebuah kartu sudah meluncur mendekat ke ujung meja, tepatnya mendekati Berciia. "Aku hanya meminjamkannya, bukan memberikannya. Jika aku tahu kau menggunakannya untuk hal-hal yang tidak baik -"
"Tenang saja, Kak, itu tidak akan terjadi!" Berciia langsung memotong ucapan Gilbert.
Gilbert mengibaskan tangannya. Meminta Berciia untuk segera pergi. Sayang sekali, gadis bermata biru itu lebih memilih untuk mendaratkan bokongnya di sofa yang berseberangan dengan meja sang kakak. Melihat hal itu, Gilbert hanya menggelengkan kepalanya dan membiarkan adiknya melakukan apapun yang ia sukai selama itu tidak menggangu.
"Kak?"
"Hemm ...."
"Kakak?"
"Ada apa?"
"Kak Gil?"
Gilbert berdecak. "Apa lagi, Bi?"
Berciia tertawa. "Kak, apa kau sedang jatuh cinta?"
"Apa maksudmu?" Gilbert hanya menatap sekilas sepasang mata biru sang adik yang sama seperti ayah dan juga kakaknya. Terkadang Gilbert iri dengan hal itu karena hanya dirinyalah yang tidak memiliki mata biru layaknya samudera.
"Kau jelas tahu maksudku, Kak," sahut Berciia. Matanya memicing dengan kedua alis yang nyaris bertaut. "Aku yakin, kau sedang jatuh cinta. Katakan padaku! Siapa gadis itu?"
Gilbert meletakkan ballpoint di tangannya dengan kasar ke atas meja. "Bi, aku sedang sibuk! Berhenti membicarakan hal yang tidak masuk akal!"
Bibir Berciia mencebik. "Jangan mengelak, Kak! Aku sudah tahu semuanya."
"Tahu apa?" Gilbert menatap waspada pada adiknya yang memang ahli dalam mencari berita, khususnya berita tentang kedua kakaknya.
"Semua hal yang kau lakukan! Aku bahkan sudah bertemu dengan gadis itu dan berbicara dengannya. Dia gadis yang cantik dan -"
"Dimana kau bertemu Shahnaz?" Gilbert panik. Takut jika si bungsu Stevano ini akan membeberkan semua hal yang coba untuk ia sembunyikan. Memang tidak berniat di sembunyikan selamanya. Ia hanya sedang mencoba untuk merenungkan segalanya dan memastikan perasaannya.
Berciia tersenyum penuh kemenangan. "Jadi, namanya Shahnaz? Hemm ... Sejujurnya, Kak, aku hanya menebaknya saja. Tidak ku sangka kau benar-benar sedang jatuh cinta."
Sial! Ternyata Gilbert sudah masuk dalam perangkap yang di buat oleh adiknya yang cerdik. Setelah ini, ia harus bersiap untuk mengikuti semua keinginan adiknya itu jika ingin rahasianya aman.
"Tutup mulutmu itu, Bi! Jangan sampai mommy dan daddy tahu, atau aku tidak akan memberimu uang jajan." Gilbert memberikan ancaman yang sangat jelas.
Tangan Berciia mengepal dan mendekatkannya ke mulut seolah menelan sesuatu. "Aman, Kak! Aku sudah menelan rahasiamu. Sampai kapanpun tidak akan ada yang tahu, kecuali kau sendiri yang mengatakannya. Aku berjanji demi kartu kredit ini!"
Gilbert mendengus sebelum menertawakan sikap konyol adiknya yang sebenarnya menggemaskan, walaupun lebih banyak menjengkelkan.
"Aku pegang janjimu, Berciia Kafeela Stevano ...."
***
Menjelang sore hari, mobil mewah milik Shaka baru memasuki halaman panti asuhan kencana. Matanya terbuka lebar ketika menyadari banyak yang berubah dari tempat ini.
"Ayo, masuk!" ajak Ratih. Membuyarkan lamunan Shaka tentang hari dimana ia terakhir kali menginjakkan kakinya di tempat ibunya tumbuh dewasa.
Lily dan Ratih masuk lebih dulu, sementara Shaka sibuk mengeluarkan beberapa barang yang mereka bawa untuk anak-anak. Saat akan menutup bagasi mobilnya, Shaka sedikit kesulitan hingga sepasang tangan tiba-tiba datang membantunya.
"Terima kasih." Shaka tersenyum saat melihat seorang gadis seusia Berciia baru saja menutup bagasi mobilnya.
Gadis itu melipat bibirnya. Wajahnya tertunduk, tapi tangannya tetap terulur untuk membantu Shaka. "Biar saya bawa, Tuan."
"Apa?" Shaka tidak mengerti apa yang di maksud oleh gadis itu.
"Barang bawaan Anda, biar saya yang membawanya." Ulang gadis itu dengan suara yang lebih lantang.
Shaka tertawa. "Tidak perlu, Nona! Kau pikir aku tidak mampu membawa semua barang ini?"
"Bukan seperti itu, Tuan." Gadis itu mengibaskan kedua tangannya. "Saya hanya ... Hanya ...."
Kegugupan gadis itu cukup disadari Shaka yang langsung menggelengkan kepalanya dan berbalik untuk masuk ke dalam panti.
"Tuan?" panggil gadis itu. Khawatir Shaka mungkin tersinggung dengan sikapnya.
Shaka menoleh sekilas dengan senyum di wajahnya. Ia sedikit tersentak saat ternyata gadis itu juga membalas senyumannya.
"Shahnaz!"
Suara seseorang yang memanggil dari kejauhan membuat gadis itu langsung mundur setelah membungkukkan badannya pada Shaka.
"Shahnaz? Nama yang indah. Akan aku ingat!" Shaka tersenyum seraya berbalik menuju ke dalam panti.
Sementara, Shahnaz yang sudah berjalan ke arah berlawanan kembali menoleh dan melihat Shaka sedang berjalan membelakangi dirinya.
"Aku pikir, pangeran hanya ada dalam cerita dongeng ...."
Hallo semuanya 🤗
Stay enjoy 'ya 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
🍊𝐂𝕦𝕞𝕚
sepertinya Shahnaz menyukai Shaka
dan sebaliknya pun begitu
dan Gil pun menyukai Shahnaz tapi masih gamang dengan perasaan nya sendiri
semakin di buat deg degan dengan apa yang mereka rasakan
2022-12-16
1