"Kau nampak lelah, Lily."
Sapuan hangat di punggung tangannya membuat Lily menatap sosok di sampingnya. Ia menoleh dan tersenyum untuk menegaskan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Kau sudah banyak berubah, Aca." Kata-kata itu terdengar memilukan, meski di ucapkan dengan sebuah senyuman. "Sekarang kau sudah semakin bijaksana."
Lily menatap wanita tua di sampingnya yang selalu menjadi sosok ibu pertama baginya. "Tante ...."
Ratih menoleh dengan seutas senyum simpul di wajah senjanya. "Bolehkah aku memanggilmu dengan nama pemberian ibuku?"
Tidak! Lily tidak ingin menjawab. Ia tak kuasa memberikan jawaban apapun karena hatinya tiba-tiba saja merasa sesak. Ia hanya mampu berhambur memeluk sosok renta yang sudah membesarkan dirinya itu.
"Aca sayang Tante. Selamanya!" Lily mendekap erat dan menghirup aroma yang begitu ia hafal.
Mata Ratih berkaca-kaca. Ingatannya seolah kembali pada masa-masa saat Lily masih menjadi salah satu anak asuh di panti asuhan milik keluarganya. "Sudah, jangan menangis! Tidak malu pada anak-anakmu?"
Lily melepaskan pelukannya dan menatap Ratih seraya menghapus air matanya. "Terkadang orang tua juga perlu menangis, Tan."
Ratih tertawa pelan. Sorot matanya terpaku pada sosok Gilbert yang tengah berbincang dengan ayahnya. "Dia sama persis seperti dirimu."
"Siapa, Tan?" Tatapan Lily mengikuti ke arah Ratih memandang. Ia melihat wajah Gilbert yang memberengut menghadapi ocehan ayahnya. "Apa begitu menurut, Tante?"
Untuk sesaat Ratih hanya terdiam, sebelum menoleh dan tersenyum. "Iya, tentu! Dari ketiga anakmu, Gil yang paling mirip denganmu. Wajahnya, sikapnya, dan juga kenakalannya."
Lily tertawa mendengar kata terakhir yang di ucapkan Ratih dengan nada sedikit kesal. "Aku tidak ingat, jika aku pernah nakal."
"Kau selalu merepotkan!" seloroh Ratih seraya membelai rambut Lily. "Tapi aku merindukan hari-hari itu." cicitnya pelan.
"Tante ...," Lily kembali terbawa perasaannya. Ia menjatuhkan kepalanya di pangkuan Ratih. "Tan, bagaimana cara Tante dan nenek bisa sabar menghadapi aku dulu?"
"Kenapa? Apa sekarang kau merasa jika kau itu memang sangat menjengkelkan?" Ratih tertawa hingga matanya nyaris tertutup.
Lily menganggukkan kepalanya. "Benar! Sekarang, aku mengerti kenapa Tante selalu marah padaku hampir setiap hari."
"Tante marah padamu karena Tante sayang, Aca." Ratih menghela nafasnya pelan. "Tante ingin kau jadi wanita yang kuat dan berani. Sayangnya, terkadang Erlan dan nenek selalu memanjakanmu." keluhnya.
'Kak Erlan ....'
Sudah lebih dari dua puluh tahun Lily tidak lagi menyebut nama itu dari bibirnya, meski hatinya terus mengingat mendiang suami pertamanya itu. Rasanya ada bongkahan batu besar yang baru saja di angkat dari hatinya setelah sekian lama saat Ratih kembali mengingatkan ia tentang sekelumit kisah masa lalunya.
"Ehem ...."
Suara bariton milik seseorang mengalihkan perhatian Lily dan juga Ratih. Mereka seketika melihat ke arah sosok itu berdiri. "Apa aku mengganggu waktu kalian? Mom? Nenek?"
Lily tersenyum dan menepuk sisi di sebelahnya. "Tidak, Shaka, kemarilah!"
Shaka mendekat dan mendaratkan bokongnya di samping ibunya. "Mom, aku ingin bicara."
"Bicaralah!" Lily tersenyum, begitu pun dengan Ratih.
"Bagaimana aku harus mengatakannya?" gumam Shaka, terlihat menimbang apa yang akan ia katakan. "Mom, aku -"
"Nyonya Stevano, sudah malam. Waktunya untuk kita semua beristirahat." seru Daffin, yang berjalan menghampiri mereka.
Lily mendengus dengan lirikan tajam dari sudut matanya. "Ya, sebentar, Daffin! Aku akan menyusul."
"No, kau perlu istirahat sekarang!" Daffin sudah mengulurkan tangannya, tapi Lily mengabaikannya. "Apa yang kau tunggu?"
"Shaka ingin bicara denganku." Jawaban yang sepertinya cukup mudah untuk di pahami, tapi tidak bagi Daffin. Ia menatap putranya dengan sorot mata penuh tanya.
Jika tidak ada Ratih di rumahnya, Shaka pasti sudah melemparkan jawaban yang di butuhkan oleh ayahnya itu. Sayang sekali, ia harus menahannya untuk malam ini.
"Kau bisa bicara dengan mommy lain waktu. Apa kau keberatan?" Daffin bertanya, tapi tangannya tetap menuntun Lily untuk berdiri.
Shaka mendengus pelan. "Tidak akan ada keluhan atas keputusanmu, Dad."
Mendengar jawaban Shaka membuat Lily merasa bersalah. Namun, ia juga tahu betul apa yang akan terjadi jika perbincangan ini di teruskan.
"Baiklah! Kalau begitu, kita akan bicara lain waktu." Lily berdiri seraya menuntun Ratih menuju ke kamar tamu, meninggalkan Shaka dengan segumpal kekesalan di hatinya.
***
Suara riuh kicau burung dan pancaran sinar matahari yang menerangi bumi menandakan jika hari telah di mulai kembali. Semua hal yang belum terselesaikan di hari sebelumnya, memiliki kesempatan untuk di selesaikan di hari yang baru.
Shaka memakai jam tangan mewahnya ketika berjalan menuruni anak tangga. Ia begitu tergesa-gesa sehingga tidak sempat memakainya saat di kamar tadi.
"Morning, Mom!" Berciia yang telah sampai lebih dulu di meja makan langsung mengecup pipi sang ibu.
Lily menepuk lembut pipi putrinya. "Morning, Bi. Bagaimana tidurmu?"
"Sangat nyaman. Seperti biasa." Berciia menarik kursi yang berseberangan dengan Lily, kemudian mengedarkan pandangannya. "Mom, dimana nenek Ratih?"
"Sedang bicara dengan daddy di halaman belakang." Lily menjawab sambil terus menyiapkan sarapan untuk kedua putranya. "Dimana kedua kakakmu? Kenapa mereka belum -"
"Kami disini, Mom," sahut Shaka dengan suara khas miliknya, sementara Gilbert hanya menatap dingin pada ibunya itu.
Lily tersenyum dan memulai sarapannya saat melihat kedua putranya sudah duduk untuk sarapan bersama. Ada perasaan bangga di hatinya setiap kali melihat ketiga anaknya tumbuh dengan baik, meski tak jarang mereka sedikit menjengkelkan.
"Mom?" Sentuhan di tangannya membuat Lily tersadar dan langsung menoleh. Ia melihat Shaka sedang menatapnya penuh harap.
"Ya? Oh, astaga! Aku melamun sepertinya." seloroh Lily, saat melihat tatapan ketiga anaknya.
Shaka dan Berciia hanya tersenyum menanggapi sikap Lily. Berbeda dengan Gilbert yang terdengar berdecak. "Jika ada masalah bicaralah, Mom! Jangan bersikap aneh!"
"Gil!" tegur Shaka, lengkap dengan sorot mata yang begitu tajam. Sayangnya, Gilbert justru hanya memutar bola matanya jengah.
"Tidak apa-apa, Shaka. Ah, iya! Semalam kau ingin membicarakan sesuatu. Apa itu?" Lily tiba-tiba teringat pembicaraannya yang tertunda dengan Shaka akibat ulah Daffin.
Shaka terlihat bimbang. Ia bahkan menelan salivanya dengan susah payah ketika kalimat yang sudah ia rancang sejak lama tak kunjung keluar dari mulutnya.
"Shaka?" Lily mulai khawatir melihat kegelisahan dalam tatapan putra sulungnya itu.
"Mom ...," Shaka benci lidahnya kali ini.
Bukan hanya Lily, Gilbert dan Berciia pun bingung dengan tingkah Shaka yang biasanya akan sangat mudah berbicara. Namun, apa yang terjadi padanya saat ini sungguh membuat penasaran.
"Mom, aku ...," Sungguh! Shaka benar-benar mengutuk lidahnya yang sangat sulit di ajak bekerja sama. "Sebenarnya aku -"
"Oh, ayolah! Kapan kau akan bicara?" keluh Gilbert, ia turut penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh kakaknya itu.
Shaka memejamkan matanya sesaat, sebelum menatap kembali ke dalam manik mata hitam segelap malam milik ibunya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan hal ini kepada sang ibu. "Mom, aku ... Aku ingin hidup mandiri."
Bukan main leganya hati Shaka saat kalimat itu berhasil keluar dari mulutnya. Ia bahkan menghela nafas panjang seolah telah melepaskan beban berat di hatinya. Sekarang, ia hanya perlu menunggu jawaban dari ibunya.
"Mom?" Shaka cemas karena Lily hanya diam saja menatapnya.
"Bukankah selama ini kau sudah hidup mandiri? Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku menyuapi dan juga memandikanmu."
'Oh, astaga! Mom ....'
Hallo semuanya 🤗
Bagaimana sejauh ini? Lanjut gak nih 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
🍊𝐂𝕦𝕞𝕚
oooh Shaka sebenarnya apa yang membuat mu ingin menyendiri seperti menghindar dari keluarga mu
tanpa ingin mereka tahu apa yang terjadi padamu 😔😔😔
2022-12-15
1