Keceriaan dan kebahagiaan akan begitu lengkap terasa saat orang yang dicintai senantiasa berdiri dengan tegak di sisi.
Gelak tawa yang tercipta dari bibir tipis menggoda yang selama ini menemani setiap langkah perjalanan, nyatanya tak pernah mendatangkan perasaan jenuh sedikitpun.
PLAK ...
Tangan mungil Lily mendarat di lengan Daffin yang masih terlihat kekar di usianya yang mulai menua. "Daffin!!!"
"Astaga, Nyonya Stevano! Kebiasaanmu itu." Daffin mengusap lengannya yang terasa panas. Ya, memang tidak sepanas itu!
"Kau yang memancingku melakukan itu!" sungut Lily, tak terima jika suaminya mengingatkan ia akan perilaku buruknya yang satu itu.
Daffin terkekeh dengan gerakan kedua alisnya yang naik turun. "Bagaimana caraku memancing bintang laut? Aku hanya tahu cara memancing ikan. Oh, aku lupa! Kau juga bisa berubah menjadi ikan buntal. Hahaha ...."
Betapa kesalnya Lily saat melihat kedua pipi Daffin menggembung untuk mengejeknya. Dengan cepat gerakan tangannya mencubit kedua pipi Daffin yang langsung menjerit karena terkejut.
"Rasakan!!!" Lily menatap tajam ke arah Daffin yang kesakitan tanpa rasa kasihan sedikitpun. "Aku sedang memikirkan hal penting, tapi kau terus saja menggangguku."
Daffin mengernyitkan dahinya. "Hal apa yang lebih penting daripada aku, Nyonya Stevano?"
"Tentang anak-anak," jawab Lily ambigu.
Sepertinya jawaban Lily kurang jelas karena Daffin justru melingkarkan tangan besarnya di pinggang sang istri. "Kau ingin menambah anak, Nyonya Stevano?"
Tangan Lily yang terangkat untuk kembali mencubit langsung di raih Daffin. "Daffin, lepaskan!"
"Akan aku lepaskan, saat kau setuju untuk memberi Bi seorang adik." Daffin mengecup tangan Lily penuh cinta.
"Tidak, Daffin! Sudah saatnya kita memiliki cucu, bukannya menambah anak lagi." Lily mencoba menarik tangannya, tapi tak bisa karena Daffin menggenggamnya dengan erat.
"Cucu? Dari siapa?" Daffin masih belum memahami arah pembicaraan sang istri.
Lily berdecak kesal. "Entahlah! Mungkin Shaka, Gil, atau mungkin Bi lebih dulu. Walaupun aku sebenarnya ingin mereka menikah sesuai usia mereka dan tidak saling mendahului."
"Biarkan mereka menentukan masa depan mereka, Nyonya Stevano. Kita tidak perlu ikut campur." Daffin mengecup puncak kepala Lily.
"Tapi, Daffin, aku tidak yakin Shaka akan menikah jika tidak dipaksa dan juga Gil -" Lily terpaksa menghentikan ucapannya saat Daffin memilih untuk menggunakan bibirnya untuk membungkam mulut pedas istrinya itu.
"Ck ... Ck ... Ck ...," Decakan nyaring yang berasal dari arah pintu utama menarik perhatian keduanya. Di sana, sudah berdiri si bungsu Berciia dengan wajah jengah. "Mommy dan Daddy sudah tidak pantas bertingkah seperti itu."
Raut wajah Lily seketika berubah ketika melihat putrinya mendekat. "Apakah Mommy sudah melewatkan jam makan malam?"
"Mom ...," geram Berciia. Mengerti maksud sang ibu yang hanya menggunakan kata-kata bermakna sindiran untuk dirinya.
"Sudah! Sudah!" Daffin merentangkan tangannya dan memeluk Berciia sesaat. "Kebetulan Bi pulang cepat hari ini. Bagaimana jika kita makan malam bersama?"
Lily hanya mengangkat bahunya seraya berjalan ke arah halaman belakang rumahnya. Sementara, Daffin dan Berciia saling pandang sebelum menghela nafas bersama.
"Dad, tugasmu." Berciia mendorong punggung kokoh ayahnya ke arah yang sama dengan ibunya.
Daffin menoleh sedikit pada putrinya. "Bukankah ini tugas kita bersama?"
"No, Daddy! Menaklukkan mommy adalah keahlianmu."
***
Matahari sudah mulai kembali ke peraduannya. Meninggalkan pancaran jingga yang menyilaukan mata dengan keindahannya. Namun, seorang pekerja keras yang bahkan tak memiliki alasan untuk pulang tak pernah peduli dengan semua itu.
Tok ... Tok ...
Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasi seorang pria yang tengah larut dalam pekerjaannya.
"Masuk!" Suara khas bariton itu memberi izin pada seseorang di balik pintu ruang kerjanya.
"Tuan Shaka, apa Anda ingin saya pesankan makanan untuk makan malam?" Pertanyaan yang sederhana, tapi mampu menarik pandangan sepasang mata biru itu.
Shaka menegakkan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di kursi. "Tidak, terima kasih. Kau pulang saja! Aku juga akan pulang cepat hari ini."
"Baik, Tuan."
Begitu pintu kembali tertutup, Shaka memejamkan matanya sesaat. Pikirannya melayang entah kemana hingga ponselnya berdering yang menandakan pesan masuk.
"Mommy?" gumamnya, kemudian membaca pesan yang dikirimkan oleh sang ibu. "Makan malam bersama? Dalam rangka apa?" Dahinya berkerut memikirkan apa yang sedang terjadi atau mungkin saja akan terjadi pada acara makan malam kali ini.
Meskipun belum menemukan jawaban atas pertanyaannya, tapi Shaka tetap bersiap untuk pulang. Lagipula, ia juga ingin membicarakan sesuatu dengan kedua orangtuanya. Terlebih kepada ibunya. Tekadnya sudah bulat. Ia akan berbicara pada ibunya malam ini. Sudah terlalu lama ia menundanya.
***
Suasana ruang makan rumah besar Stevano terasa berbeda malam ini karena seluruh keluarga Stevano sudah berkumpul di meja makan.
"Dimana, Gil?" Daffin mengedarkan pandangannya saat tak melihat putra keduanya itu di meja makan.
Berciia meletakkan ponselnya ke atas meja dan menatap kedua orang tuanya bergantian. "Kak Gil mengatakan jika dia akan datang terlambat. Kita bisa memulai makan malam tanpa dirinya."
Daffin menghela nafas berat, terlebih saat ia melirik Lily dari sudut matanya. Wanita itu terlihat seperti akan menelan siapa saja yang ada di dekatnya. "Baiklah! Kalau begitu, kita mulai makan saja. Gil akan menyusul nanti."
Walaupun Daffin sudah memberikan perintah seperti itu, tapi kenyataannya ia juga tidak berniat untuk menyentuh makanan yang ada di depannya. Hal itu membuat kedua anaknya menautkan alis mereka.
"Dad?" Berciia yang memilih untuk bersuara.
Tidak ada jawaban, melainkan hanya gerakan ekor mata Daffin yang menunjuk ke arah Lily.
Shaka yang melihat hal itu pun, akhirnya berdiri dan menukar posisi duduknya dengan Berciia. "Mom, ayo, makan!"
Lily memaksakan senyumnya. "Kalian makan saja! Mommy sedang tidak ingin makan."
Hah!
Ketiganya menghela nafas panjang dan saling berpandangan. Bagaimana mereka bisa makan jika nyonya besar Stevano tidak makan? Bukankah segala sesuatu yang terjadi di rumah ini atas kehendaknya?
"Mom, Gil akan datang sebentar lagi. Dia sudah mengatakan itu. Pasti dia akan menepati janjinya." Shaka masih mencoba untuk membujuk ibunya yang keras kepala.
Bukan lagi menjadi rahasia jika seorang Lily Stevano memiliki sifat yang keras dan kekanak-kanakan. Tak jarang, ketiga anaknya harus mengalah pada setiap keputusan yang di buat olehnya. Namun, mereka semua tahu jika Lily adalah ibu yang terbaik. Ia hanya memiliki cara yang berbeda dengan wanita kebanyakan untuk menyayangi anak-anaknya.
"Dia tidak menepatinya pun tidak masalah. Mommy hanya sedikit, sedikit saja merasa kecewa padanya." Lily kembali menarik senyuman di wajahnya. "Kalian makanlah! Mommy hanya takut berat badan Mommy akan naik."
Bohong! Jelas itu sebuah kebohongan. Tanpa dijelaskan sekalipun, semuanya sudah tahu jika itu hanya alasan Lily saja untuk menutupi kesedihannya.
Entahlah! Apa yang sebenarnya terjadi antara Lily dan putra keduanya itu? Mereka saling menyayangi, tapi seolah berjarak. Semakin Lily mencoba untuk berbicara dengan Gilbert, semakin putranya itu tidak bisa memahami dirinya. Mungkin sifat keras kepala keduanya yang sulit untuk disatukan.
"Nyonya Stevano, aku rasa akan baik jika berat badanmu bertambah." Daffin menggembungkan pipinya sesaat. "Kau akan semakin menggemaskan."
Tatapan tajam itu tak bisa terelakkan. "Aku tidak ingin jadi ikan buntal!"
"Ya! Ya, Baiklah! Kau jadilah bintang lautku selamanya." Daffin tertawa begitu lepas, terlebih saat Lily benar-benar tanpa sadar menggembungkan pipinya.
Shaka dan Berciia hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah kedua orangtuanya. Di usia keduanya yang tak lagi muda, tapi mereka masih sering bercanda dan tertawa bersama seperti anak remaja.
"Keluarga yang sangat bahagia, meski tanpa aku!" seru seseorang yang melangkah menuju meja makan terdengar di tengah tawa Daffin dan kedua anaknya
Tatapan semuanya tertuju pada sosok Gilbert yang baru saja datang bersama seseorang. Untuk sesaat hanya ada kebisuan hingga terdengar isak tangis Lily yang berhambur ke pelukan seseorang di samping Gilbert.
"Aku rindu, Tante." ungkap Lily di sela isak tangisnya. "Kenapa tidak memberi kabar jika akan datang? Aku dan Daffin bisa menjemput Tante." protesnya, saat melepaskan pelukannya.
Ya! Seseorang yang di bawa Gilbert pulang malam ini adalah Ratih. Wanita yang juga memiliki arti penting dalam kehidupan ibunya.
"Aku tidak ada niat untuk datang, tapi Gil yang mengajakku untuk ikut bersamanya. Dia mengatakan jika keluargamu akan makan malam bersama." Ratih membelai lembut rambut Lily.
Lily tersenyum. Kali ini senyuman bahagia dan bukan karena terpaksa. Ia menatap putranya yang baru saja melepaskan jasnya dan menggulung lengan kemejanya.
"Terima kasih, Sayang," ucap Lily saat pandangannya beradu dengan Gilbert.
Gilbert membalas tatapan ibunya untuk sesaat. "Biasa saja, Mom. Jangan berlebihan!"
Hah? Apa ini? Suasana haru yang sempat tercipta seketika hilang karena jawaban dingin dari putra kedua keluarga Stevano.
'Rasanya aku ingin memasukkanmu ke dalam botol dan melemparnya ke tengah lautan, Plankton kecil ....'
Hallo semuanya 🤗
Stay enjoy dan jangan lupa jejaknya ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
🍊𝐂𝕦𝕞𝕚
ada apa ini kenapa saka bisa memiliki respon seperti ini
apa ada sesuatu yang membuat nya sampai bertindak seperti dia tak di harapkan
2022-12-15
1