Dia Milikku (Mu)
"Congratulation!!!"
Semua orang bersorak dan bersulang. Dentingan gelas beradu menjadi alunan musik tersendiri di tengah pesta mewah yang telah menyita perhatian lebih dari setengah penduduk negeri ini.
Di atas podium dengan dekorasi yang indah bak di negeri dongeng. Sepasang pengantin tengah tersenyum, menutupi sesuatu yang tak banyak di ketahui oleh orang lain.
Sementara di sudut ruangan yang luput dari perhatian orang banyak, berdiri seorang pria dengan aura dingin yang mengelilinginya. Tangannya memegang segelas alkohol begitu erat hingga menimbulkan retakan pada gelas piala tersebut. Sorot matanya tajam hingga rasanya mampu untuk menghunus siapa saja yang ia tatap.
"Cukup sudah!" Geraman itu tertahan karena kewarasannya masih nyata terlihat saat ia menatap ke arah sepasang pengantin yang tengah berbahagia dari sudut pandangnya. "Aku selalu mengalah selama ini. Sekarang tidak lagi! Akan ku ambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku!"
PRANG ...
Akhirnya gelas itu hancur juga akibat tak mampu lagi menahan beban dari cengkraman tangan besar sang pria. Bersamaan dengan itu, mengalir darah segar yang menjadi jejak dari setiap langkah pria itu untuk merebut haknya kembali.
"Dia milikku, bukan milikmu ...."
***
"Sha ... Gil ... Biiiii ...."
Teriakan yang sama setiap paginya. Suara khas milik nyonya besar Stevano. Nyonya Lily Yovela Stevano. Wanita paruh baya bertubuh mungil dengan wajah lembut dan menenangkan. Namun, dengan bibir pedas dan pemikiran yang kritis. Ya, disanalah wanita penguasa keluarga Stevano itu tengah duduk dan menatap ke arah pintu kaca yang menghalangi dirinya dengan ketiga anaknya.
"Ck!!! Stop it, Mom! Jangan memanggil kami dengan sebutan seperti itu lagi!"
Itu Gil. Maichel Gilbert Kafeel. Sikap dingin dan cueknya memberi warna tersendiri di dalam keluarga besar Stevano.
Berbeda dengan Gilbert, di sampingnya sudah berdiri si sulung yang selalu memperlihatkan garis senyumnya yang menawan. Shaka Ryuichi Stevano. Mata biru dan rahangnya yang kokoh selalu menjadi kebanggaan tersendiri baginya.
"We are coming, Mommy!" sahut Shaka seraya merangkul bahu adiknya yang memasang wajah kesal.
Melihat kedua putranya datang membuat Lily mengulum senyuman dengan kebahagiaan yang tak bisa di sembunyikan.
"Dimana adik kalian?" tanya Lily, ketika tubuh besar kedua putranya sudah mendekat padanya.
Shaka dan Gilbert saling berpandangan dan menautkan kedua alis mereka secara bersamaan. Keduanya tiba-tiba bergerak ke samping dan memberi ruang bagi seseorang untuk muncul ke hadapan ibu mereka.
"I am here, Our Pretty Mommy!"
Gadis cantik bermata biru itu berhambur memeluk tubuh mungil sang ibu yang nyaris terjerembab. Beruntung, lengan kekar kedua putranya mampu menahan tubuh mungil ibu ratu.
"Bi!!!" bentak kedua kakak beradik itu kompak.
Yang mendapatkan bentakan itu justru tersenyum dan melingkarkan kedua tangannya di leher sang ibu. "Sorry, Mom! Aku tidak sengaja."
Nyonya besar Stevano tersenyum dan mengusap lembut pipi putrinya itu. "Lain kali, jangan melakukan hal seperti itu! Kau itu sudah dewasa, Bi."
Bi adalah panggilan sayang untuk putri bungsu keluarga Stevano. Berciia Kafeela Stevano. Wajah cantiknya merupakan perpaduan dari ayah dan ibunya. Bola mata dan warna kulit yang di turunkan dari sang ayah, sedangkan sisanya adalah warisan dari sang ibu.
"Of course, Mom! Cup!" jawab Bi, di iringi sebuah kecupan di pipi ibunya.
"Semudah itu, Mom?" tanya Gilbert ketus.
Lily menatap lembut putra keduanya itu. "Adikmu sudah menyesal dan meminta maaf, Gil. Jadi, apa lagi yang harus Mommy lakukan?"
Gilbert berdecak dan membalikkan tubuhnya. Berniat untuk meninggalkan ibunya yang tak pernah menganggap serius setiap perkataannya.
"Tunggu, Gil!" seru Lily, begitu tubuh Gilbert mencapai ambang pintu.
Tak ada jawaban dari mulut Gilbert. Hanya tatapan seolah menunggu kalimat berikutnya dari sang ibu.
"Pergilah bersama kakakmu ke kantor! Daddy menunggu kalian disana." Lily sudah akan menghampiri putranya itu, tapi urung ia lakukan saat Gilbert terdengar mendesah kesal.
"Mom, tanggung jawabku sudah banyak! Apakah Shaka saja tidak cukup untuk membantu Daddy?" sungut Gilbert, kemudian kembali melangkah tanpa menunggu jawaban dari ibunya.
Ada kesedihan yang nampak jelas di mata Lily. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, jika putra keduanya akan sedingin itu padanya.
"Mommy?" Sentuhan di bahunya membuat Lily terkesiap dan menatap wajah maskulin putra sulungnya. "Jangan di ambil hati apa yang di katakan Gil! Dia hanya sedang banyak pekerjaan di kantor, Mom. Aku akan bicara pada Daddy untuk menyelesaikan masalah ini."
Wajah dan senyuman Shaka, di wariskan langsung oleh daddynya. Daffin Miyaz Stevano. Terkadang, ketika menatap Shaka rasanya Lily seperti sedang melihat suaminya di masa lalu.
"Terima kasih, Sayang," ucap Lily lembut.
Shaka menatap lekat wajah ibunya yang menenangkan. Ada banyak hal yang sebenarnya ingin ia katakan, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat.
'Sepertinya aku harus menunda untuk membicarakan hal ini dengan mommy ...'
***
Ruang CEO DS Corp kini telah mengalami banyak perubahan. Ada banyak hal baru yang menggantikan hal-hal yang telah usang tergerus zaman.
"Morning, Dad!" sapa Shaka, begitu membuka pintu ruang kerja sang ayah.
Tuan besar Stevano yang sedang sibuk memeriksa beberapa berkas di mejanya pun langsung mendongak ketika mendengar suara khas putranya.
"Hai, Son! Apakah kau sudah sarapan?" tanya Daffin seraya menutup berkas di tangannya.
Shaka menghela nafas dan menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Aku sudah sarapan emosi pagi ini, Dad!"
Daffin mengernyit mendengar jawaban putranya itu. "Something happened?"
"Not something, Dad, but many things!" sergah Shaka, tanpa menatap wajah ayahnya yang kini terkejut bukan main.
"Aku harus menghubungi nyonya Stevano," gumam Daffin.
Shaka akhirnya menoleh dan melihat ayahnya sedang mencoba menghubungi seseorang yang ia duga adalah ibunya. "Tidak perlu, Dad! Mommy baik-baik saja, tapi akan tidak baik-baik saja jika Daddy menghubunginya."
"Maksudmu? Aku hanya akan menambah masalah untuknya?" tanya Daffin sinis, merasa di pandang sebelah mata oleh putranya sendiri.
Shaka memutar bola matanya jengah. "Kau tahu bukan itu maksudku, Dad! Kenapa kau selalu salah paham pada setiap ucapanku?"
"Itu karena kau selalu menyampaikan segala hal tanpa menjelaskannya!" sahut Daffin, nada bicaranya tak kalah tinggi dengan Shaka.
"Gil bahkan bicara lebih sedikit dariku, Dad, tapi kau mengerti setiap ucapan dan tindakan yang dia lakukan tanpa harus meminta penjelasan." Shaka melirik tajam ayahnya yang kini tengah kebingungan.
"Tell me!" Daffin mendekat dan duduk di samping Shaka yang sepertinya sedang dalam suasana hati yang kurang baik.
Lagi, Shaka menghela nafasnya. Melepaskan sedikit beban di hatinya agar bibirnya mampu mengutarakan segala rasa yang ada di hatinya kepada sang ayah.
"Dad?" Shaka mulai menimbang, apakah keputusannya kali ini benar. Di lihatnya sang ayah yang kini sedang menatapnya. Menunggunya untuk berbicara. "Aku ingin bicara sebagai seorang pria dewasa. Dan aku hanya percaya padamu. Walaupun sebenarnya aku sedikit ragu ...."
Senyuman Daffin yang awalnya tersungging dengan indah, perlahan menghilang karena kalimat terakhir yang di ucapkan putranya.
"So?" Daffin menaikkan sebelah kakinya untuk bertumpu pada kakinya yang lain. "Jika kau tidak percaya padaku, lalu kenapa tidak bicara pada Mommy seperti biasanya?"
Ada setitik luka di hati Daffin setiap kali mengingat jarak yang di buat oleh Shaka untuk dirinya. Selama ini, putra sulung keluarga Stevano itu seolah tidak ingin berada di dekat ayahnya. Mereka bagaikan bulan dan matahari yang tak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa bersanding. Keduanya terpisah jarak yang terasa begitu jauh. Tak jarang, mereka hanya saling menatap dan bicara seperlunya menyangkut pekerjaan.
Shaka menyandarkan punggung tegapnya ke sofa serta menjatuhkan kepalanya pada sandaran sofa. "Andai aku bisa, Dad."
"Kau membuat kesalahan?" tanya Daffin, sebenarnya lebih kepada sebuah tuduhan.
Sudut mata Shaka membantah kata-kata ayahnya dengan tajam. "Aku sempurna! Kau tahu itu."
Daffin tertawa seraya menggelengkan kepalanya. Melihat sikap Shaka selalu membuatnya merasa sedang bercermin.
"Aku tahu! Lalu, kenapa kau tidak bisa bicara pada Mommy?" Daffin mengambil ponselnya dan menekan sebuah nomor yang selalu berada di urutan paling atas.
Tut ... Tut ... Klik ...
"Dad, aku -"
"Hallo, My Starfish! Sedang apa? Apa kau sibuk?" Daffin melihat Shaka yang terkejut bukan main dari sudut matanya. "Tidak! Aku hanya sedang berdiskusi dengan putramu. Dia ingin aku menyampaikan sesuatu padamu, Nyonya Stevano."
Bola mata Shaka nyaris saja melompat keluar saat Daffin menyerahkan ponselnya. "Ha- Hallo, Mom!"
Dengan santainya Daffin berjalan dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Tak peduli jika putranya kebingungan untuk mencari alasan agar bisa mengelabui ibunya.
"Iya, Mom. Maaf aku sedang meeting dengan Daddy." Shaka melemparkan tatapan kesalnya pada Daffin yang tidak terpengaruh sedikitpun. "Baiklah! Aku dan Daddy akan pulang tepat waktu. Bye, Mommy!"
Shaka meletakkan ponsel ayahnya ke atas meja dengan kasar. Setelahnya, pergi tanpa berpamitan kepada ayah sekaligus atasannya itu.
"Maaf, tapi aku masih belum bisa menghilangkan rasa bersalahku setiap kali aku menatapmu, Shaka ...."
Hallo semuanya 🤗
Apa kabar 😚 Semoga sehat selalu 🤗
Akhirnya setelah ribuan purnama, author amburadul kembali lagi dengan telur-telur Plankton dan Starfish 🥳
Sampai sini gimana nih? Lanjut gak😉
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian 'ya ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Dyari Indrawati
lho bukannya istri dari Daffin Miyas Stevano itu Ayaza Zakiya Kencana ya ...istri kedua sih yg dijuluki starfish mantan istri Erlangga, ayah Shaka...kok skrng jd Lily Yofela ..nikah lagikah Daffin?
2022-12-14
1
🍊𝐂𝕦𝕞𝕚
hayuuuu lanjutkan 💪💪💪💪
Aku mampir lagi ke sini si silent reader yang suka dengan dengan cerita Emak bapaknya Shaka
walaupun sudah lupa mungkin alurnya 😅😅😅😅
2022-12-13
1