Pukul 8 malam…
ARIGEL tengah berkumpul di kamar tempat Rafael di rawat. Mereka tengah menikmati snack dan kue yang di bawa oleh Tari, Mamah Ardian.
''Tante kuenya enak banget,'' puji Izam memasukkan kue yang entah sudah ke berapa, dia masukkan kedalam mulutnya saking enaknya.
Mereka tengah duduk di bawa lantai, berlapis karpet bulu. ''Iya dong, kan Mamahnya Ardian yang buat,'' balas Tari kepada Izam anak sahabatnya.
Tari sudah mengenal dekat sahabat anak-anaknya.
''Izam yah tante, kalau di kasi kue terbuat dari pupuk kandang dia tetap bilang enak,'' cerocos Ethan. ''Perutnya aja perut karet, dia jago makan Tan, badanya aja yang kurus.''
''Jangan tertipu sama badanya Izam. Badanya yang kurus itu nipu,'' lanjutnya membuat Izam berdecih.
''Cermin di rumah emak lo nggak ada ya Sethan. Lo udah makan banyak kue ketimbang gue!'' geramnya mengambil toples kue berisi kue coklat di depan Ethan.
Tari hanya tertawa melihat tingkah Ethan dan Izam. ''Jangan rebutan, kapan-kapan mamahnya Ardian yang baik ini bakalan buatin kalian kue satu persatu. Nanti Ardian yang bawa untuk kalian,'' ucap Tari membuat mereka tersenyum gembira terlebih Ethan dan Izam.
''Jangan lupa untuk Leo juga, Tan,'' sahut Leo yang sedari tadi sebagai pendengar.
''Iya anak tampan,'' jawab Tari membuat Gerald menggelengkan kepalanya tersenyum di balik wajahnya yang dingin.
Mereka semua sudah akrab dengan kedua orang tua Ardian yang baik dan ramah kepada mereka, dan tentunya mereka semua akrab dengan orang tua Ardian.
''Kamu, Rald. Nggak mau tante buatin kue juga?'' tanya Tari karna Gerald hanya senyum-senyum saja di balik wajahnya yang dingin.
''Boleh, Tan, kue yang sama dengan mereka aja,'' ucap Gerald dan di dibalas acungan jempol oleh Tari.
Untung saja Ardian sedang keluar bersama papahnya, sehingga tidak mendengar obrolan mereka semua.
Rafael ingin rasanya ikut menimpali mencibir Ethan dan Izam, namun dia sadar perutnya belum terlalu stabil. Bekas jahitannya belum mengering.
''Kalian habisin kuenya, ya,'' ucap Tari lalu berjalan menuju bansal Rafael.
''Orang tua kamu nggak ada lagi. Raf?'' tanya Tari. Kata lagi mengartikan sudah kesekian kalinya.
Sudah berulang kali Rafael di rumah sakit karna alasan yang sama, namun Tari tidak pernah melihat orang tua Rafael menjenguk Rafael di rumah sakit.
Rafael menggeleng lemah, namun dia tetap tersenyum. ''Nggak apa-apa, yang penting ada sahabat Rafael di sini temenin Rafael,'' ucap anak itu membuat Tari salut.
''Jangan cuman teman-teman kamu, mamahnya Ardian ikut serta loh di sini.'' Tari kembali bercanda membuat Rafael tersenyum menahan tawa.
''Makasih, Tan,'' ucap Rafael tulus dan dibalas anggukan kepala oleh Tari.
Selama ada sahabatnya dan mamahnya Ardian, dia tidak akan kesepian, meskipun orang tuanya tidak turut andil di sini.
Suami Tari datang lalu ikut bergabung dengan teman Ardian di bawa karpet bulu. ''Pah, anak kita mana?'' tanya Tari menghampiri suaminya yang datang tanpa Ardian.
Tari dan Ibnu sangat menyayangi anak semata wayangnya itu, baginya tidak ada yang penting dari Kebahagian Ardian.
''Lagi cari angin, Ma,'' jawab Ibnu.
''Om, simpan sampah di tempatnya dong!'' jengkel Izam kepada Ibnu yang membuangkannya kulit kacang garuda.
''Contohnya di mulut Izam, om!' Ethan berkata, tawa mereka semua pecah mendengar penuturan jahat dari Ethan.
Izam mendengus, jika bukan Rafael yang mencibirnya maka Ethan.
“Ethan, Izam! Gara-gara kalian perut gue makin keram!”
Rafael hanya bisa mengumpat dalam hati karna Izam dan Ethan membuatnya tertawa dengan kondisinya seperti ini.
***
Sosok cowok yang menggunakan tindik, serta rambutnya sedikit acak-acakan menatap lurus ke depan.
''Gue nggak becus jagain teman gue sendiri!'' geram Ardian meraup wajahnya dengan kasar.
Ardian menyalahkan dirinya sendiri, dengan celakanya Rafael tadi siang. Ardian harus menjaga Rafael jika mereka menghadapi musuh mereka.
Dia tau, Rafael ingin membunuh dirinya secara perlahan-lahan lewat ini. Ardian tau, Rafael selalu mengatakan jika dia tidak berguna hidup di dunia ini.
''Oksigen yang gue hirup bisa gue kasi ke orang yang lebih berguna.''
Kata-kata itu biasa Rafael ucapkan, meski hanya candaan tapi Ardian menangkap keseriusan cowok itu bicara.
''Kenapa gue punya sahabat kayak lo, Raf! Kenapa lo nggak takut mati, lo terlalu pasrah sama hidup lo!'' teriak Ardian di jalan trotoar.
Pipih Ardian tiba-tiba dingin, dia langsung melirik sosok gadis yang menempelkan minuman dingin ke pipihnya.
''Buat kamu, tenggerokan kamu udah kering karna teriak.''
Ardian menatap gadis itu lalu menatap minuman yang dia berikan. Ardian langsung mengambil minuman dingin tersebut lalu meminumnya membuat gadis itu tersenyum.
Ardian memberikan botol minuman itu kepada gadis yang memberikanya minuman, setelah dia meminum dua kali tos, Ardian pergi meninggalkan dirinya di jalan trotoar
''Ar!'' panggil gadis itu mengejar Ardian.
''Apa lagi!'' pungkasnya dengan malas, lalu Ardian naik ke atas motor sport nya lau memakai helm full fec.
''Perasaan kamu ke aku gimana, Ar?'' tanya gadis itu dengan penuh harap kepada Ardian.
Ardian menyalakan mesin motornya.
''Ar..'' rengek gadis itu.
Ardian membuka kaca helm full fecnya menatap gadis di depanya dengan tatapan yang masih sama seperti dulu.
''Perasaan gue ke lo masih sama kayak dulu, nggak ada!'' Lepas mengucapkan kata yang sangat tertohok Ardian langsung meninggalkan gadis itu.
Gadis itu meremas botol minuman yang dia berikan untuk Ardian tadi seraya menatap punggung Ardian yang sudah menghilang.
Gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskanya perlahan-lahan.
''Tenang...semua butuh proses,'' gumam gadis itu seraya tersenyum lalu berjalan meninggalkan jalan trotoar.
Angin malam membuat Ardian merasakan sedikit ketenangan dengan permainan gas yang dia mainkan.
Ponselnya sedari tadi berdering, dia yakin mamahnya Tari tengah khawatir padanya karna sudah satu jam lebih dia keluar dia belum juga kembali ke rumah sakit.
Meskipun sudah pukul sepuluh malam, jumlah kendaraan sama sekali tidak berkurang malah semakin bertambah membuat kota Jakarta macet malam ini.
Lampu lalu lintas berubah berwarna merah membuat Ardian menghentikan motornya tepat di samping mobil seseorang.
Ardian melirik ke samping mobil yang berdekatan dengan motornya, dia menaikkan alisnya sebelah saat melihat gadis yang tidak asing di dalam mobil tengah memainkan ponselnya seraya mengunyah permen karet.
Gadis itu yang merasa di perhatikan langsung melirik Ardian.
Dahi gadis itu mengerut diantara dua alisnya. ''Lo perhatiin gue?''
''Ngomong sama siapa, non Nanda?'' tanya pak Budi.
Gadis di dalam mobil itu tidak menjawab pertanyaan pak Budi.
Ardian kembali menatap kedepan, Nanda tidak asing dengan sorot mata cowok itu. Dia langsung mengingat jika pagi tadi dia bertemu cowok itu, hanya saja dia tidak menggunakan jaket yang dia kenakan pagi tadi. Tapi Nanda mengenal modif motor cowok itu dan sorot matanya.
“Kepedean.”
Ardian hanya bisa membantin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 249 Episodes
Comments