Pengasuh Untuk Rain
Pagi Ana hari ini adalah pagi yang berbeda dari biasanya. Ana yang sedang bersiap ke kantor mendapati papanya tidak ada di rumah. Curiga jika papanya itu tidak pulang dari semalam, Ana memutar kembali rekaman CCTV yang dipasangnya di atas rumahnya dari layar ponselnya. Dan ternyata memang benar, papanya tidak pulang dari semalam, karena tidak terlihat mobil lain yang masuk selain mobil miliknya.
"Kemana Papa? Mengapa papa nggak pulang? Nggak biasanya Papa begini," ucap Ana lirih.
Ana mencoba menghubungi ponsel papanya berkali-kali, tapi tidak satupun panggilannya terjawab.
"Ada apa ini? Apa papa baik-baik saja?"
Dar, dar, dar ...
Pagi Ana semakin tidak biasa saat dia mendengar suara gedoran dari pintu depan rumahnya. Saat Ana mengeceknya dari layar ponselnya, dia mendapati ada lima orang pria yang berpakaian serba hitam sedang berdiri mengerumuni pintu depannya.
"Siapa mereka?," tanya Ana pada dirinya sendiri.
Ada apa mereka ada di depan rumah Ana pagi-pagi begini? Apa yang mereka inginkan? Ana bahkan tidak mengenal mereka.
Ana tidak punya pilihan lain selain menemui mereka meskipun Ana sendiri enggan untuk melakukannya. Tapi, saat mereka terus menerus menggedor pintu rumah, Ana terpaksa harus keluar sebelum mereka melakukan keributan lain yang akan mengundang kerumunan tetangga.
"Kamu pasti Adriana Tanuwijaya, anaknya Doni."
Perasaan Ana semakin tidak karuan saat mereka menyebut namanya dan juga papanya saat Ana menemui mereka. Bagaimana mereka tahu? Siapa mereka?
"Bagaimana kalian mengenal papa saya? Apa mau kalian?," tanya Ana.
"Papa kamu harus membayar hutang-hutangnya hari ini"
Kata 'hutang' terus berputar di kepala Ana. Apa yang tidak Ana ketahui saat ini? Bagaimana bisa papanya berhutang? Sejak kapan? Untuk apa? Berapa banyak? Tidak ada satupun pertanyaan itu Ana ketahui jawabannya. Karena orang-orang yang ada di depannya saat ini terus mendesak Ana agar segera memanggil papanya.
Bagaimana Ana bisa memanggilnya? Papanya bahkan tidak pulang dari semalam, dan semua panggilannya tidak dijawab. Bahkan baru hari ini Ana mengetahui jika papanya berhutang. Bagaimana Ana menghadapi mereka semua?
"Tolong beri saya waktu," kata Ana pada mereka. "Saya bahkan tidak tahu menahu soal hutang ini, meskipun saya adalah anaknya. Tapi saya akan tetap menanggung tanggung jawab papa saya. Jadi, tolong beri saya waktu untuk meminta penjelasan papa saya. Saya sendiri yang akan membuatnya menemui kalian jika sudah ditemukan."
Salah satu pria yang terlihat paling garang di antara keempat pria lainnya terlihat menghubungi seseorang dengan ponselnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi di saat yang bersamaan, Ana terus memohon dalam hatinya agar orang itu menyetujui permintaannya.
"Oke," kata pria itu begitu dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaketnya. "24 jam. Waktumu hanya 24 jam. Dan besok saya akan kembali menemui kamu dan juga papa kamu itu."
Ana menghembuskan napas leganya dan menganggukkan kepalanya berulang-ulang. "24 jam sudah cukup," batin Ana.
"Jangan coba-coba untuk kabur. Atau saya akan mencarimu dan menyeretmu ke neraka." Begitu pesan terakhirnya untuk Ana sebelum mereka pergi dari rumahnya. Ana mencoba untuk tetap terlihat tenang tanpa rasa takut, padahal yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya.
Tubuh Ana seketika melemas saat mereka sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Dengan tenaganya yang tersisa, Ana masuk ke dalam rumahnya dan mencari segelas air untuk membasahi tenggorokannya yang sedari tadi sudah mengering karena rasa takutnya. Tenggakan terakhir membuat Ana terbatuk. Ana mencoba menenangkan dirinya setelah itu.
Sisa waktu yang Ana miliki saat ini digunakan Ana untuk mencari papanya. Ana terus menerus mengiriminya pesan singkat. Ana juga tidak berhenti menelponnya. Tapi tidak ada satupun yang terjawab atau terbalas.
Ana juga menghubungi kantor papanya. Tapi bahkan sekretaris papanya pun tidak bisa memberinya petunjuk kemana papanya saat ini.
Ana kemudian mencoba menghubungi teman-teman papanya yang dia kenal, dan lagi-lagi, tidak ada satupun yang tahu kemana papanya pergi. Ana semakin tak karuan memikirkan apa yang akan terjadi besok saat orang-orang itu datang lagi.
Yang Ana sesalkan adalah ternyata dia tidak benar-benar mengenal papanya sendiri. Kapan papanya mulai berhutang, dan untuk apa? Mengapa tiba-tiba papanya harus berhutang? Apakah perusahaannya sedang kesulitan? Atau mungkinkah terlibat masalah?
Apalagi dengan orang-orang seperti itu. Ana yakin betul mereka bukanlah kreditur ramah yang layanannya dijamin ojeka. Terlihat jelas wajah-wajah mereka adalah wajah-wajah yang akan melakukan apapun untuk mendapatkan tujuan mereka.
Semakin Ana larut dalam pikirannya, semakin Ana tidak dapat menemukan jawaban untuk semua pertanyaannya.
Tepat di saat Ana akan menyerah, ponsel Ana berbunyi. Ana melihat notifikasinya, sebuah pesan masuk untuk Ana. Segera Ana membuka ponselnya, dan didapatinya pesan itu dikirim oleh papanya. Ana terkejut melihat kata "Papa" yang tertulis pada bagian pengirim dari pesan itu.
"Ana, maafkan papa karena menghilang begitu saja tanpa memberitahumu. Papa tahu sekarang ini kamu pasti kaget karena tiba-tiba ada orang asing datang mencari papa. Maafkan papa, Ana. Papa mengaku salah.
Seseorang menawari papa untuk berinvestasi. Papa tertarik untuk mengikutinya, Karena uang papa tidak cukup, papa terpaksa berhutang.
Papa akhirnya mengenal orang yang bisa meminjamkan uang dalam jumlah banyak.
Ternyata, investasi itu bohong. Orang itu menipu papa. Uang papa dan uang pinjaman itu dibawa lari oleh orang itu, Papa mencarinya untuk bertanggung jawab, tapi ternyata dia malah menghilang. Sekarang papa pergi mencarinya.
Ana, papa malu untuk menemuimu. Seharusnya papa tidak melakukannya dari awal. Papa sangat menyesalinya. Karena itu papa akan mencarinya hingga ketemu. Papa sangat minta maaf, Nak.
Pergilah dari rumah itu secepat mungkin. Bersembunyilah dimanapun kamu bisa. Jangan sampai mereka menemukannmu. Sekali lagi, maafkan papamu ini, Nak. Papa benar-benar sangat menyesal"
Ana seakan tidak percaya bahwa pesan itu ditulis oleh papanya sendiri. "Omong kosong macam apa ini?," ucap Ana lirih menahan rasa marahnya. Ana segera menelpon papanya.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"
Sekali, dua kali, bahkan lima kali, Ana masih terus mencoba menghubungi papanya itu. Tapi ternyata papanya hanya berniat mengirimkan pesan untuk Ana, dan setelah itu dinonaktifkannya lagi. Ana menjadi sangat geram. Napasnya mulai memburu karena emosinya yang memuncak. Kemarahannya mulai tidak bisa dibendungnya lagi. "Tapi kenapa harus lari!!!," teriak Ana.
Ana terlalu kesal hingga dia tidak dapat menahan air matanya keluar. Pada akhirnya dia tidak dapat menahan semuanya. Ana terus meraung bersamaan dengan cucuran air matanya. Dirinya terlalu marah memikirkan apa yang sudah dilakukan papanya tanpa sepengetahuannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments