Ken merasa begitu malu atas hasil kerjanya pagi ini, karena keteledorannya ia harus menunjukkan kebodohannya di hadapan majikan barunya itu.
"Majikan," pikirnya sembari tersenyum.
Jika tau ibunya punya majikan setampan itu, ia akan merengek agar bisa sering-sering diajak nginep di sini.
"Ibu curang," gerutu Ken pada dirinya sendiri. Ken cukup senang, meski awalnya cukup tegang dengan aturan dan keberadaan penghuni rumah namun ada hiburan tersendiri jika melihat wajah pria itu yang begitu teduh.
Ken senyum-senyum sendiri, sebelum membereskan kamar tuan besar ia kembali ke meja makan. Ken ingin tau, apakah masakan yang dibuatnya itu memenuhi selera tuan rumah.
"Hem ... Jusnya kering. Nasinya juga berkurang banyak," Ken mengamati dengan teliti nasi goreng yang ia tempatkan di wadah keramik berukuran besar itu. Takaran 4 porsi orang dewasa.
"Sepertinya masakannya cocok sama lidah tuh orang," ujarnya manggut-manggut.
Pesan singkat yang ia sematkan di bawah gelas tidak mengalami penambahan kata, hanya posisinya saja yang sudah terbalik. Bagian kertas yang kosong ada di atas.
"Komentar dikit kenapa? Yes, No, gitu kalau males bilang kurang asin, terlalu pedes, atau apalah," oceh Ken sedikit kecewa.
"Pelit," gerutunya kesal.
"Siapa yang pelit?" suara orang yang muncul dibelakangnya cukup membuat Ken begitu kaget.
"He..he....enggak, Pak. Bukan siapa-siapa, kok," Ken segera tersenyum ramah pada Pak Parman yang sudah berada di ruang makan.
"Ibumu sudah berangkat. Tadi Bapak menunggu hingga kereta yang menuju ke Solo benar-benar berangkat," Pak Parman memberi penjelasan pada Ken tentang ibunya.
"Terimakasih, Pak. Bapak sudah begitu baik mengantarkan ibu bahkan menunggunya hingga keretanya berangkat,"
"Sesuai pesan Den Bagus," sahut pria itu singkat. Ia menarik satu kursi dan segera meletakkan bokongnya yang begitu pegal.
"Oh.....jadi majikan kita itu namanya Bagus?" tanya Ken penasaran.
"Bukan, aku menyebutnya Den Bagus karena wajahnya memang benar-benar bagus. Kalau nama aslinya sih Sutan Rashif Al- Farabi, cuma Ia lebih suka di panggil Al,"
"Apa dia keturunan Arab?" tanya Ken penasaran.
"Kenapa? Apa karena wajahnya yang tampan?" pak Parman berusaha memancing Ken. Ia ingin tahu bagaimana tanggapan gadis itu pada majikan ibunya.
Ken tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan merapikan bekas makan Tuan Bagusnya itu.
"Ini pak, sudah aku siapin sarapannya. Sebentar, jusnya masih ada di kulkas," Ken pura-pura tidak ocehan penjelasan pak Parman, ia mengalihkan pembicaraannya karena orang tua itu sudah duduk di kursi dan menunggu sarapannya.
"Pagi-pagi kok minum jus, dari kulkas lagi. Perutku yang sudah berumur ini mana kuat. Bapak mau teh saja,"
"Oh, baiklah kalau begitu. Aku buatin teh dulu. Manis atau sedeng nih,"
"Jangan terlalu manis, takut diabet,"
"Ok," Ken segera ke dapur dan menyeduh teh yang di pesan oleh pak Parman.
"Piringnya, pak. Aku lupa," Ken kembali lagi ke meja makan dan membawakan puring untuk pak Parman.
"Jadi ini yang dibilang pelit?" Pak Parman menunjukkan kertas berisi catatan yang di tulis Ken, yang masih tergeletak di atas meja.
"Abis saya bingung, ibu bilang jangan pernah berkomunikasi padanya jika ia tidak memintanya. Jadi bagaimana aku tau kalau masakan ini sudah cocok atau belum dilidahnya jika tidak seperti ini,"
"Tapi tidak ada hasil?"
"Iya," sahut Ken sedih.
"Sudah bisa ditebak," Pak Parman tertawa sedikit keras.
"Kenapa, apa dia memang seperti itu?"
"Mana mungkin ia mau kembali ke kamar untuk hanya untuk mengambil pulpen dan membalas memo ini. Kau ini ada-ada saja,"
"Ah, betul juga ya. Ha...ha....," tawa Ken pecah seketika itu juga. Lagi-lagi ia menunjukkan kebodohannya di depan tuan bagusnya itu.
"Tapi bagaimana dengan bapak, apa nasi gorengnya enak?" tanya Ken masih penasaran dengan rasa masakannya itu
"Enak kok. Pas banget rasanya. Justru mau saya abisin nih, mulut bapak ga mau berhenti,"
"Iya Pak, abisin aja. Saya sudah makan kok," sahut Ken berbohong. Ia tidak tega melihat Pak Parman yang begitu lahap menikmati sarapan.
Begitu pak Parman menuang seluruh nasi goreng yang ada di mangkok keramik itu, Ken hanya bisa menelan ludahnya yang tiba-tiba mencair.
"Apa boleh buat, siapa suruh bohong," bisiknya dalam hati. Akibat ulahnya ini, pagi ini perutnya harus puas hanya satu gelas jus jambu merah. Tanpa sebutir nasipun menyapanya.
"Untung cuma pagi sama siang makan di sini, kalo ditambah malem bapak bisa obesitas kalau begini," ujar Pak Parman sembari menyantap nasi goreng itu degan lahapnya.
"Bapak diet, ya? Malem tidak mengkonsumsi karbohidrat,"
"Tidak, Neng. Jam kerja bapak kan cuma sampe tengah hari aja,"
"Maksud Bapak, Bapak ga nginep di rumah ini,"
"Ya enggaklah, anak Bapak ada lima. Kalo tinggal di sini ga kebayang gimana gaduhnya rumah ini,"
"Rumah Bapak mah deket, ada di samping tembok pekarangan ini. Tinggal keluar pager, belok kiri, jalan sekitar 200 meter," jelasnya lagi
Ken jadi lemas seketika. Berarti setelah tengah hari, ia hanya tinggal berdua saja dengan pria aneh itu di rumah sebesar ini.
"Kenapa ibu tidak bilang sebelumnya. Tau begini ia akan menolak keras. Ibu pasti tau jika aku paling takut di rumah sendirian," gerutu Ken yang tidak sempat menanyakan hal ini pada ibunya.
Ken begitu gembira ketika ibunya mendapat paket umroh plus jalan-jalan ke Turki untuk dua orang. Mungkin itu jawaban Allah atas permintaan ibu yang begitu ingin melihat Ka'bah. Hingga Ken tidak banyak berpikir ketika ibunya minta kesediaan Ken untuk menggantikan tugasnya.
"Jika perlu sesuatu telpon saja, bapak akan datang secepat kilat," ujar pria itu menghibur. Sepertinya ia tahu perasaan takut yang menghinggapi gadis itu.
"Tadi Den Bagus sempet tanya ke Bapak, apa betul kamu anaknya Bu Ros,"
"Apa? Berati dia ragu dengan penjelasan saya dong,"
"Bisa jadi untuk menegaskan saja. Soalnya kalian berdua tidak punya kemiripan sama sekali. Tapi Bapak bisa meyakinkannya, kok. Kamu tenang saja,"
"Saya dan Bu Ros sebenarnya.....,"
"Bapak sudah tahu, Bu Ros susah pernah menceritakan hal itu. Kamu jangan berkecil hati Ken, meskipun kamu bukan darah dagingnya tapi Bu Ros begitu sayang padamu,"
"Iya, pak. Saya sangat tidak pernah meragukan kasih sayang yang diberikannya padaku. Dia bekerja di sini juga semata-mata agar aku bisa kuliah di kampus yang bagus,"
"Baguslah jika kau menyadarinya. Bahagiakan dia, sayangi dia seperti ibu kandungmu sendiri,"
"Iya, Pak. Terimakasih,"
Ken jadi terharu jika harus berbicara tentang Bu Ros. Perempuan itu begitu total merawatnya, tidak seperti ibu kandungnya sendiri. Hingga Ken sebesar ini, orang itu tidak pernah berkabar pada keluarga Bu Ros. Sepertinya ia memang sudah membuang anak yang telah lahir dari rahimya sendiri.
"Maafkan, Bapak jika sudah mengingatkanmu tentang ibumu,"
"Iya, Pak. Tidak apa. Aku memang sedikit melo jika bicara soal ibu,"
Saat mereka tengah berbincang-bincang di meja makan, sang majikan muncul dari arah pintu. Setelah berhenti sebentar dan menengok ke ruang makan, ia melangkah kembali. Menuju ke kamarnya.
"Stop, Pak..... Stop! Berhenti di situ," teriak Ken saat itu juga.
Buru-buru Ken mengambil sapu dan kemoceng yang sudah ia siapkan dan berlari ke atas, ke kamar Tuan Bagusnya itu.
"Tuan Bagus jangan naik dulu, tunggu sebentar. Saya bersihkan kamarnya dulu," terianya lagi. Kini ia sudah berlari menaiki anak tangga menuju ke kamar Al
Pak Parman dan Al hanya bisa saling pandang. Pak Parman yang telah menghabiskan sarapannya hanya bisa menghela nafas dan segera pamit untuk membereskan pekarangan.
"Bapak ke belakang dulu, mau nyapu," ujar Pak Parman sebelum berlalu dari hadapan majikannya itu.
"Ada-ada saja kelakuan gadis itu," gumamnya setengah berbisik dan geleng-geleng kepala.
****
Happy reading all! Author tidak bosan-bosan minta dukungannya. Mohon untuk tinggalkan
✓ LIKE
✓ KOMENTAR
✓ VOTE -nya
Apresiasi dari kalian semua membuat saya semakin bersemangat untuk update. Terimakasih!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
semangat kak..
cinta pak bos hadir😊
2020-10-04
0
Isu💟THY
ssmangat
2020-09-20
1
Tridy Cutechallu
Up!!
2020-09-18
1